Bab 47. Hujan
Arum terdiam menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Manik hitam itu tak henti-hentinya menatap tetesan air yang jatuh dari langit. Kini dia berada di halte bus di pinggir jalan. Suasana terlihat sangat syahdu dengan hujan dan kesunyian ibu kota.
"Huh, hujan?" Kata itu terucap di bibirnya. Hatinya menjadi sangat risau sesaat dia mengingat saat masih kecil. Dia sangat suka hujan, dia akan berlari keluar membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Dia akan menari, berlari kesana kesini memainkan air yang tergenang di pusat ibu kota.
"Aku ingin seperti dulu, bisa bermain hujan tanpa beban. Menangis di bawah hujan tanpa beban tertawa di balik hujan tanpa beban." Arum kembali menghela nafasnya kenangan masa kecil yang indah.
Arum melangkahkan kakinya menuju ke tengah hujan. Membiarkan tubuhnya di jatuhi butiran air. Dia memejamkan matanya merasakan air yang jatuh di wajahnya. Rasanya tenang, dan damai, dia bisa merasakannya.
Di tengah pusat ibu kota dengan gedung pencakar langit Arum sedikit merasakan kedamaian.
Dia membuka matanya saat merasakan ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Tepat sekali, kepalanya yang masih menengadah itu melihat sosok tinggi dengan rambut yang basah. Pria itu berdiri tepat di hadapan Arum. Kemeja putih dengan lengan di gulung itu basah dengan guyuran hujan. Rambut yang basah serta tetesan air yang membasahi wajahnya membuatnya terlihat sangat tampan.
"Nanti Arum sakit kalau hujan-hujanan." Pria itu menghalangi hujan yang menetes di wajah Arum, dengan telapak tanganya.
Senyumnya membuat Arum tidak bisa berpaling dari wajah tampan itu.
"Mas, sendiri? Kenapa hujan-hujanan?" ucap Arum dengan posisi mendongak menatap Bima.
"Karena, Mas. Ingin sama Arum."
Kini mereka berada di tengah hujan yang sama dengan kenangan yang sama. Bima terus tersenyum menatap Arum. Layaknya hujan, rasa juga bisa berhenti tapi Bima akan selalu berada di sisi Arum. Sekarang, nanti atau selamanya.
Setelah cukup lama mereka berada di tengah hujan akhirnya mereka kembali ke halte.
"Liat, Arum jadi basah semua kan? Mas ambilin jaket dulu ya?"
"Mas?" Arum menarik tangan Bima, mengentikan langkah Bima.
"Ya?"
Arum tersenyum dan menggelengkan kepala," Ngga kenapa-kenapa."
Bima melangkah mengambil jaket yang ada di mobil dia dan mengenakanya ke Arum yang sudah basah kuyup.
Bima sesekali mengelap wajah Arum yang basah dan tak henti-hentinya Arum memandang wajah yang tak pernah membuatnya bosan itu.
Dia mengambil sapu tangan yang ada di tangan Bima dan mengelap wajah Bima.
"Nanti kalau, Mas yang sakit pasti yang di salahin Arum. Karena udah hujan-hujanan."
Bima tersenyum, wajahnya terlihat sangat merah saat tangan lembut itu mengusap wajahnya yang basah karena hujan.
Bima meraih wajah kecil itu dengan gemasnya dia mencubit kedua pipi Arum.
"Kamu itu gemes banget sih, Rum."
"Mas? Alum udah bilang jangan unyel-unyel pipi Arum telus,"ucapnya dengan bibir yang manyun kedepan karena kedua tangan Bima menghepit pipinya.
Bima yang tidak bisa menahan geloranya itu benar-benar harus ekstra waspada. Bisa saja dia hilaf, dia juga seorang pria bukan.
"Lepasin ngga?" ucap Arum pada Bima yang tidak mau melepaskan kedua pipinya itu.
Dengan cepat Arum mencubit kedua pipi Bima. Memangnya Bima saja yang bisa menganiaya pipinya. Dia juga bisa.
"Arum kamu nyubitnya paket tenaga dalam ya? Sakit tau."
"Biarin, Mas sendiri yang ngajarin? Lepasin dulu baru Arum lepasin juga hmm!" Arum memperkencang cubitannya.
Bima yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi langsung melepaskannya.
Arum tersenyum saat melihat kedua pipi Bima terlihat merah karena cubitannya.
Dia langsung mencium pipi kanan Bima dan langsung lari memasuki mobil.
Bima yang tiba-tiba syok karena Arum yang tiba-tiba saja mencium pipi kanannya membuatnya terdiam seribu bahasa. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat itu juga. Saat sadar dia langsung menyembunyikan wajah malunya dengan menghadap ke belakang.
Astaga, dia benar-benar sudah gila. Perasaan apa ini? Yang membuatnya seakan di terjang ribuan kupu-kupu. Seakan dia melihat ribuan pelangi di hadapannya. Lagi-lagi Bima tersenyum malu.
"Mas? Ayo pulang udah mau Maghrib." Arum berteriak dari dalam mobil.
Bima masih dengan wajah malunya, bagaimana dia bisa melihat wajah gadis itu dengan wajah yang begitu malu ini. Dia harus bisa mengontrol ekspresi dia tidak boleh terlihat sangat senang atau bahkan malu. Setelah sedikit tenang dia pura-pura terlihat biasa saja dan masuk ke mobil.
"Kalo malu, ngga usah di tutup-tutupin." Arum tersenyum ke arah Bima.
Dengan spontan Bima yang sedang menyetir dengan ekspresi biasa saja itu, tersenyum lebar. Wajahnya kini mungkin sudah seperti udang rebus.
"Arum, ih."
"Mukanya Mas, udah kaya kepiting rebus pake segala sok biasa aja."
"Awas kamu ya." Bima tersenyum lebar sembari menyetir.
Arum terus-terusan tertawa melihat ekspresi yang dingin bak es kutup Utara itu tiba-tiba saja merah merona bak udang rebus.
Ini pertama kalinya Arum melihat Bima tersenyum sangat malu seperti saat ini. Padahal dia juga malu, tapi wajah Bima benar-benar lucu.
Sesekali bima menahan untuk tersenyum dan lagi-lagi gagal karena melihat Arum terus menggodanya.
Mereka tertawa menertawakan wajah masih-masing.
"Arum kalau mau cium Mas, bilang-bilang dulu jangan tiba-tiba gitu, kan Mas jadi kaget. Gimana kalau Mas tiba-tiba kena serangan jantung. Mau Arum tanggung jawab."
"Ih, kepedean banget, itu tu tadi tu ngga sengaja."
"Mana ada ngga sengaja, liat tu, muka Arum juga merah."
"Mas! Ih!" Arum mencubit perut Bima.
"Aaaa, sakit Rum."
"Udah ah, cape Arum ketawa."
Bima menoleh ke arah Arum dan Arum tanpa sengaja memergoki Bima. Mata mereka kembali saling beradu dan mereka kembali tertawa.
"Udah ah Mas, jangan liatin Arum mulu ah."
Bima kembali tersenyum yang melihat Arum kembali menunjukan ekspresi malunya.
Tak beberapa lama mereka sampai dan Arum turun dari mobil Bima.
"Masuk gih, mandi pakai air hangat trus tidur."
Arum mengangguk," Mas pulangnya hati-hati ya.
"Rum?"
"Hmm?"
Bima meraih tangan Arum, dan menatap dalam Arum.
"Mas janji, bakal segera Dateng ngelamar Arum."
"Ngga percaya? Wleek" Arum menjulurkan lidahnya dan masuk kedalam rumah.
Bima kembali tersenyum dan langsung pergi meninggalkan rumah Arum. Dia melajukan mobilnya menuju ke rumah orang tuanya.
Karena dia harus menjemput Chandra. Sesekali dia tersenyum mengingat kejadian tadi. Bima tak sadar ada sepasang mata yang memantau mereka sejak sampai di rumah Arum.
Mata yang tidak akan membiarkan Bima terus menerus mendekati Arum. Mata yang sama yang menatap Arum dengan cinta mungkin lebih besar.
Mata itu penuh ketulusan yang sama untuk Arum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top