Bab 42 Orang tua
Arum melangkah dengan sangat berat menuju sebuah rumah sederhana dengan lahan yang sangat luas. Matanya menyusuri sekitar rumah itu. Baru kali ini dia datang di sebuah rumah dengan kebun yang luas. Ada pohon mangga, tanaman obat bahkan sayur mayur tumbuh subur di kebun itu.
"Ayo Rum." Bima menggenggem tangan Arum dan tersenyum. Seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Assalamualaikum," ucap Bima mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," suara wanita terdengar dari balik pintu. Tak lama kemudian muncul seorang wanita tua dengan jilbab tersenyum melihat Arum.
"Kamu pasti Arum," ucapnya yang langsung di balas senyum oleh Arum dan Arum langsung mencium tangan wanita itu.
"Kamu cantik sekali, Nak. Ayo masuk."
Bima membawa Arum masuk ke dalam rumah orang tuanya.
Mereka duduk di ruang tamu dengan aksesori adat Sunda yang bagus.
"Bapak mana, Bu?" Tanya Bima yang sedari tadi tak melihat bapaknya.
"Ada di kebun, lagi metik mangga, oh iya, ibu buatkan minum dulu ya," ucapnya.
"Ngga usah repot-repot, Bu," ucap Arum yang sedikit tidak enak dan takut merepotkan.
Seorang pria tua datang membawa satu keranjang buah mangga.
"Loh?" Arum berdiri karena mengenali sosok pria itu.
"Arum," ucap pria tua itu yang langsung menghampiri Arum.
"Loh? Bapak ngapain di sini?"
"Rum, diakan bapak, Mas."
"Heh? Bukanya katanya dia temen, Mas?"
"Astagfirullah, jadi si bapak ngerjain kamu, Nak? Bapak ini. Kasian Nak Arumnya." Ibu Bima langsung memukul punggung suaminya itu.
"Bapak kalah loh, Bu main catur sama Arum."
"Iya, sampai alat masak Bima yang Bima beli di luar negri jadi taruhan."
Ucap Bima yang masih tidak menyangka ayahnya memberikan salah satu benda kesayanganya itu pada Arum.
"Itu bukan taruhan loh, Bim. Itu hadiah buat Nak Arum."
"Pak, Arum minta maaf ya, Arum ngga tau kalau bapak ini bapaknya Mas Bima."
"Hehhh, bapak lebih suka kamu bersikap santai kaya kemarin loh, Rum."
Arum tersenyum pada bapak Bima, jika seperti ini dia lebih nyaman dan tidak merasa tertekan.
"Oh iya kamu suka jambu?"
Arum mengangguk," iya, Pak saya suka."
"Ayo kita petik jambu habis itu temani bapak main karambol."
"Nanti bapak kalah lagi bagaimana?"
"Ngga akan, kali ini bapak pasti menang."
Arum segera berjalan mengikuti ayah Bima menuju kebun.
"Sepertinya bapakmu sudah menyukai, gadismu itu." Bima tersenyum, ayahnya adalah orang yang sulit didekati oleh beberapa orang. Tapi jika dia susah merasa nyaman itu artinya Bima tak perlu khawatir lagi.
Bahkan dulu, mantan istrinya selalu saja bertengkar dengan ayahnya. Ayah Bima sangat tidak menyukai mantan istri Bima karena dia wanita yang selalu serius dalam segala hal. Mereka selalu bertolak belakang dalam segala hal dan selalu beradu argumen siapa yang benar dan salah.
Butuh waktu yang lama membaut ayahnya yakin untuk menerima mantan istrinya dulu.
Namun, berbeda dengan Arum. Ayahnya langsung akrab dengan gadis itu. Sifat Arum yang ceria dan segala kelakuan anehnya adalah satu frekuensi dengan ayahnya.
Lihatlah, bahkan dia tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana caranya agar ayahnya bisa dekat dengan Arum dan Arum bisa nyaman bersama ayahnya.
Arum malah lebih terlihat seperti anak ayahnya ketimbang dia. Apa karena mereka sama-sama memiliki karakter dan kepribadian yang aneh.
"Kali ini, kamu mencari calon menantu yang benar, Nak. Lihatlah ayahmu terlihat sangat gembira bersama calon menantunya itu."
"Bima juga berfikir seperti itu, Bu. Semoga Allah memberi jalan yang terbaik kali ini ya, Bu. Doakan Bima."
"Ibu selalu mendoakan mu nak."
Mereka menatap Chandra, Arum dan Pak Surya yang tengah sibuk memetik jambu di kebun depan rumah.
"Bapakmu kemarin cerita, katanya anaknya sudah menemukan gadis baik, yang senyumnya selalu ceria, yang sangat baik memperlakukan Chandra." Ibu Bima mengelus pelan punggung Bima.
Seakan merindukan sosok menantu yang akan membuat seisi rumah ini penuh tawa dan canda bukan seperti dulu penuh bersitegang dan emosi.
Entahlah, tapi dia merasa Allah menjawab doanya dengan mempermudah dia menyatukan Arum dengan keluarganya.
***
Satria melangkah menuju sebuah apartemen yang sangat megah. Dari luar dia melihat dengan sangat serius gedung tinggi itu. Tak beberapa lama dia memutuskan untuk memasuki gedung apartemen megah itu.
Jaket hitam dengan celana jeans yang sobek itu melangkah menuju sebuah lift. Dia mengenakan topi hitam dan masker.
Beberapa orang di lift menatap aneh penampilan Satria. Mungkin dia mengira bagaimana bisa pemuda seperti itu ada di tempat berkelas seperti ini. Mereka saling berbisik membicarakan Satria yang hanya diam tak bersuara.
Saat pintu lift terbuka dia melangkah menyusuri lorong apartemen. Langkahnya berhenti di sebuah pintu bertuliskan No 001. Satria kemudia menekan password dan pintu terbuka.
"Aku memanggilmu beberapa kali, dan kamu baru datang?" Suara seorang pria terdengar di bagian ruang tamu apartemen itu.
"Aku sibuk," ucap Satria yang langsung duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu memilik harta yang banyak, dan bahkan uang yang mengalir terus dari saham yang kau beli. Tapi, kamu memilih tinggal di jalanan. Sebenarnya apa yang kamu cari, Satria?
"Itu adalah uang milik, Arya. Bukan milikku harta yang aku berikan padamu adalah jerih payah aku dan Arya sebelum dia meninggal. Arya memintaku untuk mengelolah uang itu. Tapi kau tahu aku bahkan tidak melanjutkan pendidikan ku dan memilih hidup di jalanan.
"Satria, bukankah ini juga milikmu? Kalian bekerja sangat keras saat itu sampai kamu jatuh sakit. Dan dengan percayanya kamu menyerahkan uang itu agar aku kelolah dengan memberi saham dari perusahaan pria itu."
"Pria itu? Ayah tiriku? Sebelum aku bisa membeli kedua tanganya yang selalu memukul ibuku dan ibuku masih terus bertahan demi harta miliknya. Aku tidak akan bisa tidur nyenyak."
Satria menatap pria di hadapannya itu. Dia memutuskan sekolahnya dan hidup di jalanan. Dia bekerja sangat keras berjualan, bahkan dia pernah bekerja layaknya budak. Namun tetap saja dia tidak dapat mengumpulkan uang.
Arya dan dia berteman sejak kecil, ayah Arya adalah sahabat ayah tirinya mereka sangat mempercayai Pak Burhan ayah tiri Satria untuk membangun bisnis. Bisnis mereka berjalan sukses dan membuat pak Burhan tamak hingga mengkhianati ayah Arya dan membunuh serta mengambil seluruh harta milik ayah Arya.
Saat itulah, Satria memilih hidup di jalanan bersama Arya. Namun, Arya sakit-sakitan sebelum dia meninggal dia menyerahkan sebuah tabungan yang sudah di atas namakan Satria. Tabungan milik ayah Arya yang dia sembunyikan.
Dia meminta Satria mengelolah uang itu untuk mengambil seluruh hak milik keluarga Arya dan membalas dendam kepada pak Burhan.
"Jadi? Kamu akan tetap tinggal di jalanan?"
"Aku tidak ingin menyentuh uang itu sepeserpun sebelum aku bisa mengembalikan hak milik Arya."
"Tapi kau juga ingat, kau bukanlah satu-satunya pemilih saham di perusahaan ayah tirimu."
"Maksutmu? Ada beberapa orang lagi."
"Untuk saat ini, saham terkuat di pegang oleh pak Burhan dan juga pemilik restoran itu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top