Bab 41 Pulang

"Memang papa kamu kemana, Chan. Kok sampe ngga bisa jemput kamu."

"Ngga tau, Tan, katanya ada urusan mendadak."

Arum dan Chandra melangkah menuju rumah Bima. Sembari menikmati es krim di tangan mereka masing-masing.

Arum membuka pintu rumah, Bima dan sedikit terkejut karena tidak terkunci.

Saat dia membuka pinta ada sosok pria tua yang berdiri di hadapannya.

"Kamu?" Sembari menunjuk Arum dia langsung menggeret Arum untuk duduk di kursi makan.

Arum melihat sebuah papan catur, dua cangkir kopi dan sebuah bedak tabur.

"Bapak siapa?" Tanya Arum yang sedikit terkejut dengan pria tua itu.

"Saya? Temanya Bima."

Arum mengernyitkan keningnya dia baru tahu jika Bima berteman dengan bapak-bapak seperti itu.
Arum menatap Chandra yang terkekeh geli melihat Arum.

"Jadi kamu yang bernama Arum?"

Arum mengangguk sembari menampilkan wajah bingungnya.

"A? Ada apa ya pak?"

"Bisa main catur?"

"Yaelah pak. Main catur itu makanan saya sehari-hari belum ada yang bisa ngalahin saya di dunia percaturan. Oh iya, jangankan main catur maen gaplek juga saya bisa."

Pria tua dengan kumis dan rambut yang terlihat helaian putih karena umur itu tertawa mendengar jawaban Arum.

"Jangan sombong, bapak adalah juara satu kampung Kumisan."

"Heh? Apa karena bapak kumisan makanya nama kampungnya juga kumisan?"

Chandra tertawa terbahak-bahak saat melihat kakeknya sendiri di remehkan Arum. Entahlah apa strategi kakeknya kali ini menyembunyikan identitas dia dan mengaku kepada Arum jika dia adalah temanya Bima.

"Jangan banyak bicara. Ayo kita buktikan siapa yang jago main catur."

"Heee, saya tidak mau melawan bapak. Pasti bapak kalah. Tapi kali ini saya kecuali kan. Ada taruhanya ngga?" Arum memainkan matanya seakan meremehkan ayahnya Bima.

"Simbang sekali, heee." Dia mengambil satu set alat masak yang masih tersegel dai dalam dapur.

"Saya punya ini," ucapnya sembari menaruh alat set masak yang berisi panci, penggorengan dan juga pisau.

Arum melirik barang itu, itu terlihat sangat mahal. "Bukankah itu berasal dari luar negri?" Batin Arum.

"Baiklah." Arum menggulung lengannya dan berhadapan pada bapak itu. Mereka saling menatap seakan tengah mengikuti sebuah kompetisi antar negara.

Chandra yang antusias segera mengambil kursi dan duduk di samping meja menajadi pemandu sorak.

Waktu berjalan, wajah Arum dan wajah bapak itu sudah tak nampak baik. Wajah mereka penuh dengan coretan bedak bahkan jilbab Arum yang berwarna hitam sudah penuh dengan tepung bedak. Hanya tinggal tersisa satu biji catur dari keduanya. Arum menatap tajam bapak itu, sekarang giliran dia yang harus membunuhnya.

Arum dengan sigap menajalankan biji caturnya dan menyingkirkan biji catur bapak itu.

"Yey!!!!" Arum berteriak kegirangan dan langsung memeluk Chandra.

Kakek Chandra hanya terdiam, baru kali ini dia di kalahkan. Dia benar-benar tidak percaya Arum sepandai itu bermain Catur. Tapi dia sangat penasaran darimana putranya menemukan gadis seperti dia.

"Apa-apaa kalian ini?" Bima datang dengan wajah terkejut saat dia melihat ruangnya penuh dengan bubuk bedak. Dia juga sangat terkejut melihat wajah Arum dan ayahnya penuh dengan bedak. Bahkan Chandra tak luput dari coretan bedak.

Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ada perang? Atau ada bencana alam yang membuat rumahnya berantakan.

Arum tersenyum dia mengambil satu set alat masak, memeluknya dengan erat dan langsung kabur.

"Aku pulang dulu ya, Mas! Assalamualaikum!"

Bima hanya diam menatap Arum yang kabur begitu saja setelah mengobrak-abrik rumahnya.

"Hahaha. Dari mana kamu mendapatkan gadis seunik dia, Bim?"

"Ayah? Sebenarnya kalian ngapain aja di rumah? Sampe kaya kapal pecah gini?"

Ayah Bima dan Chandra hanya tertawa puas. Tanpa mempedulikan Bima yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi di rumahnya.
Ayah Bima membawa Chandra ke kamar untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian mereka duduk mengobrol.

"Jadi dia gadis yang bernama Arum?" ucap ayah Bima yang kini duduk di sofa. Setelah membersihkan diri dan membiarkan Bima membersihkan rumahnya kini dia duduk santai bersama Bima sembari menikmati secangkir kopi.

"Iya, Yah. Sepertinya Ayah udah akrab sama Arum. " Bima meletakan beberapa cemilan di atas meja.

"Gadis itu, gadis yang baik ayah menyukainya."

Bima tersenyum, bagaimana ayahnya tidak menyukainya lakukan mereka bahkan sama persisi. Lihat saja mereka baru sehari bertemu tapi terlihat sangat akrab.

***

"Tumben lu dandan? Mau kemana?" Satria yang sedikit terkejut melihat Arum dengan berdanda sangat cantik hari ini.

Dia memakai gamis yang modis dengan balutan hijab yang terlihat sangat cantik ia kenakan.

"Mau ketemu, Bima lu? Dandan secantik ini?"

"Menurut lu? Ya kali gue ketemu Kodok."

Untuk kali ini, Satria akan membiarkan Bima mendekati Arum. Tapi tidak untuk selamanya. Dia akan mengunakan waktu yang tepat agar Arum yang datang sendiri ke padanya.

"Rum?" Satria menyentuh lembut tangan Arum. Dia menatap dalam gadis cantik yang ada di hadapannya itu. Ingin sekali dia mengutarakan apa yang dia rasakan sekarang. Tapi dia akan mencoba menahannya lagi.

"Kenapa?"

"Lu masih inget perkataan gue waktu itu? Saat gue bilang kalau gue suka sama lu?"

Arum sedikit terkejut, dia tidak mengira Satria akan membahas hal itu lagi.

"Lu tenang aja, gue tau itu ngga boleh. Tapi biarin gue yang nyimpen perasaan itu. Untuk beberapa waktu biarin gue menjadi laki-laki yang mencintai lu dan bisa kah lu hanya pura-pura ngga tau seperti saat ini?"

Arum masih belum mengerti apa maksut Satria. Dia melihat tatapan yang dalam pada Satria. Arum benar-benar tidak tahu apa yang harus dia katakan.

"Udah sana pergi, nanti keburu bedak lu luntur." Satria mengelus rambut Arum dan melangkah pergi .

"Btw, lu keliatan cantik."

Arum yang melihat Satria dari belakang merasa sedikit bersalah pada pemuda itu. Dia memang tidak salah. Hanya saja, cinta yang salah jatuh di orang yang salah.

Arum mengambil tasnya dan melangkah pergi. Saat keluar dari rumah tak beberapa lama Bima datang dengan mobilnya.

"Rum?" ucapnya yang terlihat terkejut melihat gadis di hadapannya terlihat sangat cantik.

"Kenapa, Mas?"

"Eh? Kamu cantik banget."

"Ngga usah gombal deh, buaya udah banyak di ragunan."

Bima tersenyum melihat Arum yang mengoceh. Mereka berdua memasuki mobil dan di sana sudah ada Chandra.

"Wahh, Tante Cantik sekali,"ucap Chandra.

"Bapak sama anak sama aja, Buaya."

Bima dan Chandra saling menatap melihat Arum yang sedikit merasa kesal namun, terlihat sangat cantik. Dia kemudia melajukan kendaraanya.

"Oh, iya emang kita mau kemana sih, Mas?"

"Nanti kalau kamu sudah sampai juga kamu bakal tahu, Rum."

"Kerumah nenek sama kakek, Tan?"

"Hah! Stop! Stop!"

Bima segera menepikan mobilnya dan menghentikannya.

"Kenapa Rum?"

"Mas Arum belum siap, Mas. Kita balik dulu aja, yuk."

"Lah, kenapa?"

"Ya, Arum belum siap aja ketemu orang tua, Mas."

"Kenapa?"

"Kenapa, Mas banyak tanya?"

Bima dan Chandra menatap aneh Arum. Pasalnya beberapa hari yang lalu Arum bahkan sudah bertemu dengan ayahnya Bima. Mengapa dia bilang jika dia belum siap bertemu dengan mereka. Mereka bahkan sudah bersekongkol menghancurkan rumah Bima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top