Bab 39 Doa.
Bima mengadahkan tanganya, doa demi doa dia ucapkan tanpa terlewat sedikitpun. Di sebuah kamar yang gelap hanya bercahaya sebuah lilin terapi yang aromanya memenuhi setiap sudut kamar Bima.
"Ya, Allah. Jika cinta ini kau takdirkan ada untuk Arum. Maka perlancarkanlah jalanku untuk menghalalkannya. Jika tidak, Ya Robbku, biarkan cinta ini tumbuh subur pada orang lain. Hamba hanya insan yang tak mampu jika menanggu cinta yang begitu besar pada wanita yang bukan jodoh hamba. Maka itu, biarkan aku menghalalkan cinta ini hanya untuk Arum."
Bima mengusap lembut wajahnya dengan kedua tanganya. Sesekali dia melirik putranya yang masih tertidur pulas. Sesekali dia memikirkan bagaimana jika Arum bukanlah jodohnya? Bagaimana dia bisa membersihkan putranya Sorang diri? Segala hal terus saja mengusik Bima saat dia mengingat pemuda itu.
Bima membangunkan Chandra dengan pelan.
"Chan, katanya mau temenin papa lari pagi?"
"Hmmmmmm?" Chandra bangun dengan meregakan badanya.
"Ini kan masih, malam pah," ucapnya dengan mata yang masih terpejam.
"Heh. Ini udah subuh ayo bangun nanti kesiangan. Apa mau papa tinggal aja?"
Chandra langsung bangkit, dia tidak ingin di tinggal papanya sendiri di rumah. Walau ngantuk masih melanda dia memaksakan untuk membuka matanya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
Bima segera mengganti pakaianya dengan kaus panjang untuk berolahraga dan juga menyiapkan baju olah raga untuk Chandra.
"Papa, bukanya udah sering ngegym. Kenapa tiap hari libur papa masih lari pagi. Apa papa ngga cape? Chan aja cape."
"Chan olah raga itu penting, biar kita sehat," ucap Bima sembari memakaikan pakaian Chandra.
Mereka segera pergi keluar mengendarai motor menuju taman. Biasanya dia jika tidak mengajak Chanda dia akan berlari sampai taman. Apa lebih baik dia membeli sepeda untuknya dan Chandra agar mereka bisa lebih sehat dan bisa juga mengajari Chandra bersepeda.
Setelah mereka sampai di taman mereka mulai menggerakkan badan dan meregakannya. Chandra yang mengikuti gerakan Papanya itu pun terlihat lucu karena kesulitan.
"Ayo lari, Chandra dulu ya. Biar ngga ketinggalan," ucap Bima membiarkan Chandra berlari mengelilingi taman.
Taman ini biasa untuk joging dan olah raga pagi. Setiap hari libur tempat ini akan ramai dengan orang-orang. Berolah raga, joging, senam, bersepeda bahkan sekedar jalan santai.
Matahari terlihat bersinar terang membuat cuaca pagi ini terasa segar dan menyejukkan.
Di sisi lain, Naila dan Arum tengah berbincang-bincang di gerobak bubur ayam bang jali yang mangkal di pinggir jalan taman.
"Mbak Rum kita kesini itu buat olah raga, buat joging bukan malah nimbun lemak," ucap Naila yang melihat Arum dengan lahapnya menyantap bubur ayam yang terlihat hangat dan nikmat.
"Sebelum olah raga, kita harus punya tenaga Nai. Liat lu, selama di pesantren makanannya makanan sehat terus sayur, tempe, tahu. Baru sekarang kita bisa nikmatin bubur ayam Bang jali lagi. Iya ngga bang?"
"Iya, Neng. Makan bubur bang jali juga sehat. Ada ayam, ada daun bawang juga ada kuah yang di buat dengan Cintah."
"Eeeak," ucap Arum sembari tertawa melihat tingkah bang jali yang masih sempat mengoceh di padatnya pembeli.
"Oh, iya, lu masih marahan sama Rangga. Ngga baik loh Nai, marahin orang berhari-hari."
"Iya sih, Mbak abis gue sebel sama Rangga. Maksutnya apa coba pacarnya ngamuk-ngamuk ke Nai. Mana pake bilang Nai cewe murahan. Rasanya pengen sekali Nai sobek-sobek tu congornya."
"Kalo cewe kaya gitu mah, urusanya sama gue. Buka gue sobek-sobek lagi udah gue parut pake parutan dapur tu congor."
"Iya sebel banget tau, Mbak."
"Emang mereka belum putus?"
"Udah tapi, dianya ngga mau putus sama Rangga."
"Iyalah kan Rangga sukanya sama kamu."
"Kita cuma temenan ya, Mbak Rum."
"Nai, coba deh lu pikir, sebenernya Rangga tu suka sama lu. Karena lu selalu nganggep dia sahabat lu dia jadi serba salah."
"Maksut Mbak?"
"Coba deh lu tanya sendiri, ke diri lu. Lu nganggep Rangga itu sahabat atau lebih?"
"Tanteeeeee!" Suara Chandra melingking dari ujung jalan, Membuat Arum langsung menoleh.
Dia tersenyum melihat Chandra yang berlari menuju ke arahnya. Dengan sigap dia langsung memeluk tubuh mungil itu.
"Chan, kok Tante kangen sama Chan?"
"Iyakan, Chandra ngangenin, " ucap Chandra dengan gemasnya.
"Chan mau bubur? Tante siapin ya?"
Chandra mengangguk saat tangan lembut itu menyuapinya.
"Chan ke sini sama siapa?" Naila mengelus pipi gembul Chandra.
"Sama papa, Tante. Tapi papa larinya lelet jadi Chan duluan yang sampai."
"Duh, Mbak. Aku lupa, Mbak Siti minta aku buat ngirim berkas yang kemarin. Aku pergi dulu ya, Mbak Rum."
"Loh-loh, Nai? Yaudah hati-hati Jangan berantem mulu sama Rangga ya."
"Iya, Mbak." Naila bergegas pergi meninggalkan Arum dan Chandra yang masih duduk di kursi di pinggir jalan.
Bima datang melangkah menyusul Chandra yang kini sudah ada di pangkuan Arum.
"Ya, Allah Chan. Papa nyariin kamu kemana-mana loh," ucap Bima yang sedari tadi mencari Chandra yang tiba-tiba saja menghilang di kerumunan ibu-ibu senam.
"Papa saja yang lelet." Chandra kembali menikmati bubur ayam yang Arum suapkan.
"Kamu ke sini sendiri Rum? Ibu giaman kabarnya?"
"Ngga, tadi sama Nai kok, Mas. Ibu udah membaik dan udah pulang juga ke rumah."
"Kok kamu ngga bilang? Hp kamu juga ngga aktif dari kemari."
"Hp Arum rusak, Mas. jatoh ke dalam WC. Jadi Arum servis dulu."
"Kok bisa?" Bima menarik kursi di depan Arum.
"Pas Arum lagi boker sambil main hp, tiba-tiba aja hpnya jatoh."
"Astagfirullah, Rum kamu ada-ada aja. Pasti yang di lihat yang aneh-aneh. Makanya jatoh."
"Hii, sok tau kamu, Mas. Oh iya tumben ngga jalan sama Bu Fatimah."
"Mulai," ucap Bima sembari mengelap keningnya yang basah dengan keringat.
Arum tipikal wanita yang mengingat hal itu sampai kiamat mungkin. Seakan dia terus menyindir Bima karena lebih mempercayai wanita lain ke timbang dirinya.
"Arum?"
"Hmm?"
"Besok Mas mau ajak Arum ke suatu tempat. Arum mau kan?"
"Kemana? Jangan-jangan Mas beneran mau ngajak Arum ke kuburan buat nyari pesugihan."
Bima mengambil sendok dan langsung mengetok kepala Arum dengan pelan.
"Aw! Sakit tau Mas."
"Abisnya kamu mikirnya aneh aja, ngapain. Eh, tapi boleh di coba juga. Gimana kalau sambil piknik?"
"Mas, kamu jangan gila deh, piknik di hutan masih wajar ini ngajak piknik ke kuburan. Gmana kalau ada yang ikutan?"
"Ya bagus dong, kan jadi ramai."
"Iya kalau yang ikutan manusia, mah ngga apa-apa. Lah kalo demit?"
"Demit apa Tante?"
"Demit itu, setan yang suka nyulik orang."
"Wahh, bagus pah. Ayok"
"Lah!?" Ucap Bima dan arum secara bersamaan.
"Mau kemana?" ucap Arum
"Kekuburan," jawab polos Chandra.
"Ngapain? Saut Bima.
"Pikniklah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top