Bab 38. Rumah sakit 2

"Bapak ngapain di sini?"

"Ah, kamu Satria. Bapak baru tahu kalau istri Bapak masuk rumah sakit."

"Bapak tidak pernah berubah, pantas saja Arum sangat membenci bapak."

"Apa maksut kamu, Satria? Kamu hanya anak kemarin sore tidak tahu apa-apa." Pria dengan tubuh sedikit gemuk dengan jenggot dan batu akik menghias setiap tanganya itu mendekati Satria.

"Dulu saat ibu sakit juga Bapak tidak tahu kan? Bapak itu egois, bapak tahu itu Kan? Ibu meninggalkan bapak karena ibu tidak pernah bapak nafkahi, bapak hanya pembawa beban selalu bikin susah, bapak juga tidak pernah perduli dengan keluarga bapak. Dan bapak ulangi perbuatan bapak di keluarga bapak yang baru."

Plak!!!

Tamparan keras menjuru ke wajah Satria.

"Kamu sudah keterlaluan, Satria kamu!"

"Bapak!" Arum datang dan langsung menghentikan Bapak tirinya.

Bapak Arum terduduk lemas saat melihat putranya tersungkur.

Arum langsung menarik Satria keluar dari rumah sakit. Dia tidak ingin membuat keributan lagi. Dia juga sudah di tegur oleh pengurus rumah sakit karena pernah menimbulkan keramaian.

"Lepasin gue!" ucap Satria saat mereka sampai di belakang rumah sakit.

Angin malam berhembus pelan, membuat udara dingin di sebuah rumah sakit di Jakarta. Bintang bersinar terang dan cahaya rembulan menerangi setiap sudut kota.

"Lu kenapa sih, Sat?" ucap Arum bergema di lorong belakang rumah sakit.

"Kenapa? Lu pake nanya kenapa!"

"Lu tu aneh, tiba-tiba datang terus mukul Mas Bima Kemarin, dan sekarang berantem sama bapak. Lu sebenernya kenapa sih."

Satria sudah tidak bisa menahan lagi amarahnya. Dia benar-benar sangat kesal. Apalagi saat dia mengingat Arum di peluk pria itu. Rasanya ingin sekali Satria membunuh pria itu saat itu juga.

"Gue ngga suka lu Deket sama Bima itu!"

"Apa maksut lu, Sat? Mas Bima itu baik."

"Baik? Lu pura-pura ngga tau apa emang lu beneran polos? Udah di kasih apa lu sama dia? Duit? Mobil? Jangan- jangan lu-"

Plak!

Satria lagi-lagi mendapatkan sebuah tamparan di wajahnya dari Arum.

"Gue ngga tau lu nganggep gue serendah itu Sat? Gue pikir lu orang berbeda."

Arum benar-benar tidak mengira Satria akan berkata seperti itu padanya.

"Lu sadar ngga sih, Rum. Dia itu cuma penasaran sama lu! Kalau dia udah bisa dapetin lu. Lu bakal di tinggalin begitu aja sama dia. Lu sadar ngga sih!" Satria mendorong Arum sampai tubuh Arum menyentuh tembok.

Arum menatap wajah Satria yang terlihat sangat marah. Kini wajah Satria terlihat sangat jelas di hadapan Arum. Dia bahkan bisa mendengar deru nafas Satria.

"Kenapa? Kenapa kalau Mas Bima cuma manfaatin gue, Sat?"

"Kenapa? KARENA GUE SUKA SAMA LU!" Satria berteriak sangat keras tepat di hadapan Arum. Suaranya menggema.

"Sa-sat? Kita saudara," ucap lirih Arum.

"Sejak kapan? Sejak kapan lu nganggep gue sodara lu! Sejak kapan Rum! Dari pertama gue liat lu, gue udah suka sama lu. Karena ikatan orang tua kita buat gue mendem perasaan ini. Lu tau seberapa gue tersiksa karena perasaan gue Sama lu, Rum. Lu pernah ngerasain ngga? Ngga kan!"

Arum masih menatap mata Satria, dia masih tidak mengira jika Satria akan mengatakan hal itu padanya.

"Sat?" Arum sudah tidak tahu lagi harus berkata apa pada pemuda di hadapannya itu.

Bima melepaskan Arum dan berbalik membelakangi Arum.

"Gue ngga minta, jawaban jadi lu ngga usah ngomong apa-apa. Yang harus lu tau. Gue ngga akan biarin lu jatuh ke tangan orang itu."

Satria pergi meninggalkan Arum yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang sudah di katakan Satria padanya.

Satria pergi mengendarai motornya menerobos lalu lintas. Dia benar-benar melajukan kecepatanya dengan sangat cepat. Emosinya masih membakar dirinya. Tak beberapa lama dia sampai di sebuah club malam. Dia memasuki Club itu dan memesan beberapa botol minuman.

Dia masih mengingat tatapan gadis itu padanya. Sekarang, mulai sekarang dia tidak akan menyembunyikan perasaannya lagi. 

Seorang wanita penghibur datang mendekati Raka.

"Lu kenapa? Wajah lu keliatan kesal?"

"Minggir lu! Jangan ganggu gue!" Satria mendorong wanita yang duduk di sampingnya itu. Tubuhnya lunglai karena minuman yang dia tenggak itu. Sepertinya dia sudah mulai mabuk.

"Satria? Sampai kapan lu mau nolak gue ha?"

"Gue ngga tertarik sama wanita kaya lu."

"Ha? Ya, karena lu lebih tertarik sama saudara tiri lu itu kan. Apa sih, kelebihan saudara lu itu."

"Lu bisa diem ngga, jangan sampe mulut lu yang merah itu gue sobek."

***

Siti menelfon Arum berkali-kali, namun lagi-lagi Handphone Arum tidak aktif. Dia semakin khawatir, pasalnya walau Arum sudah mengabari dirinya sudah sampai di Jakarta tapi, sampai sekarang pun Arum belum mengabari bagaimana keadaanya di sana.

"Mbak Siti? Kenapa?" Aziz yang melihat Siti gelisah berjalan kesana ke sini di halaman pesantren itupun mendekati wanita itu.

"Arum Ziz, nomernya ngga aktif."

"Tadi, Bang Bima telfon katanya hari ini dia mau datang ke pesantren buat ambil Chandra. Dan katanya keadaan Mbak Arum baik-baik aja, ibunya juga udah membaik."

"Alhamdulillah, Beneran, Ziz?"

Aziz mengangguk menyakinkan Siti.

"Kamu jangan Khawatir ya, Mbak Arum orangnya kan kuat. Apalagi ada bang Bima di samping dia."

"Jadi Aa Bima pergi sama Mbak Arum kemarin Ziz?" Fatimah datang dengan wajah kesalnya.

"Iya. Memang kenapa?" Jawab Naila yang tiba-tiba datang juga dengan nada kesal.

"Teman, Mbak Siti dan Mbak Naila itu lebih baik beri tahu untuk menjaga sikap dia."

"Teman saya sudah sangat baik menjaga sikapnya. Tergantung anda meperlakukan dia seperti apa." Siti menjawab dengan dana datarnya.

"Maaf, jika saya menyinggung, Mbak Siti. Tapi saya hanya tidak suka melihat tingkah teman Mbak Siti itu."

"Hah?" Saat ingin melangkah mendekati Fatimah. Aziz dengan cepat menahan tangan Siti.

"Lebih baik kita ke mushola untuk sholat." Aziz mencoba melerai keributan dengan mengalihkan perhatian mereka.

Di sana para santri tengah memperhatikan mereka. Sekaan menunggu mereka menunjukan pertunjukan yang menghebohkan.

"Iya, Mbak Siti. Ayo kita pergi aja." Naila menarik tangan Siti melangkah pergi meninggalkan Aziz dan Fatimah.

"Kamu lebih baik tidak usah ikut campur, Ziz."

"Kak Fatimah adalah guru di sini, dan Mbak Siti adalah donatur di sini. Seharusnya Kak Fatimah juga harus menjaga sikap. Karena Kak Fatimah adalah contoh."

"Saya tau. Mungkin saya sedikit kesal karena saya tahu Aa mengantar Arum pulang."

"Kak, masih ada pria yang lebih baik dari Bang Bima. Semua orang tahu Kakak masih mengejar-ngejar Bang Bima. Apakah kakak harus berbuat sejauh ini untuk mendapatkan Bang Bima."

"Maaf, Ziz. Apa jatuh cinta itu dosa? Salahkan jika aku hanya menginginkan Aa Bima sebagai imam dalam hidupku. Jika aku bisa memilih aku akan lebih baik jatuh cinta pada orang yang mencintaiku. Tapi aku tidak mampu, aku sudah mencoba berkali-kali. Tapi Aa Bima lagi-lagi selalu mengusik hatiku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top