Bab 36 Hati

Bima melangkah berjalan bersama Aziz untuk mengopi di saung dekat kebun teh. Dia mencoba menengkan fikiranya dengan sholat dan menghidup udara segar di pinggir kebun teh malam-malam.

"Duduk, Bang?" Aziz mempersilahkan Bima duduk di sebuah saung. Di sana sudah tersedia dua cangkir kopi dan beberapa gorengan untuk menemani mereka mengobrol.

"Bang, kayaknya lagi ada masalah. Ada apa bang? Wajah Abang keliatan suntuk banget."

"Abang pusing Ziz, mana yang harus Abang percayai. Abang yakin, Arum bukanlah gadis yang seperti itu. Walau dia keras kepala tapi dia sebenarnya adalah gadis yang lembut. Di sisi lain, Abang ngga mungkin tidak mempercayai pak Jainudin." Bima menghela nafas pelan.

Dia sangat merasa bersalah sudah membentak Arum. Dia benar-benar tidak bermaksud seperti itu. Saat Arum menatapnya hatinya juga ikut merasa sakit. Dia benar-benar tidak tega saat itu. Ingin sekali Bima mengejar Arum dan memeluknya sembari meminta maaf. Tapi dia tidak bisa melakukan itu.

Batinnya seakan bertarung bersama dengan fikiranya.

"Mas, walau Aziz kenal Mbak Arum baru sebentar, Mbak Arum adalah gadis yang baik. Mungkin ada kesalah pahaman atau mungkin Fatimah menangis bukan karena Arum? Tapi Abang tau kan hati seorang ayah itu tidak menginginkan anaknya terluka."

Bima mengangguk harusnya Bima bertanya pada Fatimah. Bukan pada Arum yang dia sendiri tidak tahu apa-apa. Bima jadi semakin menyesal pada Arum. Bagaimana bisa dia membuat hati gadis yang dia cintai menangis?

Mata Bima mengarah ke sebuah kendaraan bermobil yang melaju meninggalkan gerbang pesantren.

"Loh, bukanya itu mobil Rangga?" ucap Aziz.

Bima melihat Arum berada di mobil itu yang melaju melewati mereka. Mengapa Arum ada di mobil Rangga? Mengapa mobil itu melaju pergi meninggalkan pesantren?

"Ziz? Bukanya itu Arum?" Bima menunjuk ke arah mobil.

"Sebentar, Aziz telfon Mbak Siti dulu." Aziz segera mengambil ponselnya dan menelepon Siti.

"Assalamualaikum, Mbak Siti maaf mengganggu. Saya mau nanya kenapa  Rangga dan Mbak Arum pergi naik mobil buru-buru ya, Mbak?"

"Ibu Arum sakit? Tadi barusan di kabarin? Oh iya makasih ya, Mbak Siti." Aziz mematikan telfonnya.

"Ada apa, Ziz?" Ucap panik Bima. Dia benar-benar khawatir pada Arum. Pasalnya mereka barusan bertengkar dan Arum tiba-tiba saja pergi tergesa-gesa malam-malam.

"Ibu, Mbak Arum sakit katanya, Bang. Makanya dia langsung pulang. Dan Rangga katanya cuma nganter sampe stasiun."

"Heh? Arum pulang sendiri ke Jakarta naik kereta doang?" Bima yang mendengar itu langsung pergi mengambil jaketnya dan kunci mobilnya.

"Bang mau kemana?"

"Titip Chandra ya, Zis."

Bima menuju mobilnya dan melajukanya dengan cepat mengikuti mobil Rangga.

****

"Mbak Arum ngga apa-apa bener?" ucap Rangga sedikit Khawatir.

"Mbak Ngga apa-apa kok, ngga serius deh. Udah kamu mending pulang aja udah malem ini udah jam 9."

"Rangga temenin Mbak Rum aja, sampe masuk kereta."

"Arum?"

"Mas Bima?" ucap Rangga.

Arum langsung memalingkan wajahnya tak perduli dengan kehadiran Bima.

"Kamu pulang aja, Ngga. Udah malem. Biar Arum saya yang temenin," ucap Bima sembari terengah-engah karena berlari mengejar Arum.

Rangga menganggukkan kepalanya mengerti dan langsung berpamitan pada Arum.

"Rangga balik ke pesantren dulu ya, Mbak Rum. Mbak kalau udah sampe kabarin Nai ato ngga Rangga."

Arum mengangguk, Rangga langsung pergi meninggalkan Arum dan Bima.

Bima membuka jaketnya dan menyelimuti tubuh Arum. Arum dengan sigap menepis tangan Bima yang berusaha memberikan jaketnya.

"Rum, Mas minta maaf ya, tadi udah bentak Arum. Mas juga minta maaf, udah ngga percaya sama Arum. Mas Dateng tiba-tiba dan nuduh Arum aneh-aneh. Padahal Arum lagi dapet kabar yang buruk."

Arum hanya diam tanpa mempedulikan Bima. Wajahnya terlihat sangat pucat tanganya juga masih gemetar.

Bima menghela nafas pelan, "Ngga apa-apa kalau Arum masih marah, sama Mas. Tapi Mas sungguh-sungguh ngga tau kalau ibu sakit. Harusnya saat itu Mas nenangin Arum bukanya malah nuduh Arum."

Angin menghembus kencang menerbangkan beberapa sampah plastik dan dedaunan kering. Suara petir juga mulai terdengar. Sepertinya malam ini akan hujan deras.

Di sisi lain, Arum masih duduk terdiam. Jika dia mengatakan satu kata pun dia akan langsung menangis lebih baik dia diam. Sampai emosinya mereda. Dia sama sekali tidak melirik Bima yang duduk di sampingnya.

Bima sudah tidak tahu harus berkata apalagi untuk Arum memaafkannya. Yang terpenting sekarang dia bisa memastikan Arum pulang dengan selamat dan ibunya juga baik-baik saja.

Stasiun terasa sangat hening walau ada beberapa penumpang yang menunggu kereta juga. Tak lama kemudia kereta datang Arum langsung masuk ke dalam. Di ikuti Bima.

Arum tidak ingin duduk dekat dengan Bima karena itu dia sengaja duduk di ujung tempat duduk dengan seorang pria memakai masker dan jas hujan.
Bima yang masih merasa Arum marah itupun membiarkannya dengan duduk di depan menghadap Arum sembari memperhatikannya.

Kereta berjalan dan waktupun berjalan. Arum terlihat sangat lelah hingga dia tertidur.

Namun di sisi lain, Bima dengan menyilangkan tanganya memperhatikan tingkah pria dengan jas hujan itu. Pria itu terlihat mencurigakan. Membuat Bima merasa curiga.

Pria dengan jas hujan hitam dan masker yang menutupi wajahnya itu seakan merapatkan tubuhnya ke sisi Arum. Tanganya mulai keluar perlahan dan ingin menyentuh Arum.

Dengan sigap, Bima menghentikan tangan pria itu. Pria itu terkejut saat sebuah tangan kokoh mencengkram tanganya.

"Dia istri saya, bisa anda geser?" ucap Bima dengan mata tajamnya.

Pria itu yang sedikit takut dengan tatapan Bima segera bangkit dan melangkah ke gerbong depan meninggal kan Arum dan Bima.

Bima membuka jaketnya dan menyelimuti tubuh Arum yang terlihat kedinginan. Dia juga menggeser kepala Arum agar bersandar di pundaknya.

Arum yang tertidur sangat pulas itupun tak sadar sampai suara petir membangunkanya.

"Apa sudah sampai?" Arum melihat jam tangannya menunjukan pukul 23:22. Tandanya sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun.

Arum sedikit terkejut melihat tubuh gagah itu sudah berada di sampingnya dengan kepala menunduk karena tertidur. Dia juga baru sadar jaket Bima ada apadanya. Pemuda dengan baju Koko putih dengan lengan di gulung itu terlihat sangat lelah.

Arum ingin melangkah pergi namun tiba-tiba saja kepala Bima terjatuh tepat di pundak Arum. Membuat Arum terdiam. Haruskah Arum membangunkannya? Tapi dia tidak sekejam itu, Bima pasti dari tadi menjaganya saat dia tertidur.

Akhirnya Arum mengurungkan niatnya dan duduk diam membiarkan Bima tertidur di pundaknya.

"Hmm? Bau Chandra," gumamnya pelan.

Bima tersenyum tipis, saat dia menyadari Arum membiarkan dia tertidur di pundaknya. Sebenarnya dia hanya pura-pura tertidur agar Arum tidak mendiamkannya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top