Bab 35. Pertarungan doa.

"Bima?" ucap pak Jainudin yang menghentikan langkah Bima.

"Ada apa, Pak?"

"Sebelum saya yang menegurnya. Bisakah kamu sendiri yang menegur Arum? Tolong jangan ganggu anak saya? Anak saya anak yang baik. Dia tidak pernah melukai hati siapapun. Tapi lihat? Setelah berbicara dengan Arum dia berlari ke kamar dengan menangis. Apa yang sudah dia perbuat pada anak saya? Jadi tolong beritahu dia. Sekali lagi dia membuat anak saya menangis. Saya tidak akan tinggal diam?"

"Maaf pak, tenang dulu, Arum tidak mungkin menyakiti Fatimah, dia bukan gadis seperti itu."

"Lihat? Kamu malah sekarang belain gadis itu. Saya tahu kamu sangat menyukai gadis itu. Tapi ingat! Yang selalu ada untuk kamu, yang selalu berada di sisi kamu itu anak saya! Anak saya rela mengorbankan segalanya demi kamu! Tapi lihat apa yang kamu perbuat pada anak saya! Saya tidak akan tinggal diam! Saya tidak akan biarkan anak saya terluka oleh siapapun! Termasuk Arum!" Pak Jainudin pergi meninggalkan Bima yang masih terdiam.

Apa yang terjadi pada Arum dan Fatimah. Sekeras apapun Arum dia tidak akan membuat orang lain terluka tanpa sebab. Tapi Fatimah yang dia kenal juga bukan orang yang seperti itu. Tanpa sepatah kata pun Bima melangkah mencari Arum. Dia ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi.

***

"Kenapa, Ka?" Arum menjawab panggilan Raka di telfon.

"Ibu sakit, Mbak. Mbak cepet pulang ya?"

"Ibu sakit? Bapak mana?" Arum melangkah keluar asrama.

"Bapak pergi mancing, tadi duit yang Mbak kasih di minta bapak buat mancing."

"Astagfirullah." Bapak tiri Arum adalah orang yang sangat gila memancing , kalau sudah seperti itu Arum benar-benar geram dengan tingkah dan perbuatan ayah tirinya. Bisa-bisanya dia pergi begitu saja tanpa memikirkan keadaan ibunya. Awas saja terjadi sesuatu pada ibunya, Arum pasti akan marah besar. Arum mencoba tenang walau seluruh tubuhnya sudah mulai gemetar, dia tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya.

"Yaudah, kamu jangan panik. Nanti Mbak telfon Satria buat bantu kamu antar ibu ke rumah sakit."

"Iya, Mbak. Cepetan ya, Mbak. Raka khawatir banget sama ibu."

Arum mematikan ponselnya dan memanggil Satria dengan tangan yang gemetar.

"Halo? Kenapa Rum? Tum-"

"Sat lu bisa kerumah gue ngga sekarang? Ibu gue sakit, tolong bantu Raka bawa ibu ke Rumah sakit. Plis"

"Ibu sakit? Yaudah. Gue ke sana sekarang. Lu jangan panik."

"Tolong, ya Sat. Gue bakal pulang sekarang."

"Oke. Lu hati-hati Jangan mikir aneh-aneh dulu."

Arum mengangguk dan mematikan ponselnya.

"Arum?"

Arum menoleh melihat Bima datang menghampirinya.

"Mas?" Tangan Arum masih sangat gemetar wajahnya sangat pucat.

"Kamu sama Fatimah ada masalah apa? Kenapa pak Jainudin tiba-tiba marah dan bilang kamu buat Fatimah nangis."

"Maksutnya? Arum ngga pernah buat Fatimah nangis."

"Rum, Mas tau kamu orangnya keras. Tapi Fatimah adalah orang baik. Dia ngga bisa di kerasin. Mungkin menurut kamu perkataan kamu biasa saja, tapi mungkin kamu sedikit menyakitinya."

"Mas ngomong apa sih? Jadi Mas nuduh Arum nyakitin Fatimah?"

"Bukan seperti itu?"

"Arum ngga pernah buat Fatimah nangis atau nyakitin Fatimah Mas. Mungkin saja dia sendiri yang mendrama."

"Arum!" ucap Bima yang membuat Arum terdiam. Baru kali ini, Bima meninggikan suaranya pada Arum. Semarah apapun Bima tidak pernah dia sampai seperti ini pada Arum.

"Kenapa? Mas marah? Mas ngga suka Arum bicara kaya gitu ke Fatimah? Jika seistimewa itu Fatimah di mata mas Bima, Kenapa kalian ngga menikah saja kenapa mas terus-terusan ngejar Arum kalau wanita lain yang mas lebih percayai?" Arum melangkah pergi meninggalkan Bima.

"Arum," ucap Bima saat meliat gadis itu pergi begitu saja meninggalkan ya.

Arum melangkah menuju lorong asrama yang gelap, tanganya gemetar tubuhnya hampir saja menggigil karena menahan segala emosinya.

Tiba-tiba saja Arum tak dapat membendung air matanya dan menangis dilorong asrama. Mengapa? Mengapa Arum begitu sakit. Kepala Arum ingin sekali pecah. Hatia Arum seakan hancur. Ibunya tiba-tiba saja jatuh sakit, bahkan Bima orang yang dia harapkan dapat berbeda dan menajadi imam masa depanya lebih mempercayai dan membela wanita lain. Ayahnya yang tidak berguna hanya bisa menyusahkannya saja. Semua masalah bertumpuk menajadi satu di hati dan pikirannya. Membuat Arum tak dapat lagi membendung segalanya.

Kau tahu bagaimana rasanya harus menangis tanpa suara? Rasanya sesak. Seakan dia tidak bisa bernafas dunia terasa sangat sempit sampai membuatnya tak tahan lagi. Ingin sekali Arum berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Dia hanya wanita lemah yang hanya ingin menangis tapi mengapa dunia terasa begitu kejam baginya.

Arum mengusap air matanya, memukul dadanya berkali-kali. Tidak. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh kalah, dia harus kuat. Arum mencoba menarik nafasnya perlahan dan menghembuskanya. Namun Air mata itu sekaan jatuh tanpa bisa di hentikan membuat Arum harus mengusapnya berkali-kali.

Setelah dia merasa sedikit tenang dia kembali melangkah menuju kamarnya untuk membereskan barang-barangnya.

"Rum, lebih baik kamu pulangnya besok ya? Ini sudah malam. Mbak Khawatir." Siti membantu Arum membereskan pakaianya.

"Ngga apa-apa, Mbak kalau Arum tetap di sini Arum ngga akan tenang. Arum khawatir banget sama Ibu," ucap Arum sembari menghusap Ari matanya yang masih mengalir.

"Mbak Rum, kata Rangga dia yang mau nganter. Mbak Rum." Naila menyentuh tangan Arum dengan lembut.

"Iya, anter sampai stasiun aja, Ya Nai. Nanti Mbak naik kereta. Ini masih jam setengah delapan. Kertas terakhir ada di jam sembilan lewat. Jadi masih bisa kekejar kok Nai."

"Mbak Rum." Lisa memeluk Arum membuat Arum semakin ingin menangis.

Naila dan Siti tiba-tiba saja ikut memeluk Arum. Membuat mereka malah ikut menangis dan Arum juga menangis semakin kencang.

"Pokoknya sampe sana Mbak langsung kabarin kita ya," ucap Lisa yang di balas anggukan Arum.

"Kenapa, Mbak ngga mau di anter Rangga aja sih Mbak?" Ucap Naila yang merasa semakin khawatir

"Nai ini udah malam, kasian Rangga lagi pula dia ke sini itu atas amanah ayahnya. Ngga apa-apa naik kereta juga aman kok. Sampai sana mbak naik grab langsung ke rumah sakit."

Naila, Lisa dan Mbak Siti mengantar Arum sampai memasuki mobil Rangga.

"Mbak Rum serius loh, Rangga anter aja ya, sampai Jakarta."

"Ngga? Dengerin kata, Saya."

Rangga terdiam saat Arum mengatakan itu. Itu bukan lagi ucapan semata, Rangga sudah tau jika Arum mengatakan itu artinya tidak boleh di bantah.

"Hati-hati ya, Mbak Rum kalo ada apa-apa langsung kabarin." Naila membenahi jaket Arum.

"Sampai sana langsung telfon ya, rum." Mbak Siti terlihat sangat khawatir.

"Mbakkk?" Lisa Kemabli memeluk Arum.

"Yaudah, aku pergi dulu ya."

Mereka mengangguk dan membiarkan mobil itu melaju pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top