Bab 31 Harus.

"Ngapain lu di sini ngga?"

"Jemput Lisa sama Mbak Siti. Kemarin Mbak Siti nelfon, ngajak gue buat anter mereka ke Bogor."

"Hah?" Naila mengerutkan keningnya. Mengapa Mbak Siti tidak meminta supir pabrik  buat mengantar mereka saja. Kenapa dia harus mengajak Rangga.

Naila yang masih bertengkar dengan Rangga segera menghampiri Mbak Siti dan Lisa yang tengah bersiap-siap.

"Mbak ngapain si ajak Rangga? Bete banget Nai sama dia tu. Nanti Nai di labrak mulu sama pacar dia yang kek babi itu."

"Ayah Rangga salah satu donatur juga di sana. Makanya dia minta Mbak Siti buat ajak Rangga. Masa Mbak nolak sih, Nai. Kamu tau kan, ayah Rangga salah satu teman bisnis kita."

"Iya, Sih Mbak. Tapi Nai tu lagi males banget sama Rangga."

"Udah Kak Nai, ngambeknya atau di pending dulu. Kita butuh Bang Rangga loh buat nganter kita sekalian. Kasian tau Bang Rangga. Dia tu tiap hari nanyain Mbak Nai mulu. Dia sebenernya khawatir sama Mbak Nai."

"Berisik banget lu, bocil."  Naila melangkah memasuki mobil dengan kesal.

"Lagi PMS kali, Mpok lu itu ,Lis. Masa Bang Rangga di ambekin selama seminggu ini. Marahnya ngga berhenti-henti," ucap Rangga mendekati Mbak Siti sembari membantu Mbak Siti memasukan barang-barang belanjaan ke dalam mobil.

"Assalamualaikum?"

"Waalaikumsalam." Ucap serentak mereka.

"Zis, saya pikir udah berangkat duluan?" ucap Siti pada Aziz yang baru datang.

"Masyaallah," gumam Aziz saat melihat Siti dengan anggun mengenakan hijab. Seakan dia berat sekali menundukan pandanganya, hingga tanpa henti menatap takjub wajah Siti.

"Caelah, Pak ustadz. Dosa loh Mandang wanita yang bukan muhrim." Lisa segera meledek Aziz saat Aziz dengan terang-terangan memandang Siti.

Siti yang terlihat malu segera memalingkan wajahnya.

"Astagfirullah," ucap Aziz segera menundukan pandanganya.

"Tadi malam saya sudah dari sana tapi pulang dulu untuk mengambil beberapa buku," ucap Aziz.

"Yaudah, Pak bareng aja. Ngga papa kan Mbak Siti?" tanya Rangga di balas anggukan Siti.

"Saya tidak ingin merepotkan, terima kasih."

"Justru kami yang mau merepotkan Pak ustadz, agar membantu kami buat ngankutin barang-barang. Soalnya ada cowo di sini juga ngga bisa di andelin." Naila melirik Rangga dengan wajah kesalnya.

"Ya, udahlah serba salah udah."

"Sabar ya, Bang Rangga mengadapi nenek sihir."

Mereka berdua langsung masuk mobil saat, Naila melempar pandanganya ke arah mereka karena geram.

Aziz yang tidak ada alasan lagi untuk menolak ajakan mereka pun segera mengiyakan dan ikut masuk ke mobil. Di perjalanan Lisa mengoceh tanpa henti. Semuanya dia komplain, mulai dari mobil jalan raya dll.

"Pusing banget aing Mak, kalau begini. Liat aja nih mobil gede tapi ACnya ngga dingin."

"Iyalah, kebanyakan dosa yang punya," saut Naila.

"Yaelah berisik banget kalian ini, lama-lama gue turunin juga nih."

Di sisi lain, Aziz mencuri pandangan pada gadis di belakangnya. "Masyaallah, Siti benar-benar cantik mengenakan hijabnya." Bayinya.

"Caelah! Di pandangin mulu. Dari tadi, udah sih lamar aja pak."

***

"Lu mau kemana Rum? Kok bawa tas gede?" Satria datang dan masuk ke kamar Arum yang pintunya terbuka lebar.

"Mau minggat," ucap Arum sembari menata beberapa pakaian ke dalam tasnya.

"Ih monyet, gue nanya serius." Satria merebahkan tubuhnya di ranjang milik Arum.

"Turun dari tempat tidur gue! Nanti kotor lu kan ngga pernah mandi."

"Nyaman juga ya kasur lu ini."

Arum menatap tajam Satria yang tengah berbaring dengan nyaman di kasur kesayanganya.

"Keluar lu sana. Ini kamar gue."

"Btw, lu hobi juga ya nempelin banyak poster cowo-cowo K-Pop? Itu siapa namanya? Dih mukanya sama semua." Rangga sembari menatap setiap sudut kamar Arum.

"Berisik lu ya. Udah keluar sana. Gue mau beres-beres karena gue bentar lagi mau berangkat."

"Lu serius mau minggat?"

"Kepo banget sih, lu."

"Gue nanya serius makanya di jawab, Nyet."

"Gue mau pergi ke Bogor."

"Sama siapa? Ngapain?"

"Mau Ama siapa aja itu urusan gue lagian gue mau nyari pesugihan. Cape hidup miskin." Arum segera mengambil jaketnya dan kembali memeriksa barang bawaanya.

"Assalamualaikum?" Saat mendengar suara bima. Arum segera mengintip dari dalam kamar.

"Lu di sini aja, awas aja lu keluar. Jangan keluar sebelum gue pergi. Paham."

Pasti pria itu. Dia benar-benar tidak takut dengan ancaman Satria saat itu. Lantas mengapa Arum pergi ke Bogor dengan membawa beberapa baju. Apakah dia akan menginap di sana? Bersama pria itu? Tidak. Arum bukanlah wanita seperti itu.

"Hati-hati ya, Satria. Nitip anak ibu."

"Iya, Bu. Insyaallah Arum saya jagain."

"Sampai sana kabarin ibu, Ya Rum."

"Iya Bu, lagian Arum cuma 2 hari di sana, Bu. Bukan mau minggat sampe puluhan tahun."

Bima tertawa, mendengar cletukan Arum kepada ibunya.

Di sisi lain Satria mengintip mereka dari dalam kamar Arum. Dan setelah mereka pergi, Satria keluar.

"Arum mau pergi kemana, Bu?" ucap Satria menghampiri ibu Arum.

"Mau ke Bogor ada acara di pesantren.  Arum sama temen-temen kerja Arum pergi kesana buat bantu-bantu dan ngisi acara. Kebetulan Bima adalah salah satu donatur di sana jadi mereka berangkatnya bareng."

"Oh gitu." Benar bukan, Arum bukan wanita yang seperti itu. Lagipula untuk sementara ini lebih baik dia di sana. Jika dia di Jakarta para gengster itu pasti akan mengganggunya. Tapi tetap saja, Bima akan mendapat peluang lebih dekat dengan Arum. Itu membuat Satria semakin resah.

"Kamu sudah makan, Satria? Ibu masak sayur bayam. Makan ya, temani ibu."

Satria mengangguk dan mengikuti ibu Arum ke dapur.

"Kamu kenapa ngga mau tinggal di sini sama, ibu?" Ibu Arum mencentongkan nasi ke piring Satria.

"Satria mau hidup mandiri, Bu." Ibu Arum sangat baik pada Satria. Dia dengan sungguh-sungguh dan tulus berusaha mendekati Satria. Namun, hal itu malah membuat Satria merasa tidak enak. Dia sangat tidak ingin menyusahkan orang lain, apalagi ibu Arum sangat baik padanya.

"Bukan karena ibu atau Arum kan?"

"Bukan kok Bu, Satria sangat suka ada di sini. Ada Raka dan Arum. Tapi Satria juga mau belajar mandiri."

"Ini makan. Ikan ini enak loh." Ibu Arum mencuilkan daging ikan ukuran besar ke piring Satria.

Satria menatap ikan  itu, harusnya yang melakukan ini adalah ibu kandungnya, bukan malah ibu tirinya, hal itu membuat Satria merasa semakin sedih.

"Ibu?"

"Hmm? Knapa nak?"

"Satria mau ucapin makasih, dan maaf karena Satria selalu menyusahkan keluarga ini. Ibu, Arum dan Raka sangat baik pada Satria. Tapi Satria selalu menyusahkan kalian. Kalau saat itu ibu ngga menjamin Satria mungkin Satria masih ada di dalam penjara."

"Kamu,Putri,Arum dan Raka itu anak ibu. Saat ibu memutuskan menikah dengan ayahmu artinya ibu harus, wajib menerima dan menganggap kalian seperti anak ibu sendiri. Jadi jangan seperti itu." Ibu Arum mengelus lembut tangan Satria.

"Terimakasih, Bu."

"Ibu percaya kamu anak baik, jadi jangan sedih, ya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top