Bab 28 Teman.


"Maaf, ya Sar. Kita telat," Arum sembari memberikan sebuah Hadiah.

"Iya, nih macet banget tadi loh, Sar." Naila langsung duduk di sebuah kursi di sebuah cafe.

"Btw, selamat ya atas pernikahan lu. Maaf, juga kemarin kita ngga dateng dan ngga ngirim hadiah," lanjut, Naila menyodorkan hadiah juga ke Sari.

"Abis lu nikahnya mendadak ngabarin pas besok udah hari H. Trus juga mana di kampung pula gimana kita mau Dateng," ucap Arum

"Sama-sama, Nai, Rum iya maaf, namanya juga di jodohkan jadi mendadak banget. Oh iya kapan nih kalian bakal nyusul gue?"

"Gampang itu mah, Mbak Arum duluan deh kayaknya, Sar. Soalnya Mas Bima udah ngebet banget sama Mbak Arum."

"Apa sih, lu Nai," saut Arum dengan pipi yang terlihat merah.

"Rum, cepetan nikah kalo emang udah ada calon. Nikah enak loh Rum. Apalagi pas malam pertamanya, Nikmat dunia bakal lu rasain."

Arum memberikan ekspresi aneh pada kalimat yang di berikan Sari.

"Mesum banget loh ya."

"ih serius, sini gue bisikin."

Naila dan Arum dengan spontan menyodorkan telinga. Membuat sari segera berbisik mengatakan sesuatu.

"Ih, lu astagfirullah,"ucap Arum sembari mengelak bisikan Sari. Di sana Naila malah tertawa terbahak-bahak.

"Heleh, lu nanti juga ngerasain sama suami lu kalau udah nikah."

"Iya juga, Mbak Rum. Mas Bima kan seksi. " Naila menaikan alisnya ke atas kebawah.

"Nai! Otak lu jangan ikut tercemar."

"Serius, Mbak Rum. Liat aja ototnya Mas Bima, beh. Belum lagi dada bidangnya bisa buat main karambol. Trus absnya pasti punya 6 kotak bisa buat Giles karpet aula di pabrik."

Kembali Arum menonyor kening Naila yang penuh pikiran kotor.

"Serius lu Nai, pacarnya  Rum seseksi itu."

"Dia bukan pacar gue."

"Iye, tepatnya syugar Dedy atau Duda seksi."

"Naila!" Teriak Arum yang langsung memukul Naila dengan tas kecilnya.

"Am-ampun, Mbak Rum."

***

"Bapak dengar dari ibumu, kemarin pacarmu datang ke rumah." Bapak tiri Arum memulai pembicaraan di meja makan.

Tapi Arum hanya diam tak menjawab sepatah katapun.

"Rum. Walau bapak bukan bapak yang baik. Tapi bapak juga pengin liat kamu menikah."

"Kalau Arum menikah, Arum bakal ikut suami Arum. Trus? Yang bayar tagihan listrik dan air siapa? Sekolah Raka siapa? Bapak sanggup? Udah deh pak, ngga usah sok jadi bapak yang baik." Arum meletakan sedoknya dan pergi meninggalkan meja makan.

"Liat kan? Anakmu itu. Itu anakmu. Orang tua ngomong baik aja kaya gitu responya," ucap ayah tiri Arum yang membuat ibunya terdiam.

Arum melangkah pergi keluar rumah tanpa mempedulikannya. Dia kembali menarik nafasnya dan duduk di sebuah kursi dekat pohon pisang. Wajahnya terlihat sangat kesal, entah mengapa dia sangat tidak menyukai ayah tirinya sejak dulu.

Arum bukanlah tipikal orang yang akan berpura-pura baik pada seseorang . Jika dia tidak menyukainya sikap dan raut wajahnya pun terlihat jelas.

"Berantem lagi sama bapak?" ucap Satria yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang sebuah pohon.

"Astagfirullah! Sat! Udah kaya jurig lu tiba-tiba nongol di balik pohon pisang."

"Iya, gue jurig yang bakal gentayangan lu. Cakep gini di kata jurig."

"Lu ngapain di situ, Panjul."

"Nyari jangkrik."

"Lah. Hahaha mana ada jangkrik di situ." Arum terkekeh geli melihat Satria.

"Kan makin cantik lu, kalo ketawa gitu." Satria duduk di samping Arum.

"Bapak lu tu. Bikin gue emosi mulu tiap hari."

"Eh, Rum. Bapak gue emang kek gitu tabiatnya. Tapi dia ngga pernah main tangan. Lu paling di bentak doang kan, pernah ngga lu di pukul? Gitu-gitu dia sayang banget sama ibu lu dan peduli sama lu."

Arum melirik Satria dengan tatapan kesal.

"Kok lu aneh sih Rum. Kalo lagi kesel muka lu bisa gemesin banget. Hati-hati nanti orang jadi banyak yang naksir lu."

"Gue mah, cantik wajar lah banyak yang naksir gue."

"Iya percaya, emang cantik kok." Satria menatap Arum dengan sangat dalam.

"Sat?"

"Hmm?" Jawab Satria yang masih menatap lembut Arum.

"Lu jangan bergerak ya," ucap Arum pelan.

"Heem," Satria mengangguk pelan.

Tunggu. Mengapa Arum menyuruhnya untuk tidak bergerak? Apa dia-

PLAK!

Sebuah tangan mendarat sempurna di jidat Satria.

"Aduh! Lu apa-apaan sih Rum?" Satria mengusap berkali-kali keningnya yang terkena pukulan telapak seribu tangan Arum.

"Nyamuk," ucap Arum tanpa rasa bersalah.

"Gila lu, cuma gara-gara nyamuk aja lu mukul gue kek gitu. Sakit tau Rum."

"Sorry, jiwa gue bergejolak ngga tahan lagi pengen mukul nyamuk yang nemplok di kepala lu itu."

"Iya, ngga harus kenceng banget gitu kali, Rum. Liat nih jidat gue merah."

"Hahaha, mana sini coba gue liat." Arum menarik kepala Satria dan melihat cap tangan dia membekas di jidatn Satria.

"Hahaha, hebat juga ya keplakan gue."

"Tanggung jawab lu, Nyet."

"Sialan lu, ngatai gue monyet, mau gue geplak lagi kepala lu?"

"Ja, jangan-jagan bisa-bisa amnesia gue."

"Lain kali suruh nyamuknya nemplok di tempat lain. Misal mata lu kek, biar bisa gue colok sekalian."

"Lu psyacopat juga ya, Rum. Pantes Raka bilang lu cewe psyco kalo lagi marah."

Arum kembali tertawa melihat bekas tanganya yang masih terlihat di kening Satria. Apa dia terlalu keras memukulnya ya? dia jadi sedikit merasa bersalah pada Satria.

"Btw, dari pada lu bete di sini. Ikut gue muter-muter naik motor mau?"

"Ada bensinya ngga? Nanti gue lagi di suruh dorong kalo mogok."

"Ya, tergantung amal ibadah lu."

"Dasar lu."

"Mau ngga?"

Arum melirik rumahnya, dari pada dia suntuk. Lebih baik dia pergi bersama Satria sembari menunggu ayah tirinya pergi memancing, barulah dia pulang.

"Ayok." Arum berdiri, membuat Satria tersenyum lebar.

"Pegangan, nanti jatoh gue ngga tau."

"Sorry, gue ngga mau pegangan sama lu. Mending gue megang jok motor aja."

"Heleh, lu kalo di goncengin Mas Bima itu juga pasti nemplok."

"Sok tau, lu. Udah jalan keburu malem."

Satria mengendarai motornya dengan pelan. Dia sengaja memelankan kecepatan motornya lebih dari biasanya. Biasanya dia mengendarai motor dengan ugal-ugalan. Tapi ketika membawa motor dengan Arum dia sangat pelan melajukanya.
Dia sengaja memiringkan kaca spion motornya ke arah Arum, agar dia bisa melihat wajah gadis itu setiap saat.

Tak beberapa lama, Satria menghentikan motornya di parkiran Monas.

"Mau ngapain kita ke Monas?"

"Liat Festival air Mancur Musik dan Cahaya."

"Heh? Emang ada?"

"Adalah, makanya sering-sering nongkrong malem, jangan kerja mulu. Nih pake." Satria membuka jaketnya dan memberikannya ke pada Arum.

"Buat apa?"

"Lu pake lah, anak monyet. Biar ngga masuk angin. Ribet nanti kalo lu sakit, lagian angin malem ngga baik," ucap Satria yang melihat Arum hanya mengenakan kaus panjang.

"Tumben banget, lu baik sama gue." Arum segera mengenakan jaket Satria, karena sedari tadi dia merasa kedinginan. Arum tidak bisa jika terlalu kena angin malam.

Mereka berdua berjalan menuju pusat festival. Mereka duduk di hamparan Monas menyaksikan air mancur dan pertunjukan cahaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top