Bab 27. Bertemu ibu.
"Rum, ibu denger kamu sering di antar laki-laki ya? Siapa dia Rum? Kok ngga pernah diajak main ke rumah?" Ibu memasukan beberapa bahan ke dalam kuah sayur yang dia masak.
"Bukan siapa-siapa, Bu. Dia cuma temen Arum doang kok," jawab Arum sembari memotong cabai dan bawang.
"Rum, kamu tu udah dewasa, udah harusnya menikah."
"Arum sibuk, bu. Ngga sempet mikirin nikah. Ibu aja yang nyari."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Ibu Arum menuju pintu.
Arum terdiam sejenak, itu suara Mas Bima? Ngapain di ke rumah Arum?
Arum segera menyusul ibunya, dan benar saja. Seorang pria gagah dan tinggi berdiri tersenyum ke Arah ibu Arum.
"Mas Bima? Ngapain di sini?" tanya Arum dengan wajah panik dan terkejut.
"Mas, cuma mau ketemu Arum, sekalian mau ketemu ibu juga." Bima menyodorkan beberapa buah yang langsung di sambut ibu Arum.
"Masuk dulu, Nak. Duduk dulu." Ibu Arum dengan antusias mempersilahkan Bima masuk.
"Arum buatkan minum dulu ya, Mas," ucap Arum yang di balas anggukan Bima.
"Siapa namanya, Nak?"
"Bima, Bu. Bima Bagaskara." Bima menyebutkan dengan lengkap namanya.
"Di sini tinggal dimana? Kerja di mana?"
"Ibu udah kaya sensus aja nanyanya." Arum datang membawa dua gelas teh hangat.
Bima terseyum ke arah Arum, dan ibunya.
"Saya tinggal di Jakarta timur, Bu. Saya kerja di restoran."
Ibu Arum kembali tersenyum ke arah Bima. Bagaimana putrinya bisa menemukan pria gagah dan tampan seperti Bima. Dia benar-benar senang mendapati anak gadisnya sudah bisa membuka hatinya pada lelaki baik dan sopan seperti Bima.
"Mas, kenapa datang ke sini ngga ngabarin dulu?"
"Abis kalau mas bilang mau ke rumah Arum pasti Arum banyak alasan."
"Itu dia, Nak Bima. Anak ibu ini memang ngga pernah bawa pria kerumah, tiap ada yang deketin selalu di cuekin. Aduh. Ibu lupa lagi masak sayur. Ibu tinggal dulu ya?" Ibu Arum segera bergegas pergi ke dapur.
"Mas, kalau mau ke sini ngabarin dulu. Jangan mendadak begini, kan Arum udah bilang rumah Arum sempit."
"Arum kan selalu menolak kalo Mas bilang mau main ke rumah. Jadi mau gimana lagi, Mas terpaksa dateng langsung tanpa ngabarin Arum."
"Yaudah, Mas pulang sekarang."
"Lah, Mas baru dateng, loh. Udah di suruh pulang aja."
"Mas liat tu di luar, ibu-ibu udah panda mantau kita."
Bima menoleh ke luar rumah Arum, yang memang pintunya tidak di tutup. Dia melihat beberapa ibu-ibu berkerumun di bawah pohon pisang depan kebun Arum.
"Memang kenapa? Biar semua orang tahu. Toh, sebentar lagi juga Mas mau mengutarakan maksut mas sering datang ke sini."
"Maksut, Mas?"
"Arum, Mas udah bilang berkali-kali. Mas ngga mau main-main sama Arum. Mas juga udah bilang Mas suka sama Arum dan mau Arum jadi istri Mas."
"Iya Tapi-"
"Mas Dateng kesini mau silahturahmi, biar ibu Arum kenal, Mas. Dan mas juga bisa sering main ke rumah Arum biar lebih Deket sama keluarga Arum."
Arum menghela nafasnya, bukan tidak mau, dia hanya belum siap saja. Dia belum siap, jika Bima melihat seberapa berantakannya keluarga dia. Belum siap jika dia tahu Arum sering bertengkar dengan ayah tirinya. Tapi melihat Bima dengan nekat datang ke rumahnya baik-baik, membuat Arum menghargai perjuangannya itu.
"Assalamualaikum."
"Walaikum salam," ucap Bima dan Arum saat melihat Raka pulang.
"Tumben udah pulang, Rak?"
"Iya, Mbak. Kan Raka cuma kerja kelompok doang." Raka melirik seorang pria tinggi yang duduk di depan Arum.
"Ah, itu Mas Bima. Mas, ini Raka adik Arum."
Raka langsung mencium tangan Bima, dan memberi salam.
"Kamu punya adik udah gede juga, ya Rum."
"Udah gede dan ganteng juga, Mas," saut Raka sembari membenarkan rambutnya.
"Heleh, banyak gaya nih anak."
"Pantes aja, ibu-ibu pada ngumpul di depan. Ternyata ada tamu yang tak terduga." Melirik Arum yang terlihat malu saat di goda Raka.
"Ngomong apa sih, kamu. Udah masuk sana."
"Mari, Mas. Hati-hati sama Mbak saya, Mas Bima. Dia galak," ucap Raka yang langsung berlari menuju kamarnya.
"Galaknya tapi ngangenin," gumam Bima.
"Heh? Ngomong apa tadi, Mas?"
"Ngga, ngga ngomong apa-apa kok." Bima menyeruput teh hangat yang ada di atas meja.
Mereka berbincang-bincang bersama ibu Arum. Membuat Bima semakin dekat dengan Arum.
"Oh, iya Bu. Saya harus pulang. Udah mau sore juga." Pamit Bima.
"Oh iya, Nak. Hati-hati di jalan, sering-sering main ke sini ya."
Bima mengangguk sembari tersenyum manis ke arah Ibu Arum.
"Mas, Pamit dulu ya Rum."
"Iya, hati-hati ya, Mas. Jangan sering-sering main ke sini."
"Hus, kok ngomong gitu. Harus sering-sering dong main ke sini." Ibu Arum menatap tajam Arum.
Bima menaiki motor Scoopy putihnya dan melaju pergi meninggalkan Arum dan Ibunya.
Di sisi lain, Satria yang mengawasi Arum dari samping rumahnya terlihat sangat kesal.
Jika dia tidak bertindak apapun, dia bisa saja kehilangan Arum. Tidak, dia tidak akan bisa kehilangan Arum.
Satria langsung mengendarai motornya dan langsung mengejar Bima. Dia melajukan motornya dengan kencang dan menghentikan Bima di tengah jalan.
Bima yang terkejut, lantas mengerem dan menghentikan motornya itu. Seorang pemuda membuka helmnya dan melangkah menuju Bima. Pemuda tampan dengan rambut yang di ikat itu menatap tajam Bima.
"Jadi lu yang namanya Bima."
Mata Satria memperhatikan Bima dari ujung kaki sampai ujung kepala. Bagaimanapun, pria di hadapannya memang tampan. Tubuhnya tinggi dan gagah wajahnya terlihat tegas dan dewasa, dia adalah pria yang sempurna di mata wanita.
"Kamu siapa?"
"Lu ngga perlu peduli siapa gue. Yang pasti gue mau lu jauhin Arum."
Bima mengerutkan keningnya, matanya menatap tajam pemuda di hadapannya itu. Satria sedikit terkejut, melihat tatapan tajam yang di arahkan Bima kepadanya.
"Apa hak anda menyuruh saya menjauhin Arum?" Bima menaikkan sebelah alisnya.
Siapa pemuda yang tiba-tiba datang menyuruhnya menjauhi Arum? Apa dia mantan kekasih Arum? Atau dia adalah orang yang sedang dekat juga dengan Arum?
Entah siapapun dia, dan apapun yang akan dia lakukan dia tidak akan mundur. Dia akan terus berjuang mendapatkan Arum.
"Lu banyak bacot ya? Gue ngga lagi memperingati lu, tapi gue sedang mengancam lu." Satria mendekat dan mencengkram kerah Bima.
Tubuh Bima yang lebih tinggi dari Satria dan lebih berotot sedikit membuat kesulitan Satria untuk mendorongnya.
"Saya tidak mengenal, anda. Dan saya juga tidak tahu apa hubungan anda dengan Arum. Yang pasti, itu tidak akan membuat saya gentar untuk semakin mendekati Arum."
"Arum ngga akan jatuh dengan pria kaya lu. Gue ngga akan biarin itu. Arum milik gue."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top