Bab 23 Piknik
"Kalian buat apa, belanja sebanyak ini?" Bima datang dengan raut wajah yang terlihat lelah dan kesal.
"Buat piknik besok, Mas."
"Piknik?" Bima melirik Chandra yang masih sibuk membantu Arum mengeluarkan bahan belanjaanya.
"Bukannya papa bilang ngga ada piknik-piknikan?" ucap Bima.
"Kenapa sih, Mas. Chandra udah nurut loh ngga piknik bareng temen-temennya. Besok dia piknik sama Arum, ngga jauh juga kok. Di taman GBK, di situ ada lahan terbuka hijau bisa buat piknik juga."
"Kalau, Mas ngga ijinin, kamu mau apa? Memang siapa kamu?"
"Ak'?" Arum terdiam. Wajah Bima terlihat sangat lelah, dia terlihat sangat banyak pikiran. Arum benar-benar tidak mengira Bima akan mengatakan itu padanya. Hatinya sedikit merasa sakit, entah mengapa Arum juga tidak tahu.
"Ngga ada piknik-piknikan. Papa udah bilang!" ucap Bima, yang membuat Chandra berlinangan air mata dan berlari ke kamar.
"Mas kenapa sih? Kasian Chandra."
Bima menghela nafas, pikiranya benar-benar sedang tidak karuan. Sampai dia tidak bisa mengendalikan dirinya.
"Mas kalau lagi ada masalah, cerita aja sama Arum. Bukan malah ngelampiasinnya ke anak. Kasihan, loh mas. Arum memang bukan siapa-siapanya Chandra. Arum ngga berhak untuk menentukan apapun tentang Chandra. Tapi,"
Bima mendekat ke Arum, menunduk, dan meletkan kepalanya di pundak Arum.
"Mas lagi banyak pikiran, Rum. Maaf, Maafin Mas."
"Mas, ngga usah minta Maaf ke Arum. Chandra yang harusnya Mas," ucap Arum lembut, dan membiarkan Bima.
Entah mengapa terasa begitu nyaman di sini, terasa begitu membuat tenang suara Arum. Sedikit Arum merasakan betapa lelahnya menjadi Bima. Harus mengurus segalanya sendiri. Ingin rasanya dia memeluk tubuh besar ini agar sedikit lebih tenang. Namun benar apa yang di katakan Bima, siapa dia?
Bima kembali menarik nafas, "Mas, mau sholat dulu." Bima melangkah meninggalkan Arum menuju kamarnya.
Karena tekanan ayah Fatimah, dan juga berbagai hal yang di fikirkan Bima akhir-akhir ini membuatnya sedikit Stres. Hanya dengan Sholat Bima bisa memenangkan fikiranya. Meminta jalan keluar yang terbaik untuknya.
Allan tahu mana yang terbaik untuk Bima. Dia yakin segala sesuatu sudah tersurat dan dia semakin mantap dengan keputusannya memilih Arum.
***
"Chandra masih marah, Sama Papa?" ucap Bima mendekati Chandra yang pura-pura tertidur.
"Maafin, papa ya, Chan. Papa tahu papa salah udah bentak, Chandra."
Chandra yang tidak tega melihat papanya sedih langsung bangkit memeluk Bima.
"Chandra ngga marah, kok Pa. Papa udah banyak susah karena Chandra. Harusnya Chandra yang minta maaf, ke papa karena udah nyusahin papa. Papa pasti cape harus ngurusin Chandra sendiri."
Bima mempererat pelukannya, dia benar-benar merasa bersalah pada anaknya. Dia tidak salah, tapi malah jadi korban pelampiasan amarahnya. Chandra selalu saja menjadi penghibur laranya yang terbaik, dia benar-benar ayah yang buruk.
Dia selalu memikirkan keegoisannya tanpa berfikir perasaan Chandra.
"Yaudah, Chan tidur ya, katanya besok mau piknik sama, Tante Rum."
"Papa ijinin?" ucap Chandra antusias
"Iya, papa ijinin, tapi Chan jangan nakal ya, jangan buat Tante Arum sudah nanti."
"Siap bos!" ucap Chandra sembari meletakan tanganya ke kepala memberi hormat.
"Ya, sudah tidur gih." Bima menyelimuti Chandra dan mengecup keningnya mematikan lampu dan menutup pintu kamar Chandra.
Saat dia ingin menuang air untuk minum, dia mendapati sebuah sup hangat dan beberapa lauk berada di atas meja makan.
Secarik kertas dengan imoji tersenyum lucu tertempel di meja.
Walau makannya ngga seenak buatan, Mas. Setidaknya tidak keasinan. Jangan lupa di makan, karena ngurus Chandra butuh tenaga.
Bima tersenyum, dan segera menyendok sup ayam yang ada di mangkuk. Ini untuk pertama kali, Bima memakan masakan seseorang, selain masakan ibunya. Kembali Bima membaca teks yang ada di surat itu lagi-lagi juga Bima tersenyum.
Dia tidak tahu, jika Arum sengaja menyiapkan makanan untuknya sebelum pulang.
Wajahnya yang tadinya terlihat lelah, dan lesu kembali ceria. Masakan Arum memang tidak seenak masakan orang lain. Tapi dia melihat ada ketulusan yang membuat hatinya terasa berbunga-bunga.
"Astaga, aku bisa gila," ucap Bima menyingkap rambutnya yang basah. Padahal hanya secarik kertas, tidak ada kata-kata cinta juga kata romantis lainya. Tapi mengapa Bima merasa seakan ada kupu-kupu terbang di hatinya.
Bima segera mengambil jaketnya dan pergi mengendari motor ke sayanganya. Tidak lupa, dia meyalakan CCTV yang ada di kamar Chandra dan Handphonenya untuk mengawasi Chandra yang sedang tertidur.
Tak berapa lama, saat Arum ingin memejamkan matanya dia tiba-tiba mendapatkan notifikasi.
Mas di luar.
Dia langsung bangkit dari tempat tidurnya. Buat apa Bima malam-malam datang menemuinya? Jangan bilang dia serius mengajak Arum untuk pesugihan. Astaga berfikir apa pula Arum ini.
Tanpa berpikir lagi, Arum segera mengambil jaket dan kerudungnya keluar menemui Bima.
"Mas ngapain, malem-malem gini Dateng ke rumah, Arum. Mau ngajak ngepet ato nyari tuyul?"
"Menurut Arum." Bima tersenyum manis kearah Arum. Ada apa ini? Tadi Bima terlihat sangat lesu dan marah tapi sekarang dia terlihat sangat cerita. Arum seakan melihat pria di depanya terlihat semakin tampan dengan setelan jaket kulit hitam dan kaus hitamnya. Bima kan memang jarang memakai pakaian selain kemeja putih yang di gulung lenganya. Tentu saja Arum sedikit terkejut melihat pria itu sedikit modis dan keren dengan pakaiannya sekarang.
"Is, Arum serius ih, ngapain malem-malem begini kesini. Ngga enak kalo ada orang yang liat."
"Mas, cuma mau liat Arum doang, sebentar."
"Heh?"
"Mas cuma mau kasih tau Arum, Arum siap atau tidak. Secepatnya Mas bakal Dateng ke rumah Arum buat lamar Arum. Jadi nanti Arum ngga ada alasan lagi buat kaget, ya."
"Woy, entar dulu. Ngga ada angin ngga ada ujan loh mas."
Entah kebetulan atau tidak tapi, Tiba-tiba saja suara petir menyambar membuat Arum terkejut.
"Tuh, ada kok, bentar lagi ujan," ucap Bima terkekeh geli, melihat Arum tiba-tiba saja terdiam karena bingung.
"Mas, mending mas pulang aja deh, mau ujan, kasian Chandra sendirian."
"Iyaaaa, ta-"
"Udah sana pulangggg," Arum mendorong Bima menaiki motornya.
"Entar dulu, mas belum selesai ngomong."
"Mau ngomong apa lagi?"
"Mas beneran serius, Rum."
"Iya udah terserah, Mas. Minggu depan mau ngelamar Arum juga terserah, Mas. Sekarang pulang dulu, Sana."
Bima melangakah mendekati Arum, dan memeluknya. "Mas bakal Dateng mas, janji."
Tubuh tinggi itu memeluk tubuh mungil Arum. Perasaan apa ini? Mengapa Arum tidak bisa berkata apapun? Mengapa?
"Mas, lepasin ngga? Kita bukan muhrim."
"Astagfirullah," Bima segera melepaskan pelukan Arum.
"Dosa loh, mas. Meluk orang yang bukan muhrim."
"Maapin, Rum. Mas lupa."
"Lupa? Dih dasar cowo."
"Mas, buka cowo yang ada di pikiran Arum kok. Mas beneran lupa. Terbawa perasaan."
"Ngga ada lupa-lupaan."
Bima tersenyum manis dan mengelus kepala Arum.
"Arum masuk gih, mas mau pulang udah mau ujan."
"Yah harusnya dari tadi, bukan ngedrama sok-soan lupa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top