Bab 21 Ungkapan

"Mbak Arum kenapa? Masih kepikiran?" Naila menyodorkan minuman ke Arum.

"Ya, gitu deh, Nai. Mbak bener-bener bingung. Kamu tau kan, mbak punya pandangan buruk tentang sebuah pernikahan. Karena itu saat, Mas Bima bilang mau ngelamar Mbak, jadi  kepikiran terus."

"Terima aja, mbak Rum. Kalau jodoh kan ngga ada yang tahu," ucap Rangga membawa beberapa potong ayam kentucky.

Mall kali ini terasa sedikit ramai karena mungkin hari ini adalah akhir pekan. Rangga dan Naila mengajak Arum makan Kentucky kesukaan Arum. Karena akhir-akhir ini Arum terlihat murung, membuat Naila dan Rangga sedikit Khawatir.

"Berisik lu, ngga. Lu aja ngga ngelamar-ngelamar Naila."

"Mbakkkkk," ucap Rangga sembari memberi isyarat untuk diam.

Naila yang sedang sibuk dengan handphonenya tiba-tiba saja terdiam menatap mereka berdua.

"Ngomong apa kalian tadi," ucap Naila.

"Ngga, mbak Rum tadi ngomong kalau dia ngga di lamar-lamar sama mas Bima itu. Iya, kan mbak?" Sembari mengode Arum.

"Iyain ajalah, dari pada ribet gue." Arum mengambil potongan ayam dan memakannya.

"Mbak Cowo itu, juga butuh kepastian. Jangan sampai nanti, Mas Bima itu cape dan nyari cewe lain." Rangga menambahkan potongan ayam ke piring Arum.

"Maksut lu?"

"Gini loh, Mbakku. Dia udah serius sam Mbak, dan Mbak terus-terusan gantungin dia. Diterima belum, ditolak juga belum. Apalagi kalian ngga ada hubungan kek pacaran atau taarufan. Mas Bima kata Nai, ganteng, gagah, punya penghasilan dan juga mandiri. Cewe mana yang ngga mau sama dia, Mbak. Coba pikir."

"Is!" Arum menepuk kepala Rangga.

"Lama-lama gue mutilasi juga lu, Ngga."

"Aduh, ampun mbak Rum."

"Mbak, bener kata Rangga atuh. Mas Bima pria yang baik. Nai yakin dia bisa jaga mbak Rum. Bisa sayang tulus sama mbak Rum. Mbak sendiri pernah bilang. Kalau ada cinta yang datang ke kita biarin itu datang dan mengalir dengan sendirinya."

"Gue mau ke toilet dulu, kalian pesini gue ayam lagi ya. Gue masih laper."

Arum mengabaikan perkataan Naila dan melangkah menuju toilet yang ada di samping cafe kopi. Langkahnya berhenti saat dia mengenali sosok pria berkemeja putih tengah berjalan sembari berbincang-bincang dengan wanita cantik.

Wanita itu terlihat sangat cantik dengan baju syar'i yang menutupi seluruh badanya. Jilbab yang lebar terlihat anggun ia kenakan.

"Arum?" Bima melangkah mendekati Arum saat dia mendapati Arum terdiam di depan toilet.

"Ah, Mas Bima?"

"Lagi apa? Kebetulan banget ketemu di mall."

"Lagi makan, sama temen-temen."

"Oh iya kenalin ini, Fatimah. Temen SMA, Mas."

"Assalamualaikum, saya Fatimah."

Wanita itu tersenyum ramah, kearah Arum. Astaga, baru kali ini dia melihat wanita secantik dia. Lembut, Rama dan rupawan.

"Arum," ucap Arum menyalami Fatimah.

"Oh iya, Fatimah ini guru loh, di sekolah Madrasah."

"Oh, guru toh," ucap Arum ramah.

"Mbak Arum, ternyata sangat cantik ya." Fatimah melirik Bima.

"Oh iya, Fatimah jadi mau nonton?"

"Ngga jadi, Aa. Fatimah mau pulang aja , Abi udah nungguin."

"Yakin?"

"Iya, Aa. Fatimah duluan ya, assalamualaikum. Mari, Mbak Rum." Fatimah tersenyum ramah di balas anggukan dan salam Arum.

"Aa?" Pikir Arum sambil menautkan alisnya.

"Kenapa, Rum? Dia manggil, Mas dari dulu emang Aa."

"Ngga kenapa-kenapa. Orang Sunda pasti dia. Cantik juga, baik pula ."

Bima tersenyum melihat mimik Arum yang terlihat sekali cemburu.

"Ngga usah, cemburu. Dia cuma temen mas, tadi ngga sengaja ketemu di toko sepatu."

"Siapa yang, cemburu ngga ada tu. Kebetulan banget ya, ketemu. Atau emang sengaja ketemu."

"Gemes banget sih kamu, Rum cemburunya." Bima meraih pipi Arum dan mencubitnya.

"Ai, ai, ai. Sakit tau, mas."

"Abis mau di cium pipinya belum halal. Yaudah cubit aja."

"Mas ngapain di toko sepatu?"

"Beli sepatu lah, masa beli obeng."

"Astagfirullah, maksutnya beli sepatu buat siapa."

"Chandra, katanya besok mau piknik tapi ngga punya sepatu baru. Jadi dia minta beliin sepatu baru."

"Oh, gitu. Yaudah Mas, Arum pergi dulu. Temen-temen udah nunggu pasti."

"Mas, ngga mau di kenalin sama temen-temen Arum?" ucap Bima yang membuat arum terkejut.

"Ngga usah, nanti jadi ribet urusanya."

"Yaudah, kalau gitu. Nanti kalau mau pulang, WA aja, nanti Mas jemput ya?"

Arum mengangguk dan pergi  meninggalkan Bima. Tiba-tiba saja Bima terfikirkan perkataan Fatimah yang barusan mereka bicarakan tadi.

Fatimah mengatakan, jika Abinya alias guru dari Bima ingin bertemu Bima secepatnya. Pasti pak Jainudin ingin membicarakan masalah yang sama lagi.

Bima segera bergegas pergi meninggalkan Mall dan menuju ke rumah pak Jainudin ayah dari Fatimah.

***

"Sudah lama toh, kamu ngga pernah main ke sini, Bim."

"Iya, pak saya sibuk sekali akhir-akhir ini."

"Sibuk menyembuhkan hati? Anak saya masih menunggu kamu loh."

"Saya sudah tegaskan berkali-kali pak, lebih baik Fatimah mencari pria lain yang lebih baik dari saya. Saya hanya duda anak satu yang mungkin tidak bisa membimbing Fatimah."

"Sejak SMA, Fatimah sangat mengagumi dirimu, setelah lulus SMA dia memberanikan diri melamarmu. Dan kamu dengan tegas menolaknya, dan menikah dengan wanita itu." Pak Jainudin menyruput kopi yang ada di atas meja.

"Kamu, tau Bim. Anak saya sampai sekarang menolak banyak pria baik yang melamarnya karena kamu."

"Maaf, pak. Tap-"

"Setelah mendengar tentang perceraianmu dia jauh-jauh dari Mesir pulang ke Indonesia hanya untuk menemuimu. Dia pikir dia bisa jadi obat untukmu tapi ternyata kamu lagi-lagi menolaknya." Ucap pak Jainudin yang membuat Bima terdiam menunduk.

Fatimah adalah gadis yang baik bahkan sangat sempurna. Bima mencoba membuka hatinya untuk Fatimah tapi tetap tidak bisa. Entah mengapa, hatinya semakin tertutup rapat. Dia tak pernah menganggap Fatimah lebih dari seorang adik baginya. Berulang kali, Bima meminta Fatimah untuk melupakannya, dan mencari pria baik. Namun Fatimah dengan tegas mengatakan jika dia akan terus menunggu Bima.

Apakah bima kejam? Atau Bima egois? Dia hanya tidak ingin melihat Fatimah terluka olehnya.

"Nak Bima, bapak sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Bapak tidak sakit hati kamu menolak anak bapak. Tapi bapak juga punya hati jika anak satu-satunya bapak terus di sakiti oleh penantian dirimu."

"Saya tidak pernah meminta Fatimah untuk menunggu saya, Pak. Saya juga sudah mengatakan berkali-kali jika saya tidak bisa menganggap Fatimah lebih dari seorang saudara."

"Saya, tahu. Tapi kamu tau sikap anak saya bukan. Dia memang gadis yang lembut tapi dia keras kepala dan kekeh dengan keinginannya. Bapak minta tolong sekali saja  ke kamu."

"Maaf, pak. Saya tidak bisa. Ada wanita lain yang sudah mengisi hati saya."

"Wanita mana lagi? Wanita yang dulu saja malah mengkhianatimu kan? Meninggalkanmu dengan pria lain."

"Dia tidak seperti itu, Pak. Gadis itu tidak seburuk itu."

"Terserah kamu saja. Tapi bapak dengan tegas tidak ingin melihat putri kesayangan bapak menderita."

"Maaf, sekali lagi pak jika saya melukai hati bapak dan Fatimah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top