Bab 11 Keinginan.
Sebuah motor Scoopy putih, melaju pelan. Angin sore menerbangkan beberapa helai rambut yang tertutup helm. Dia berhenti di sebuah danau, angin berhembus sedikit kencang membuat Bima Kembali menyingkap rambutnya kebelakang yang menutupi matanya.
Pria dengan kemeja putih yang digulung sampai siku itu sedikit bingung mengapa Arum bisa-bisanga melupakan hpnya di mobil Bima.
Di kejauhan dia melihat seorang gadis mengenakan jilbab Beige yang terduduk di pinggir Danau. Dia menatap begitu dalam sunset yang membuat langit sore ini terasa begitu terang. Angin menerbangkan ujung Jilbabnya, yang sesekali dia benahi.
Bima tersenyum, dia baru pertama kali melihat seorang gadis yang begitu dalam menatap sunset seakan dia sedang bercerita seluruh isi hatinya. Bima melangkah mendekati Arum yang tengah duduk di pinggir danau. Dia duduk tepat di samping Arum.
"Udah lama nunggu? Pasti kamu butuh banget kan HP kamu? Makanya jangan suka lupa." Bima menyodorka. hp milik Arum yang tertinggal di mobilnya semalam.
Suasana begitu tenang, di pinggir danau mereka menatap hamparan air yang terbawa angin membuat ombak kecil. Awan sore yang kemerah-merahan membuat suasana menjadi terasa bener-benar tenang.
"Mas?"
"Hmm? Kenapa?" tanya Bima pada gadis yang sedari tadi masih menatap langit sore.
"Allah marah ngga sih, kalau Arum milih ngga nikah?" ucap Arum dengan suara yang sangat lirih. Dadanya terasa sesak sekali dan sangat sakit.
Bima sangat terkejut dengan pertanyaan gadis itu. Suaranya sangat gemetar seakan sudah sangat lelah hingga perkataan itu keluar dari mulut seorang wanita. Dia menatap dalam Arum yang masih tidak berpaling dengan langit sore itu.
"Arum bisa mencari ibadah yang lain, mencari ridho Allah yang lain, tapi untuk menikah, boleh tidak kalau tidak," Arum menoleh kearah Bima. Dia bisa melihat luka yang sangat parah dari manik hitam gadis di sampingnya itu.
"Arum, hidup itu pilihan, apapun keputusan dan pilihan Arum. Itu akan menjadi tanggung jawab Arum, kepada Allah nantinya." Bima masih menatap mata Arum, entah kenapa hatinya juga merasa sakit. Melihat gadis yang biasanya sangat ceria tiba-tiba menjadi sangat murung.
"Arum takut, Mas. Takut di Khianati, takut di sakiti, takut di kecewakan. Takut Arum ngga bisa jadi apa yang di harapkan suami Arum nanti. Takut rumah yang sangat Arum impikan berubah jadi mimpi buruk."
Arum kembali berpaling dan menatap langit. Segala pertanyaan dan rasa takut berkumpul menjadi satu di kepala dan hati Arum. Rasanya sangat sesak, mengapa semua orang harus menikah? Jika pada akhirnya mereka akan berpisah.
Mengapa mereka memutuskan untuk menikah jika mereka harus saling menyakiti? Mengapa pernikahan menjadi ikatan suci tapi mereka yang menodai kesucian itu? Mengapa mereka saling berjanji dan akhirnya saling mengkhianati?
Selama ini Arum, hanya di pertemukan dengan pernikahan yang tidak baik. Dari orang tuanya, temanya dari keluarganya bahkan dari orang lain.
"Arum, Mas ngga bisa jawab semua pertanyaan Arum. Semua pertanyaan Arum itu hanya Arum yang tahu jawabannya. Kadang dalam sebuah rumah tangga memang ada yang tidak berjalan baik. Namun, hal kecil saja bisa jadi masalah yang besar. Ego, amarah, dan masalah itu pasti ada. Tinggal tergantung orang yang menjalaninya seperti apa?" Bima mencoba menenangkan Arum, berharap gadis di hadapannya kembali tenang.
"Lalu, mengapa orang memutuskan untuk bercerai?"
"Itu. Adalah jalan yang terbaik, percerain di perbolehkan tapi di benci sama Allah. Ketika segala sesuatu tidak bisa di paksakan lagi, tidak bisa di teruskan lagi. Dari pada mereka saling menyakiti mereka mengakhirinya dengan jalan itu. Dan Mas, pernah mengambil jalan bodoh itu untuk membuatnya Bahagia bersama orang yang dia cintai."
Bima menarik nafas dengan dalam dan menghembuskannya. Jika di ingat kembali, itu adalah kejadian yang ingin sekali Bima hapus dalam ingatannya. Melihat orang yang kita cintai bersama laki-laki lain.
Ingin sekali saat itu Bima memaafkan pengkhianatan istrinya. Namun, Bima lebih memilih untuk melepeskanya.
"Maaf, Mas. Arum jadi malah bahas masalah pribadi, Mas." Arum tersenyum mencairkan suasana yang membuat orang di sampingnya jadi sedih.
Entahlah, kadang Arum juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Terkadang dia sangat memikirkan sesuatu sangat dalam sampai emosinya berubah. Dia hanya benci pada dirinya yang tidak bisa menerima siapapun. Hatinya sangat keras sampai dia tidak bisa membuka hati untuk satu orang pun. Rasa takut menjadi alasan keras hatinya. Dia hanya tidak ingin dirinya terluka oleh orang lain. Dia benar-benar tidak bisa membiarkan orang melukai hatinya.
"Ngga apa-apa Rum, Mas juga kadang mirik gitu. Entah luka separah apa yang ada di hati Arum. Tapi dari pada mencoba buat menyembuhkannya sendiri, bukankah lebih baik, kita saling menyembuhkan satu sama lain. Atau kita mencoba jadi penyembuh luka orang lain? Dan Mas, ingin sekali menyembuhkan luka di hati Arum." Arum terkejut dan langsung menoleh kearah Bima.
Tidak bisakah? Arum membuka hatinya sedikit saja? Benar-benar tertutup, sampai kapan Arum seperti ini? Kembali Arum bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Kemarin, Arum berkelahi lagi dengan ayah tirinya. Lagi-lagi ayah tirinya membanding-bandingkan dirinya dengan anak kandungnya bersama istri sebelumya.
Mungkin dirinya tak seberuntung Putri yang berwajah cantik dengan suami kaya raya dan sayang padanya. Dia juga ingin menikah, siapa yang tidak ingin menikah. Namun, segalanya tidak semudah itu tidak sesimple itu, dan tidak ada yang mengerti Arum.
Arum memang tak memaksa orang untuk mengerti dirinya. Tapi bisakah, dia mendapatkan ketenangan. Arum hanya ingin hidup tenang, tanpa ada yang masuk dan hanya melukainya saja. Hati Arum sangat sakit ketika ibunya yang selama ini bersamanya meminta Arum untuk mengerti dan mendengarkan perkataan ayah tirinya.
Ah, ingin sekali Arum menangis saat itu juga. Ingin sekali Arum kabur dari rumah itu. Namun, jika melihat wajah ibunya, dia tak akan tega meninggalkan ibunya. Entah sampai kapan, tapi tidak untuk sekarang. Arum belum ingin meninggalkan ibunya. Tapi terkadang Arum berfikir, mengapa bisa sebanyak orang di dunia tak ada satupun, yang mengerti Arum. Sedikit saja.
"Mas tahu, Arum dan tiga teman Arum sudah membangun sebuah rumah yang sangat bagus di pinggir pantai. Kita berjanji, Rumah itu akan menjadi tempat pulang kita, ketika suatu saat nanti kita memutuskan untuk hidup sendiri, atau saat kita sudah menikah dan kita di sakiti atau ketika kita ada masalah, kita akan pergi kerumah itu untuk sementara waktu atau bahkan untuk sisa waktu kita. Rumah itu, adalah bentuk dari rasa sakit dan luka kita."
"Lalu? Arum memutuskan untuk tinggal di sana?"
Arum menggelengkan kepala, "entahlah Arum juga masih bingung."
Bima tersenyum kearah Arum, "Mas laper tau Rum, Kita pending dulu galaunya, bisa ngga? Nanti kapan-kapan kita lanjutin lagi." Ucap Bima memotong pembicaraan karena memang sedari kemarin malam dia belum makan sama sekali. Selama Chandra ada di rumah neneknya Bima akan jarang masak.
"Galau juga butuh tenaga ya, Mas. Jadi harus makan dulu," ucap Arum sembari tertawa.
Bima yang melihat, Arum tertawa itupun ikut tertawa melihat gadis yang sedari tadi murung kini kembali ceria. Arum memang tipe gadis yang susah di tebak, namun membuat Candu Bima.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top