Bab 1 Arumi ayumi

"Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Jika ayahnya mengkhianati dia dan ibunya, salahkah jika dia tak bisa percaya dengan cinta?"

Nikah, Nikah dan nikah. Bosan sekali mendengar orang terus bertanya kapan nikah? Semua orang pasti ingin menikah, hidup bahagia dengan pasangan layaknya cerita dongeng atau novel-novel cinta. Tapi ini hidup, hey! Tidak semua orang seberuntung Fatimah Azahra atau Khadijah atau bahkan Aisyah. Semua sudah ditakdirkan, hidup ini kamu hanya diberi pilihan dan setiap pilihan sudah ada skenario dan jalan ceritanya masing-masing.

Tidak semua orang yang belum menikah itu, tidak mau menikah, atau tidak laku. Mereka punya alasan masing-masing atau bahkan Traumanya masing-masing. Berdamai dengan trauma itu sama saja kamu membunuh dirimu sendiri, dan itu tidak mudah.

Jika bisa memilih, pasti akan menyenangkan bisa bertemu pria tampan nan rupawan nan kaya raya nan baik hati nan tidak sombong. Tapi, tidak ada. Sekali lagi tidak ada pria sesempurna itu.

Nikah saja, toh cinta kan bisa datang karena terbiasa. Hmm?
Ah, yang penting kan dia kaya, soal ahlak dan perilaku bisa nomer dua.
Nikah aja dulu, yang penting sudah Sah secara agama dan negara, Soal Cinta dan rejeki mah sudah ada yang mengatur.
Yang penting sudah menikah, dan tidak jadi perawan tua. Bla bla bla.

Mereka pikir menikah hanya, cocok lalu ijab qobul sah. Selesai. Atau wanita hanya bisa di anggap sukses jika dia sudah menikah.
Ah, Kasur, Sumur, Dapur adalah selogan yg wajib distemple di jidat para wanita di negara ini. Waw, primitif, pantas saja negara ini selalu tertinggal. Rasanya Arum ingin sekali pergi keluar negri tinggal di satu negara yang tidak mengenal siapa dirinya dan tidak di tanya kapan nikah. Hmm, mungkin saja dia bisa tenang menjalani hidup.

"Mbak Arum!" panggil seseorang yang membuat Arum tersadar dari perang pikiranya.

Arum menoleh ke arah pria muda yang tengah membawa sapu menuju ke arah mejanya.

"Sudah mau mahgrib, mbak Arum tidak pulang?"

"Kamu ini ngagetin aja, kalau manggil orang itu jangan sambil teriak. Kalau saya jantungan bagaimana?"

"Ya, sayang, Mbak. Masa belum nikah udah mati gara-gara jantungan." saut Tono yang langsung membuat Arum membulatkan matanya dan menautkan alisnya.

"Tono!" Bentak Arum yang membuat Tono tukang sapu langsung kabur.

Arum bekerja di sebuah pabrik garmen yang dia kelolah dengan ke tiga sahabatnya. Walau tidak besar dan baru berkembang namun pabrik itu dapat memberi nafkah puluhan orang. Pabrik yang memproduksi berbagai Jilbab dan kerudung serta beberapa baju muslim mereka kelolah dari nol.
Ya, bisa di bilang kerja keras mereka selama ini membuahkan hasil.

Gadis manis, dengan lesung Pipit yang terlihat saat kedua sudut bibirnya mengembang itu memiliki watak yang keras. Mata hitam, dengan bulu mata yang lentik itu terlihat sangat mempesona dengan balutan jilbab yang selalu ia kenakan.

Arum meletakan sepatunya di pinggir pintu rumah. Ya, kini dia sudah berada di rumah. Rumah, yang terasa asing baginya. Setidaknya dia masih memiliki kamar yang nyaman.

"Sudah pulang? Udah jam berapa ini?" Arum melihat jam dinding yang menunjukan pukul 10 malam. Ya seharusnya dia sudah pulang sejak tadi mahgrib. Tapi sengaja dia mengerjakan beberapa pekerjaan lagi di pabrik agar pulang sedikit malam.

"Iya, Bu, tadi lembur," sautnya malas.

"Lain kali kasih kabar kalau lembur. Biar ibu tidak khawatir."

"Anak mu itu, selalu pulang malam. Udah jadi wanita ngga bener itu," saut pria separuh baya yang tiba-tiba saja keluar dari dapur.

"Ya, sudah kalau gitu, bapak saja yang kerja. Biar Arum yang di rumah. Bapak yang bayar sekolah Raka, yang bayar tagihan Air, listrik dan juga hutang bapak."

Walau mereka tinggal sangat lama, tetap saja Arum dan Bapak tirinya tidak bisa akur. Ya, Arum tinggal bersama ibu dan bapak tirinya dan adik laki-lakinya.

Walau bapak tiri Arum tidak sekejam bapak-bapak tiri lainya. Tetap saja, Arum tak pernah akur dengannya. Kadang Arum berfikir untuk apa ibunya menikahi pria seperti itu.

Arum sudah di tinggal ayah kandungnya sejak dia masih bayi. Bukan karena ayahnya meninggal dunia, atau mati tertabrak kereta. Ayahnya hanya pergi bersama wanita selingkuhannya dan meninggalkan dia dan ibunya. Miris bukan bahkan sampai berumur 27 tahun Arum tak pernah sekalipun melihat wajahnya. Jangankan melihat wajahnya Ibunya seakan benar- benar membenci suaminya sampai nama bahkan foto beserta seluk beluk keluarga suaminya pun Arum tak di beritahu.

Arum di besarkan dengan dendam dan kebencian ibunya. Dia sangat paham mengapa ibunya melakukan itu, dia juga sangat paham betapa menderitanya ibunya yang harus membesarkan anak seorang diri. Bekerja banting tulang untuk membesarkan dirinya. Dia masih sangat ingat saat ibunya mengalami penyakit Tipes dan hampir sekarat saat itu dia masih berumur 8th dan dia tidak bisa melakukan apapun.

Dia hanya bisa menangis melihat ibunya lemas, bahkan tubuh ibunya sangat kurus. Mereka berdua tertatih-tatih menuju rumah sakit. Hatinya sangat sakit saat itu, melihat tidak ada seorangpun di sisinya.

Arum dan ibunya saat itu tengah merantau di kota Jakarta. Mereka hanya tinggal di kontrakan kecil. Mengandalkan satu sama lain, menguatkan satu sama lain. Hanya Arum yang ibunya miliki dan hanya ibunya yang Arum miliki.

Saat itulah Arum sadar, bahwa dia tidak bisa bergantung pada orang lain. Dia harus mandiri, dan tidak boleh berpikir jika akan ada orang yang membantunya. Lakukan sendiri selagi bisa. Berjualan Es kucir saat pulang sekolah. Membantu ibunya menjadi ART di rumah orang.

Dia dididik menjadi wanita yang kuat dan mandiri, tak ingin menyusahkan atau bergantung pada orang lain. Karena itu, dia sangat keras kepala dan kritis terhadap apapun yang menurutnya tidak benar.

Sampai saat dia menginjak kelas 1 SMP ibunya meminta izin untuk menikah lagi. Bertemulah dia dengan ayah tirinya yang saat ini tinggal bersama mereka.

Tentu saja, Arum tak melarang ibunya menikah lagi. Untuk mengobati luka yang dalam itu, dia sangat tahu perjuangan ibunya. Dia juga tidak ingin ibunya terus merasa kesepian. Saat ini mungkin dia masih bisa bersamanya kelak nanti bagai mana?

Tapi ternyata tidak mudah baginya menerima hal itu. Ayah yang ibunya harapkan dapat menjadi kepala keluarga itu malah hanya menjadi beban Arum dan ibunya. Begitulah pikiran Arum. Saat Ibu Arum menikah dengan ayah tirinya dia sudah berstatus duda. Ayah tirinya juga sudah memiliki anak sebesar Arum.

Sesayang apapun orang tua tiri dia tetap akan lebih sayang dengan anak kandungnyam

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top