BAB 36: PERTEMUAN YANG MENYAKITKAN

Pengalaman yang belum pernah dirasakan Zahra selama ini adalah pengalaman yang ternyata menakutkan. Hamil di luar nikah adalah sesuatu yang menakutkan, apalagi ia sampai ditinggal menikah begini. Zahra tegas, ia tetap menunggu Bimut dan tetap meminta Bu Gasit tinggal di rumahnya.

Suara-suara mengerikan di kepalanya tentang perpecahan ia dan adiknya yang pasti akan mengerikan bila memang tercerai-berai dan tidak terhindarkan. Zahra mendapat sebuah alamat di mana Bimut berada. Bimut yang ia rindukan selama ini. Nomor yang tidak ia kenal.

Di sana tertera alamat rumah Bimut. Sudah saatnya ia datang sendirian ke rumah Bimut. Ia tidak mau melibatkan Bu Gasit. Ia pikir, kasihan Bu Gasit bila diajak pergi untuk menengok anaknya.

Zahra biasa pergi diam-diam, ia melihat situasi sekitar. Situasinya aman, ia langsung pergi, meloncati pagar tanpa sepengetahuan satpam rumahnya. Malam-malam Zahra mencari sebuah taksi dan menuju ke lokasi. Zahra belum sempat membalas chat dari orang yang mengirimkan alamat rumah Bimut tinggal, ia langsung mengirimkan pesan.

Terima kasih, tetapi ini siapa?

Pesan dibaca saja, tidak dijawab oleh pengirim. Zahra menikmati perjalanan dan udara AC yang berdesir-desir. Jantungnya terasa melambat karena memikirkan Bimut yang dalam kenytaan sudah menikah dengan gadis lain. Sesampainya Zahra di alamat yang tertera, ia lalu membayarkan sejumlah uang yang tarifnya tertera di argo. Dirinya keluar dari taksi lalu mengetuk pintu rumah yang dituju.

Di jendela, tak sengaja gorden sedikit terbuka, diintipnya, terlihat dua sosok anak manusia sedang bercumbu. Ia mengenali guratan dan bentuk wajah di dalam kamar. Wajah Bimut yang terlihat sedikit karena terkena sorotan lampu dari luar. Suara tawanya, desahannya di bawa, sementara di atas, menggelinjang seorang wanita yang lebih muda darinya sedang memainkan kejantanan Bimut sambil menyemprotkan mani yang keluar dari sana ke wajahnya sendiri.

Melihat adegan privasi itu, Zahra berteriak, menangis kencang, tubuhnya tidak bisa terkendali. Ia duduk di kursi depan rumah. Di dalam, percumbuan Bimut dan Yuna berhenti. Mereka berpakaian lalu keluar dari kamar. Bimut membuka pintu. Alangkah terkejutnya Bimut, ada Zahra di depan rumahnya.

"Zahra?!" sapa Bimut.

"Dasar laki-laki berengsek!" teriak Zahra. Tangan kirinya menampar pipi Bimut. "Aku hamil anak kamu!" teriaknya.

"Eh siapa lo?! Berani-beraninya nampar laki gue! Sini berantem sama gue!" seru Yuna.

Bimut mengamuk, ia menendang perut Zahra yang sedang mengandung. Zahra berteriak dengan keras, kesakitan. "Ini anak kamu heh! Jangan mukul janin di dalam kandunganku! Apakah ibumu tidak mengajari kamu tenang kondisi wanita hamil hah! Kenapa kamu bisa sama perempuan ini?! Ketemu di mana kamu dengan Bimut!"

"Jangan bawa-bawa ibuku!"

"Heh gue kasih tahu ya! Ini semua bukan urusan lo! Bimut sudah jadi milik gue! Lo mending sana!"

"Gue majikannya! Aku hamil anak dia!"

"Salah sendiri ngentot!" balas Yuna kasar.

Zahra lalu menampar wajah Yuna. Tampran keras mendarat. Bimut makin kasar, ia tampar kembali Zahra lalu didorongnya keras. Kali ini Zahra terjatuh. Mulutnya terbatuk-batuk. Ia menangis di atas lantai. Bimut tidak bisa diajak bicara, Zahra keluar dari rumah Bimut sambil mengutuk.

Zahra mencari taksi, di tengah pencarian, hujan turun. Bermenit-menit hingga setengah jam ia menunggu. Tidak ada taksi yang lewat, tetapi pada akhirnya sebuah taksi lewat. Ia pun masuk ke dalam.

Di dalam taksi ia menangis. Suara isakannya membuat iba sopir taksi. Sang sopir menawarkan tisu kepadanya. "Maaf Mbak, ini tisu." Zahra mengambil tisu yang ditawarkan sang sopir. Tangisannya makin deras.

"Maaf Mbak, bukan mau ikut campur, tapi Mbak ada masalah apa ya? Sampai nangis begitu?"

"Pacar saya nikah sama orang lain. Nggak bilang-bilang Pak."

"Ya ampun Mbak berengsek banget sih pacarnya Mbak! Beneran deh ya kalau adik atau anak saya digituin saya ngamuk loh Mbak. Laki-laki nggak tahu diri banget sih itu. Oh ya Mbak, maaf saya lihat perut Mbak besar, apakah maaf Mbak—"

"Saya hamil ya. Saya hamil di luar nikah Pak."

"Aduh saya turut prihatin Mbak."

Sepanjang jalan, keduanya terdiam. Tidak berbicara satu kata pun. Sopir taksi yang mengantar Zahra pulang juga merasa tidak enak bila menanya-nanyai penumpangnya terus. Ia biarkan penumpangnya terdiam sendiri.

Sampainya di rumah, Zahra membayarkan sejumlah uang kepada sopir taksi, lalu ia turun. Rumahnya tampak sepi karena sudah pukul dua dini hari. Zahra langsung ke kamarnya. Bajunya masih basah kuyup namun buhnya sudah menyatu dengan tempat tidur. Tangisannya semakin keras, isakannya senada kuat dengan tangisannya. Perlahan-lahan tangisannya memelan. Matanya terpejam.

***

Paginya Zahra bangun dengan mata yang memerah, beberapa waktu di ujung tahun ini membuat ia lelah. Matanya tak sanggup menahan pilu. Tangisnya berlanjut. Hari sudah pagi, matahari sudah terang-benderang. Pakaiannya masih basah, lembab. Ia harus mandi. Zahra buru-buru sekali pergi ke kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya. Di kamar mandi, ia lepaskan pakaian basahnya. Keran shower dinyalakan, terkenanglah aktivitas percumbuan yang ia pernah lakukan di kamar mandi bersama Bimut.

Air shower menuntunnya di saat bagaimana Bimut menciumi kedua payudaranya di bathub, kemesraan mereka yang sangat intim. Namun kenangan manus itu sirna karena Bimut yang berjanji bertanggung jawab atas kehamilannya malah menikahi orang lain. Kedua tangan Zahra menempel kepada tembok. Kenangan-kenangan percumbuan terus bergulir di kepalanya. Bagaimana ia menggenggam kejantanan orang ia cintai selama ini. Pengkhianatan yang ia terima menerjang memori indah yang ia miliki.

Kenapa kamu setega ini Bim." Zahra berkata dalam hati.

Tangisannya di bawah guyuran shower meluruhkan rasa cintanya kepada Bimut, ia mengutuki dirinya sendiri. bisa-bisanya ia mempercayai perkataan dan janji-janji yang sopirnya katakana. Seharusnya ia bisa mempunyai otak untuk memilih pria yang lebih mapan dan mumpuni daripada Bimut.

Namun di sisi lain otaknya mengkhianatinya. Si otak menunjukkan lagi bagaimana Bimut jago bermain dan membuatnya puas ketika sedang melakukan hubungan intim, inilah yang membuat dilema. Zahra ingin berteriak di tengah-tengah guyuran air.

Bimut tidak bisa ia lupakan, ia merasa plin-plan dan rusak. Sengsara sudah menjadi makanannya sehari-hari. Ibunya sudah memberi restu namun pria yang ia impikan menjadi calonnya malah tak bisa digapai. Rusak sudah hidupnya. Duka yang ia rasakan tidak bisa ia pendam.

Zahra menyelesaikan mandinya, ia berganti pakaian. Lalu ia tidur lagi. Khayalan yang tidak sanggup ia hentikan muncul lagi di dalam mimpinya. Pernikahannya dengan Bimut, hanya sebuah bunga tidur.

***

Di sebuah hotel, di Amerika Serikat, seorang pria menutup ponselnya. Asistennya sudah memberitahu tentang keadaan Zahra di Jakarta. Yonar menutup mata, sudah seharusnya ia menemui Zahra. Di hatinya, perasaan membara menyala.

Cowok itu berengsek sekali, ninggalin mantan gue yang lagi hamil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top