BAB 33: SEBUAH KENYATAAN 2
Zahra kebetulan melihat adegan peluk-pelukan itu. Ia mendengar ucapan Hera. Dada Zahra naik-turun, tidak logis apa yang dibilang Hera. Di hati Zahra ia masih membela Bimut. Bimut yang selama ini perhatian dengannya walau ia tahu bagaimana mindernya Bimut ketika berhadapan dengan keluarganya.
Keluarga Zahra adalah keluarga yang sangat kaya, kadang Zahra ragu untuk bergaul dengan orang-orang yang rendah dalam penghasilan. Ini sejalan dengan wanti-wanti ayahnya agar bergaul dengan teman yang ekonominya sepantaran atau lebih kaya darinya. Namun itu membuat rasa jenuh di dalam dirinya. Ia pernah mempunyai kekasih orang kaya. Yonar, pria yang seksi dan sangat menggairahkan baginya. Ia melindungi Zahra, namun karena Yonar memilih untuk ikut pemotretan di luar negeri untuk menjadi model, maka Zahra ditinggalkan. Zahra bukan tipe yang bisa melakukan hubungan jarak jauh, ia meminta putus kala itu.
Bertahun-tahun Zahra menutup diri, setelah ayahnya meninggal dunia, ia merasa sedih namun di kala itu juga ada kebebasan yang ia dapat. Zahra mulai bergaul dengan beberapa orang yang kelas ekonominya di bawah, hingga ia bertemu dengan Bimut yang ternyata adalah sopir.
Zahra tidak peduli lagi dengan kelas ekonomi, ia terpesona, bergairah ketika melihat tatapan Bimut ketika pertama kali bertemu. Rasanya vagina miliknya terasa gatal, air liurnya ingin lumer membasahi bibir sopir seksi itu. Kini ia tidak percaya oria yang ia cintai mengkhianatinya. Ia sudah tiga puluh tahun dan ingin sekali memiliki pendamping yang bisa menemaninya mengurus toko sepatu miliknya. Zahra tersadar ketika ucapan Mira menyadarkan lamunannya tentang Bimut.
Kak, pacar lo tuh! Sama cewek lain!"
"Nggak mungkin!"
"Aku lihat Kak--" Hera berkata namun dipotong Zahra dengan ucapan-ucapan tajam.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentang Bimut!"
"Tapi Kak."
"Dengerin Hera dulu lo!" teriak Mira mengabaikan sopan-santun.
"Mana buktinya? Nggak ada kan?! Ada foto?! Zahra berucap dengan ketus. Menantang, matanya seakan ingin memakan Hera.
"Sopir kakak itu seperti orang kehilangan arah Kak, dia seperti bersenang-senang dengan wanita lain."
"Kalau adiknya mungkin! Tapi kakaknya, saya jamin seratus persen tidak!" Zahra berkata dengan tegas. Wajah Zahra merah padam, air matanya keluar. "Abby! Kamu bisa ajari anggota-anggota girlband kamu ini biar sopan sama saya?!"
Jihan dan Bu Gasit mendadak keluar kamar, menghampiri mereka. Mereka berdua sedang tertidur di kamar mereka masing-masing namun teriakan-teriakan di ruang tamu terdengar jelas, mengganggu mereka yang sedang istirahat.
"Ada apa ini?!"
"Anak lo selingkuh!" teriak Mira, telunjuknya mengarah ke wajah Bu Gasit. Asal lo tahu! Anak ngehamili Kakak gue! Gak usah munafik! Keluarga lo juga bukan keluarga yang baik-baik kan?! Bokap gue, nyokap gue emang berengsek! Kakak gue juga! Tapi bukan berarti gue mau berengsek kayak lo semua!" Telunjuk Mira semakin keras menunjuk ke wajah Bu Gasit.
"Mira! Yang sopan sama orangtua!" Zahra berteriak.
Mira tidak menggubris perkataan Zahra. Ia merasa muak, antara dirinya yang mempunyai kakak yang dominan membuat ia tidak bebas. Ia harus mengekspresikan kebebasannya dalam berpendapat, namun ia terkadang dipandang sebagai anak kecil.
Tangan Bu Gasit bergetarm tubuhnya hendak jatuh ke belakang namun Zahra menahannya. Di sisi lain Jihan merasa tak percaya karena Mira sudah mengetahui perihal kehamilan Zahra.
"Kamu sudah tahu kakak kamu hamil tadi tidak kasih tahu ke mama?! Mama harus melihat kakak kamu kesakitan dahulu baru tahu kalau dia hamil! Mama harus merasa semua baik-baik saja. Bimut juga meminta agar mama menyembunyikan kehamilan Zahra dari ibunya! Bu Gasit mana kedua anak Anda! Saya ingin bicara! Mumpung saya lagi waras!"
"Saya ... saya tidak tahu."
Zahra mengajak Bu Gasit ke dalam kamar. Bu Gasit menangis tersedu-sedu. Jantung Zahra berdebar-debar, seperti ada yang menghinggapinya. Rasa bersalah terhadap Bu Gasit menaunginya.
"Bu, maafkan saya sudah menghancurkan keluarga Ibu. Saya .. saya dan Bimut tidak bisa menahan diri dan terjadilah kejadian laknat itu." Zahra berkata dengan deru napas yang terguncangm matanya memandang ke lawan bicaranya yang wajahnya merah saga.
"Maafkan Ibu sudah merepotkan kamu, Bimut padahal saya sudah didik menjadi anak yang baik. Mungkin ia melakukannya karena stress menghadapi adiknya."
"Tapi ini salah saya ... saya yang tidak bisa menahan diri."
"Seharusnya Bimut tahu konsekuensinya. Bimut orang yang penuh perhitungan."
"Tapi dia dimabuk cinta oleh saya Bu. Maafkan saya. Maaf menyeret keluarga Bu Gasit ke dalam lingkaran keluarga saya yang penuh skandal," ucap Zahra tidak enak.
Keduanya menangis. Mereka berpelukan. Sebenarnya hati Bu Gasit terasa diusuk-ditusuk namun ia hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ia tidak bisa marah-marah. Ia hanya bisa berdoa agar keadaan semakin membaik dan kedua anaknya pulang.
***
"Anak itu banyak tingkah," ucap Naura ketika sedang meminum bir bersama Claine. Keduanya berada di ruang makan, sementara Wahid dikurung di sebuah kamar. Naura menuangkan gelas kosongnya, bir yang ia minum sudah habis. Ia tuangkan gelas Claine yang sudah kosong juga.
"Aku akan beri dia pelajaran. Tunggu di sini."
Claine membuka pintu kamar yang di dalamnya ada Wahid. Yang sedang tertidur lalu dipukul bokongnya agar bangun. Wahid terlonjak. Ia membelakak,. Claine memelorotkan celana Wahid lalu ia mengeluarkan korek gas. Api menyembur ke bokong Wahid. Wahid berteriak keras.
"Ampun! Ampun!" teriak Wahid.
"Ini hukumannya buat orang yang susah diatur!"
"Jangaan tolong! Tolong gue mau pulang!"
"Kamu tidak akan pulang!" balas Claine. Claine menggeram menyiksa Wahid. Tangannya memegang korek api dengan kencang.
"Jangaan! Saya mau pulang! Saya mau pulang!"
"Kamu tidak akan pulang bodoh!"
"Lo jahat! Sakiit!"
Wahid menggigit bawah bibirnya, aliran darahnya naik ke atas, tubuhnya menjadi panas karena api yang meliuk-liuk dari korek gas ke bokongnya. Mulutnya menganga, mengerang, tubuhnya bergejolak. Claine melempar celana pendek dan celana dalam Wahid ke lantai. Anak itu masih kesakitan, berteriak tak kuasa menahan pilu.
Remuk sekali hatinya, ada jarum di hatinya, pilu harus menggantikan rasa cintanya pada Claine. Selama ini ia telah ditipu. Pikiran Wahid mengarah kepada kemungkinan selama ini yang ia berikan hanya tipuan saja.
"Claine, kenapa kamu melakukan ini?"
"Kenapa?! Karena memang aku mencari remaja laki-laki agar kujadikan gigolo. Kebetulan aku ketemu kamu, dan kamu membuatku bergairah, makanya kamu adalah sasaranku! Sasaran utama!"
"Bajingan lo! Dasar sialan lo?! Mau apa lo?!" Wahid membentak tetapi Claine masih saja menyeringai.
Claine tidak menjawab tapi ia menampar pipi Wahid dengan keras. Wahid pingsan di atas kasur dengan hanya memakai baju saja.Claine keluar dari kamar lalu kembali menikmati bir bersama Naura. Keduanya tertawa, menikmati bir, mabuk dan dansa bersama tanpa ada beban.
Wahid seperti ada di dalam bayangan kegelapan. Tidak ada harapan di dalam jiwanya. Ia terpaksa menuruti apapun yang diinginkan Naura. Ia menjadi budak yang tidak bebas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top