BAB 29: PENGKHIANATAN
Tiara menelepon Abby, ada nada sambung yang berbunyi. Suara Abby terdengar di seberang. Tiara menelan ludah. Tiara harus segera berbicara dengan keadaan tenang. Perpecahan di tubuh Dancing Girls adalah sebuah keadaan yang bisa memperuncing segalanya.
"Abby, halo. Gue mau ketemu sama lo."
"Pengen ketemu? Ada apa?"
"Gue mau bicara serius sama lo."
"Ya sudah, kita ketemu di markas Dancing Girls."
Tiara lalu menekan tombol tutup sambungan telepon. Tiara berbalik dan melihat beberapa tentara ular di belakangnya. Kebetulan pada saat itu sedang ada pertemuan membahas tentang kesejahteraan rakyat dunia ular.
"Apa kita bawa pasukan?" ucap salah satu dayang.
"Ini bukan urusan dunia ular. Saya tidak mau memanfaatkan jabatan saya untuk menekan orang lain."
Para dayang memberi hormat kepada panglima mereka. Tiara lalu pergi ke halaman rumah lalu terbang menuju markas Dancing Girls. Di sana, ketika ia masuk, ia melihat Abby sedang sendiri. Ia sedang duduk di dalam sambil mendengarkan lagu. Abby bangkit dari kursinya ketika melihat Tiara sudah di dalam.
"Ada apa lo pengen ketemu gue?"
"Gue pengen ketemu lo karena gue pengen bahas kondisi sahabat-sahabat gue."
"Kenapa? Lo berpihak sama siapa?"
"Gue nggak nyangka lo bisa sepedas itu sama Mira."
"Soal apa?"
"Soal ibunya. Lo bilang Tante Jihan gila kan?"
"Lo belain Mira, ternyata?" Abby mendengus.
"Kalau dari ceritanya Mira. Wajar dia marah karena ia memikirkan keselamatan keluarganya."
"Terus keluarga Bu Gasit harus diusir? Lo nggak bersyukur banget jadi orang. Lo punya jabatan di Istana Ular Parangtritis. Lo bisa bilang begini karena hidup lo enak! Lo belain Mira biar lo bisa jadi RI 1 kan? Bilang aja!"
Tamparan mendarat di pipi Abby. Tiara melotot kepada Abby karena ucapan yang tidak pantas. Abby memukul wajah Tiara. Keduanya berkelahi. Tiara merasa ucapan Abby adalah pengkhianatan dari persahabatan.
"Lo kurang ajar ngomong begitu! gue nggak ngincar jabatan apapaun! Lo jangan fitnah!"
"Kenapa lo nggak berontak saja sama ratu lo kalau lo mau jadi ratu!"
"Lo jangan panjang-panjangin masalah By! Kit lagi mau ngomongin Dancing Girls! Ada penghasut di rumah Mira! Ada si ular tua!"
"Gue nggak paham maksud lo apa?! Lo mau bilang keluarga Bu Gasit nggak benar kan?! Mereka orang miskin yang bodoh kan!"
"Gue nggak sekeji itu! Tapi lo harus ke rumahnya biar lo tahu segala sesuatunya! Teman lo hampir mati! Mira rumahnya diserang gara-gara pelaku pelecehan!"
"Wahid?! Gue nggak peduli! Dia hanya tidak bisa mengendalikan hormonnya saja."
"Lo gila! Apa yang Wahid lakukan itu adalah perilaku pelecahan kepadan para wanita! Lo masa mau dilecehkan?!"
"Tapi!"
"Tidak ada kata maaf untuk pelaku pelecehan! Lo benar-benar berkhianat, By sama Dancing Girls!"
"Gue pemimpinnya! Gue tahu apa yang harus gue lakuin! Apa lo jangan-jangan sengaja ngundang Mira ke girlband ini untuk mengkudeta gue?!" Pengkhianat lo!"
"Lo yang penghkianat! Tukang coup lo Ti!"
"Bangsat lo!"
Tiara memukul perut Abby. Abby membalas pukulan Tiara. Bibir Tiara berdarah. Awan gelap tiba-tiba meliputi langit di luar sana. Sebuah kegelapan menaungi langit. Mendung terasa di langit biru yang menjadi awan hitam.
Bibir Tiara berdarah begitu juga bibir Abby. Pertarungan dilanjutkan. Abby mendorong Tiara sekuat tenaga membentur kaca markas Tiara. Sebuah suara pintu terbuka. Hera masuk lalu berteriak melihat pertarungan itu.
"Abby! Tiara! Kalian ngapain?!"
"Lo diam di sana!" teriak Abby.
Tiara mendorong Abby hingga ketua girlband itu menyentuh meja. Meja pun terjatuh. Abby kesakitan. Abby berusaha bangkit, Hera lalu menangkatnya. Mata Hera melotot kepada Tiara.
"Dasar pengkhianat lo!
Tiara mengepalkan tangan, ia tidak seharusnya meladeni ucapan Abby. Tiara keluar dari markas Dancing Girls. Rasanya ia merasa terusir di rumahnya sendiri, rumahnya yang pecah. Persahabatan yang harus dijaga oleh ia dan teman-temannya harus hancur.
Ketika ia menoleh ke atas awan, ia seperti melihat mahkota iblis dengan tanduk-tanduknya yang runcing. Tiara lalu pergi kembali ke rumahnya. Sementara Hera di dalam mencoba mendudukan Abby yang kesakitan.
"Dia sudah menjadi musuh Tuhan, Her. Tiara."
"Dia kenapa?"
"Dia belain Mira. Dia mengelak soal jabatan. Dia pasti mau menjadi RI 1 makanya membela Mira. Ratunya kan mantan sekretaris bapaknya Mira. Gila itu orang."
"Lo yang sabar. Kita harus sabar. Pasti kerajaan Tuhan akan datang! Kuasa gelap akan hancur!"
"Terima kasih Her."
Pada sore hari yang mendung itu, kegelapan semakin terasa di hati mereka semua. Dua kubu yang masing-masing berdoa. Dua kubu yang menyembah Tuhan tetapi harus dipisahkan perbedaan pendapat.
***
Bu Gasit ingin memakai baju kesayangannya. Sudah lama ia tidak memakai baju pemberian mendiang suaminya. Ketika ia membuka lemari alangkah terkejutnya ia ketika kotak perhiasannya kosong. Bu Gasit berteriak keras dengan teriakan yang penuh emosional.
"AAAAA!" teriak yang membuat Bimut masuk ke dalam melihat ibunya.
"Ada apa Bu?"
"Perhiasan ibu hilang Nak! Perhiasan ibu! Aduh siapa yang ambil ya? Apa ketinggalan di rumah? Aduh kenapa bisa begini?! Itu perhiasan yang berharga buat ibu. Ada yang mencurinyakah? Ibu takut Wahid yang ngambil. Tapi nggak apa-apa. Mungkin adikmu butuh uang. Kalau sampai Wahid yang mencuri, ibu maklum karena ia butuh dibimbing."
"Wahid? Dia mencuri uang ibu dulu. Sekarang perhiasan ibu dia juga curi! Berengsek banget itu anak!"
"Biarkan saja, mungkin ia butuh uang!" Bu Gasit terduduk, ia menangis. Bimut memeluknya. Memberikan pelukan ketenangan yang bisa membuat Bu Gasit tidak sedih lagi. Bu Gasit menangis seunggukan.
"Wahid mana?" suara Bimut bergetar, di satu sisi ia harus menenangkan ibunya, di sisi lain ia mulai mendapat ide untuk menghantam adiknya.
"Wahid pasti sedang main Bim."
"Ibu terlalu memanjakan dia. Dia jadi ngelunjak sekarang."
"Nanti ibu bicara sama dia. Tolong kamu jangan marahi dia. Dia nggak salah. Ibu yang kurang usaha."
"Kenapa ibu selalu belain dia?"
"Ibu mungkin kecewa pertama kali memergoki dia berhubungan seksual di kamarnya sendiri. Ibu merasa dikhianati, tetapi perlahan-lahan ibu mengerti lalu memaafkan dia. Kasihan dia, Bimut. Dia sayang ayahnya. Dia sangat kehilangan. Hidupnya hancur dan putus asa seperti itu."
"Penjelasan ibu tidak masuk akal."
Bimut meninggalkan kamar ibunya lalu mencoba menghubungi Wahid. Nada sambung terdengar jelas. Wahid mengangkatnya.
"Ada apa lo nelepon gue?"
"Perhiasan ibu hilang. Pasti lo yang ambil!"
"Lo jangan nuduh yang nggak-nggak!"
"Lo emang pencuri di rumah!"
"Dasar bangsat lo!"
Telepon ditutup, tangan Bimut mengepal. Ia harus menjatuhkan harga diri adiknya di mata sang ibu. Namun ia bingung harus apalagi. Bimut berjalan lalu mendapat sebuah bar yang besar. Ia masuk ke dalam. Seorang barrista wanita sedang sibuk menghidangkan minuman.
"Gue minta vodka." Bimut meminta kepada si barrista. "Oh ya, nama aku Bimut."
Sang barrista pun tersenyum. "Kenalin nama aku Yuna."
Bimut bersalaman dengan tangan halus Bimut. Keduanya tampak mendapat sengatan listrik di hati mereka masing-masing. Hati mereka masing-masing bergetar. Keduanya akhirnya tampak akrab karena mereka pun mengobrol hingga larut malam.
***
Bimut dan Yuna masuk ke dalam sebuah kamar. Yuna mengajaknya ke rumahnya. Bimut terpesona dengan Yuna dan menerima ajakan itu. Yuna mendorong Bimut ke tempat tidur. Bimut menjilat ludah ketika Yuna, gadis berambut panjang warna hitam itu, berlenggak-lenggok sambil melepaskan seluruh pakaiannya. Yuna terjun ke tempat tidur. Ia melepas seluruh pakaian Bimut. Tubuh mereka pun naik dan turun. Keringat menghiasi mereka berdua.
"Aku ingin kamu, Sayang. Biar aku menguasaimu, baby," ujar Yuna. Lidahnya mengulum bibir Bimut, lalu turun ke bawah dan menjilati bagian kelelakian Bimut. Bimut mengerang nikmat. Yuna terus menjilati penis lelaki itu hingga wajahnya berlumuran mani. Wajah Yuna terlihat sensual karena penuh dengan mani Bimut. Bimut semakin bernafsu lalu ia langsung menarik gadis itu ke kamar mandi. Mereka pun melanjutkan permainan di bathub.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top