BAB 28: PERHIASAN

Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Wahid, si pemilik rambut memandang ke bawah, menikmati udara segar sambil menatap ke bawah, melihat orang-orang sedang berenang. Tampak sekali kebahagiaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.

Sebuah langkah kaki menyadarkannya, Claine datang lalu berdiri di sampingnya, ikut memandang ke bawah, menikmati angin sepoi-sepoi pula.

"Kakak kamu sudah aku kasih peluang untuk mendapatkan rumah, demi masa depan kamu. Aku minta satu hal. Kamu sekolah, tapi sekolah di tempat lain yang nyaman. Tentu aku tahu sekolah apa yang terbaik bagimu." Claine menoleh, menatap wajah Wahid. Wahid pun terpaku.

Perlahan kakinya mendekati Claine, ia rangkul leher Claine dengan kedua tangannya. Ia seperti diberi harapan di tengah kerapuhan. Bibir Wahid menghujam bibir Claine dengan lumatan. Tatapan Wahid seperti mengisyaratkan kalau ia berterima kasih kepada Claine karena sudah diperhatikan. Claine menarik tangan Wahid, ia dorong remaja itu ke tempat tidur kamar hotel mereka. Claine mengambil bedak lalu mulai menggoda Wahid.

Claine memoles wajahnya dan juga Wahid dengan bedak, mereka berdua tertawa-tawa. Wahid tertawa lepas. Belum pernah ia merasa sebahagia ini. Dilucutilah baju Claine. Claine membalas, ia lucuti juga baju Wahid. Keduanya pun bergumul, saling mencumbu. Wahid membuka risleting celana Claine lalu melemparkannya sembarangan. Claine lalu melepas celana pendek Wahid lalu ia lempar ke lantai.

"Wahid, I love you." Claine berbisik.

"I love you too." balas Wahid dengan senyum.

Wahid seperti menemukan surga di dunia ini. Surga yang melepaskannya dari penderitaan selama ini. Claine adalah sosok penyelamat baginya. Menyambut segala rasa yang ada. Dunia selema ini mempermainkannya. Ia bukan badut bagi semua orang yang harus ditertawakan. Ia harus menjadi sosok yang ceria. Dari tangan Claine hidupnya menjadi bahagia.

***

Bimut menghentikan motornya ketika ia sudah sampai ke rumah majikan dan kekasihnya lagi. ia masuk ke dalam rumah secara diam-diam. Ibunya sedang berak di kamar mandi pikirnya karena kamar mandi khusus asisten rumah tangga sedang menyala. Bimut kemudian pergi ke lantai tiga masuk ke dalam kamar ibunya.

Ia buka lemari ibunya, ia mencari-cari perhiasan. Ia temukan kotak perhiasan ibunya. Ia ambil semua lalu ia masukkan ke dalam kantung celananya. Bimut tidak mau berlagak bodoh, ia lalu ke parkirkan, naik motor lalu pergi ke toko perhiasan untuk menjual perhiasan-perhiasan tersebut.

Bimut melihat toko perhiasan yang sangat bagus dan cocok untuk dijual. Ia lalu melihat seorang pria tua bermata sipit yang sedang berdiri di konter perhiasan. Bimut memanggil pria itu.

"Pak, mau jual perhiasan.

"Mana?"

"Ini."

Bimut meletakkan perhiasan-perhiasan itu di meja. Si pemilik toko itu mengelus-elus janggutnya lalu memeriksanya. Ia meneliti dengan seksama, tidak mau ada kesalahan yang ia buat. Setelah memeriksa ia lalu menatap Bimut.

"Ya, ini asli ya. Saya kasih lah tiga puluh lima juta Nih buat kamu."

"Terima kasih ya Pak."

Akhirnya perhiasan ibunya ia berhasil jual. Ia kembali ke rumah daripada ia dicurigai. Bimut masuk ke dalam rumah lalu tiba-tiba sebuah tangan mencengkeramnya. Tangan Jihan mencengkeramnya.

"Ikut saya. Saya mau bicara." Jihan menarik tangan Bimut ke sebuah tempat.

Bimut merasa tidak karuan, ia tidak tahu hal apa yang akan diminta Jihan. Jihan pun mencengkeram lalu melotot.

"Kamu menghamili anak saya?"

"Saya ...."

"Jawab!"

"Iya, saya menghamili anak Ibu tapi tidak mungkin saya menikahi anak Ibu, Zahra dan saya berbeda kasta."

"Kamu sudah menghamili anak saya! Kamu harus tanggung jawab!"

"Tapi ..."

"Nggak ada tapi-tapian. Kamu harus menikahi anak saya."

"Ibu, tapi tolong jangan keras-keras."

"Iya, saya akan bertanggung jawab. Tapi tolong beritahu ibu saya dahulu."

"Kenapa begitu? Kamu mau bikin saya tambah gila? Saya gila tahu putri pertama saya hamil."

Bimut pun terdiam, ia berpikir, mungkin ia harus segera menghindar secepatnya dari situasi ini.

***

Abby melangkah di ruangannya, ia menyambut Hera, mereka berpelukan. Keadaan tidak memungkinkan untuk Dancing Girls berkumpul karena keadaan sedang panas dan pecah. Abby duduk di sofa bersama Hera.

"Keadaan sekarang sedang genting. Keadaan Dancing Girls tidak lepas perpecahan. Kenapa Mira dan teman-teman lain seperti ini karena mereka seperti sedang dihasut oleh orang luar mungkin untuk melawan ketuanya."

"Menurut gue nggak By. Kayaknya si Mira tuh parno aja sama keberadaan sopir di rumah mereka. Kan kalau yang namanya orang kalau udah benci ya benci aja. Mira kayaknya kan nggak terlalu terbuka sama sopir-sopir begitu. Mira itu kurang dekat sama Tuhan By."

"Orang yang berpendidikan seperti Mira tidak akan menolak orang yang berbeda kasta ke rumahnya. Mira harus diajarkan bagaimana cara agar rendah hati. Kasihan dong sopir atau kuli kalau setiap kali merasa berdosa kalau naksir sama wanita yang berbeda profesi. Harta kekayaan bukan segalanya."

"Kerajaan Tuhan pasti akan datang menaungi orang-orang susah seperti mereka. Tuhan tidak akan meninggalkan orang-orang yang berusaha. Mira sudah seperti orang sombong By. Tidak mengajarkan ajaran kasih. Agama lo dan agama gue kan mengajarkan kasih, kenapa di hati Mira tidak ada kasih. Harusnya kan dia beragama. Kan dia seagama juga sama lo By." Mira berkata.

"Gue nggak tahu Her. Kenapa dia jadi begitu, harusnya dia jadi contoh untuk umat beragama yang baik. Kalau anggota Dancing Girls nggak berakhlak kan itu malu-maluin. Lucunya ngapain ya Meredith sama Dewi belain dia."

"Iya, mereka berarti harus belajar kembali mendekatkan diri ke Tuhan, By."

"Nanti gue bilangin mereka. Harta bukan segalanya. Harusnya mereka saling mendekatkan diri karena kondisi Tante Jihan saja sudah seperti Her."

Keduanya merasa prihatin dengan keadaan saat ini. Mereka merasa ada awan gelap yang menaungi Mira dan kedua teman mereka, Meredith dan Dewi. Mereka berdoa dalam hati agar teman mereka berdua tersadar.

***

Alam gaib bergetar, Tiara menangis ketika ia terbangun tidur, ia melihat ke balkon, ada sosok Ibu Cahaya sedang berdiri di sana. Tiara menghampiri Ibu Cahaya lalu memeluknya. Sebuah duka tergambar di wajahnya. Tiara menangis di pelukan Ibu Cahaya. Dancing Girls sedang pecah, hancur, berantakan seperti ada yang merusak. Ia memang bukan anggota girlband itu lagi tetapi ia sangat peduli bila ada masalah yang menimpa teman-temannya. Tiara melepas pelukannya lalu mulai bercerita.

"Bu, anak-anak sedang berkelahi."

"Itu ulah si ular tua Sayang."

"Ular tua yang bersembunyi dan memecah belah persahabatan kami?"

"Ada sosok si ular tua di rumah teman kamu. Kamu nanti akan tahu siapa dia. Dia manusia , tapi sifatnya seperti iblis. Tapi kamu tenang, Tuhan tidak akan meninggalkan kamu."

"Ibu, apakah yang ada di mimpiku adalah si ular tua?"

"Betul, itu adalah gambaran si ular tua. Sifat yang mengintimidasi manusia hingga mereka jatuh dan tidak bisa sanggup dan masuk ke dalam jurang keputusasaan. Ibu hanya bisa berdoa agar sapu jagad milik Tuhan mampu menghancurkan si ular tua. KursiNya menaungi semua alam jagad raya ini. Makhluk yang memecah belah kalian tidak akan bisa mampu berhadapan denganNya. Ingat ketika kalian berhasil mengalahkan dan menghhancurkan Lucifer alias Mysterious God. Semua atas kehendak Tuhan."

Tiara lalau menangis lalu memeluk Ibu Cahaya kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top