BAB 27:HARAPAN

Mira duduk di sofa, ia melihat tantenya sambil seunggukan. Viona meminta Eri mengambil minuman. Eri mengangguk. Viona mengurut-urut leher Mira agar keponakannya itu lebih tenang dan tidak semakin sedih. Setelah minum dan menenangkan diri, Mira pun siap untuk bercerita.

"Kakak hamil sama sopirnya."

"Sopir yang ke sini?"

"Tante pernah ketemu?"

"Rambutnya pendek dan hitam."

"Iya, pokoknya namanya Bimut. Ngeselin banget itu orang! Adeknya juga suka bikin masalah sampai rumah kita diserang."

"Hah?! Diserang?!" Viona kaget.

"Iya pas malam tahun baru."

"Bukannya malam tahun baru kamu pacaran sam Eri?"

"Iya. Eri nggak cerita?"

"Belum."

"Er! Kok nggak cerita sih?!" Viona melotot kepada anaknya, seakan ingin menelan buah hatinya itu.

"Takut mama panik. Mama kan suka langsung ke rumah saudara kalau apa-apa."

Viona kemudian manyun, lalu terus menyimak cerita Mira. Mira pun menelan ludah lalu melanjutkan. Mira merapikan rambutnya terlebih dahulu. "Jadi, Wahid, adiknya Bimut itu ngebully orang terus keluarga korban marah. Datang ke rumah kita mencari Wahid. Tante tahu nggak Wahid tuh yang bikin Tiara keluar juga dari Dancing Girls."

"Apa?!"

"Ya, dia melecehkan kami, dengan kekerasan verbal. Tiara mungkin kesal dan sudah tidak kuat berada di Dancing Girls maka dia keluar. Katanya Dancing Girls sering menghadapi penggemar-penggemar fanatik yang mengganggu. Mungkin Tiara lelah."

"Kadang kita harus hargai keputusan masing-masing orang sih kalau menyangkut kondisi psikis."

"Tante tahu Dancing Girls juga pecah? Abby ketika aku curhat dia lebih memilih kakak aku ketimbang aku yang personilnya. Aku anggotanya. Katanya keluarganya Bimut itu kasihan."

"Nah, terus jadinya gimana?"

"Yah bukan gimana-gimana. Akhirnya aku berantem sama Abby karena bilang mamaku sakit jiawa. Aku nggak terima dengan hal itu. Aku benar-benar hancur dan nggak berdaya sama sekali harus bagaimana."

"Abby bilang Mbak Jihan gila?"

"Iya, Tante."

"Aduuh. Tante bingung harus ngomong apa ya. Jadi kamu sama Abby pecahnya karena masalah sopir ini?"

"Iya, ditambah sikapnya Abby juga Hera. Hera lebih memilih Abby."

"Meredith dan Dewi?"

"Mereka ada di pihak aku, ditambah Tiara."

"Sayang banget kalau kalian sampai pecah begini. Tante turut prihatin. Tapi Eri support kamu kan?"

"Ya, Eri sih nggak ikut campur tangan."

"Aku nggak mau ikut-ikut Ma, rawan banget." Eri menimpali.

"Ya, mama tahu itu. Urusan bakal jadi runyam malah kalau ini anak ikut."

Mira pun tersenyum, ada rona merah di pipinya. Di tengah kesal dan sedihnya ia masih merasakan kehangatan dari keluarga Viona, terutama karena ia mencintai Eri.

"Tante perlu bicara sama mama kamu?"

"Nanti saja Tante. Mama juga belum tahu soal ini."

Kejutan dahsyat menimpa hati Viona. Tak disangka, kesulitan keluarga mendiang kakaknya bisa sampai seperti ini. Ia berpikir, kalau suami Jihan itu masih ada, kakak kandungnya itu pasti mengusir Zahra. Remake terkenal sangat keras dan tidak bisa dibantah. Ia kenal dengan sosok kakaknya yang sudah mendahuluinya itu.

"Mama belum tahu, terus gimana?"

"Mungkin nanti aku kasih tahu atau biar Kak Zahra sendiri yang bilang ke mama."

"Aduh, Tante nggak nyangka hidup kamu rumit banget, Mira."

"Semua gara-gara sopir sialan itu Tante. Kenapa harus sama sopir hamilnya?!" Mira mengambil bantal di sofa lalu memukul-mukulnya. Mira tampak tidak semangat lagi, mukanya yang tadinya sudah cerah kembali murung.

"Tante tahu, beberapa hari ini ujian yang kamu alami berat banget. Pesan Tante, kamu sama Eri lewati ini sama-sama ya."

Mira menghapus air matanya. Ia memeluk Viona lalu menumpahkan air matanya lagi di sana. Viona mengusap punggung Mira yang menangis lagi. Eri lalu mendekati Mira. Mira menoleh lalu menatap wajah Eri. Keduanya berpelukan. Eri mencium kening Mira.

"Aduh, mama jadi baper deh lihat kalian. Udah sana makan berdua di ruang makan. Ngedate gratis, gak pake bayar. Daripada di mall, udah parkir bayar terus makan juga bayar. Kapan sih semua mall serba gratis?"

"Yang nggak ada kali Ma, yang kayak begitu."

"Mir, makan gih sama Eri."

"Ya, Tante."

***

Zahra mengambil roti bakar, ia duduk di hadapan ibunya, mendadak ketika ia makan, rasanya tubuh ini bergetar, kepala pusing. Muntahlah ia di depan piring yang di atasnya ada roti. Jihan pun berteriak.

"Zahra!"

Seketika Zahra pun jatuh, ia mual, muntah seperti orang hamil. Jihan mengenal gejala orang hamil. Zahra menangis, ia meringis kesakitan, tidak ada pendarahan, namun ia merasa tidak bisa menyembunyikan kehamilan lagi. wajah Jihan berubah. Ia menekan perut Zahra. Perut Zahra membesar.

"Kamu .. kamu disantet?!"

"AAAA!"

"Mama bingung kamu itu disantet atau. ... kamu hamil!"

"AAA! Jangan ditekan! Aku mau ke kamar mandi dulu!"

"Zahraa!"

Zahra masuk ke dalam kamar mandi, ia muntah. Ia diam dan mencoba mencuci muka. Ia tatap wajahnya di cermin. Zahra merasa putus asa. Kehamilannya tidak bisa ditutupi lagi. Ia ingin menampar Bimut. Tidak ada jawaban ketika ditanya, padahal mereka satu rumah.

Zahra keluar dari kamar mandi, ia melihat ibunya yang menatapnya dengan khawatir. Zahra menangis, ia terjatuh, Zahra memegang perutnya. Tidak kuasa menahan apapun yang ada di dalam perutnya lebih lama lagi.

"Zahra hamil, Ma!" teriak Zahra, ia memeluk Jihan.

"Zahra!" tubuh Jihan bergetar, tangannya tidak bisa ia kendalikan. Jihan membalas pelukan Zahra. "Siapa yang menghamili kamu, Sayang? Maaf mama nggak bisa jaga kamu."

"Tapi mama jangan marah. Tolong ini Zahra yang horny sama dia. Zahra yang terangsang dan tidak bisa mengendalikan diri!"

"Siapa?! Jawab! Siapa?! Mama pengen tahu orangnya! Mama nggak akan marah sama kamu!"

"Bimut Ma!"

"Sopir kita?! Bimut!"

"Maafin Zahra!"

"Kamu jangan minta maaf. Ini balasan dari Tuhan karena mama sama papa selingkuh di belangkang kalian. Mama pacaran sama keponakan mama sendiri sementara papa kamu main sama pelacur!"

"Nggak Ma!"

"Maafin mama, Zahra! Kita akan gelar pernikahan secepatnya! Mana Bimut? Mama mau bicara. Mau kasih restu ke kalian. Mau bagaimana lagi? Janin di tubuh kamu harus punya ayah!"

***

Bimut berada di sebuah hotel, ia dikontak seseorang, orang itu adalah Claine. Ia ingin berbicara tentang masa depan Wahid dan juga keluarganya. Kini, ia melihat wajah Claine yang sedang menatapnya.

"Saya menawarkan Anda untuk ikut program KPR rumah agar kalian punya masa depan yang bagus. Biayanya murah, saya akan membantu sebagian besar agar masa depan Anda dan keluarga, saya yakin masih cerah. Saya juga akan membantu Wahid untuk bersekolah. Namun harus diingat kalau kamu juga harus membantu saya melunasi biaya KPR rumah dengan biaya yang Anda miliki sendiri."

Bimut pun mengangguk, Claine menyerahkan brosur KPR rumah kepada Bimut. Bimut mempelajarinya sebentar.

"Terima kasih atas tawarannya. Saya berminat karena saya ingin memperbaiki kondisi keluarga saya."

Keduanya bersalaman lalu Bimut pamit. Wajah Bimut sangat cerah, ia yakin nasib keluarganya bisa berubah. Mendadak ada sebuah pikiran di otak Bimut. Mungkin ia harus mengambil perhiasan ibunya untuk biaya rumah, tetapi ia harus mencurinya, karena bila kondisi kadang sedang susah, ibunya tidak mau melepas perhiasan. Ia bertekad mengambil perhiasan itu diam-diam nanti sepulangnya dari hotel.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top