BAB 20: ROTI

Angin semilir menghempas segala daun yang bertengger di kegelapan malam. Mak Sahak membaca-baca mantra segala perlindungan. Ia merasakan sebuah kekuatan besar seperti mennghampiri rumahnya.

"Siapa kamu?!" bentaknya.

Mak Sahak berkomat-kamit. Mulutnnya membaca sebuah rapalan mantra yang sangat sakral. Dentuman api menghampiri halaman rumahnya. Ia tahu, sebuah balasan atas perbuatannya kini sudah di depan mata.

Mak Sahak berteriak, keras dan lantang. "Siapa kamu?!"

Tidak ada jawaban.

Di luar seekor kucing tengah bercumbu, kawin di antara semak-semak. Mendengar dentuman sekali lagi, mereka pun menyelesaikan percintaan dan lari tunggang langgang. Suara desahan kucing jantan dan betina menyiratkan permainan telah tertunda.

Seekor ular besar melayang terbang ke atas mengarah ke pintu rumah Mak Sahak. Si dukun wanita itu terkaget, apalagi pintunya terdobrak dan hancur karena ular itu. Si ular yang meracau meletuskan kemarahan.

"Jangan ganggu keluarga Bu Jihan."

Ucapan si ular itu mengagetkan Mak Sahak. Si Mak gusar, marah lalu mengumpat sekenanya. Ia berteriak lalu mencoba mengusir si ular. Tapi telat, si ular telah hilang. Belum ada semenit mendadak ia muntah darah. Darah merah yang segar merasuk ke dalam, menyatu dalam sanubari hinngga Mak Sahak terjatuh dengan gilanya.

Ia meraung-raung sendiri. Janda tak bersuami itu menngerang. Kemarahan timbul di matannya. Layaknya orang kesurupan, kini ia hannya bisa teronnggok lesu di dalam ruang prakteknya sendiri.

***

Suara tembakan masih terdengar di telinga Wahid, suara bisikan kematian korbannnnya ketika tawuran juga terngiang di pikirannnya. Gelisah melanda hatinya, sanubari merangkul kegelapam yang menutupi nuraninya. Segala ocehan bodoh dann perilaku tolol yang ia buat tergambar di pikirannya.

Harus bagaimannakah ia? Apakah ia sudah benar-benar bodoh?

Segala fantasi dan nafsu kekusaan yang ia miliki jelas ia lakukan, bagai tiang pancang yang lepas, ia kesana kemari seperti manusia bodoh. Tolol sekali. Pertama ia tidak puas dengan dirinya yang dikelilingi teman-teman saat tawuran. Kedua ia bergonta-ganti teman tidur. Kemarin dia ngentot sama biduan besok-besok dia bisa ngentot sama penjaga warung atau penjaga warteg. Burungnya sudah menancap di mana-mana dan itu menyiksanya.

Ia bermimpi diborgol, berteriak memanggil ibu dan kakaknya, tidak ada yang sanggup menolongnya. Ia layaknya buruan yang terpenjara di balik kerangkeng. Di mimpinya, sebuah lampu kecil menggantung bergoyang-goyang seakan meledek dirinya. Terpenjara karena keadaan, terpenjara juga tubuhnya di tempat sunyi itu.

Wahid terbangun dari tidurnya, ia yakin itu hanyalah ilusi. Di otaknya, sang ibu telah ke dukun dan menggunna-gunannya. Ibu mana yang tega menyantet anak lelakinya sendiri. Tapi logkanya jalan. Zaman sekarang apapun bisa terjadi. Sesama keluarga saja bisa bunuh-bunuhan rebutan harta.

"AH BABI SEKALI NYOKAP GUE!" bisiknya dengan bentakan.

Ia tidak bisa tidur lagi, ia harus keluar kamar. Wahid pun keluar kamar, tidak ada siapa-siapa. Pasti kakaknya sedang mengantarkan Zahra kerja, sementara Mira. Ia tidak melihat Mira.

"Ke mana itu anak?"

Wahid lalu melihat ada beberapa lapis roti, dibiarkan saja begitu. Tidak disentuh sama sekali. Dengan seenaknya ia ambil saja beberapa lapis roti, tanpa cuci tangan. Tangannya santai menggantung di sisi kursi sementara kakinya naik ke atas meja.

"Wahid!" panggil ibunya. Wajah Bu Gasit tampak panik. Tangannnya bergetar seperti habis melihat setan. "Wahid itu punya Bu Jihan! Tidak boleh dimakan!"

"Apaan sih sok tahu. Bacot lo ah!"

"Wahid!"

"Suara pintu terbanting mengagetkan mereka berdua. Sesosok wanita keluar dari kamar lalu menunjuk-nunjuk.

"GOBLOK!" teriak Jihan tiba-tiba. Jihan langsung merebut roti dari tangan Wahid lalu memakannya secara lahap. Wahid juga didorong hingga jatuh. "ONTOHOT!" teriak Jihan.

"Sudah Bu jangan pukul anak saya. Maafkan dial!"

"Aing penguasa di dieu! Itu makanan aing keheud!

"Bu sabar ya ...."

"Gimana saya mau sabar makanan saya dimakan. Ga tau adab!"

Jihan kembali ke kamar lalu melempar-lempar bantal. Guling dan juga beberapa benda di nakas ia lempar begitu saja. Untung tidak ada benda yang terbuat dari beling. Di luar mendadak ada sebuah telepon dari Zahra. Bu Gasit mengangkatnya.

"Bu Gasit, maaf apakah roti untuk mama sudah dimasak?"

"Maaf ya Mbak, roti bakarnya dimakan Wahid. Ibu lagi ngamuk di kamar. Aduh apa tuh yang pecah."

"Ya sudah, saya segera pulang ya. Tolong tenangkan mama."

***

Zahra segera keluar dari mall, ia meminta Bimut menngantarnnya pulang, kebetulan tugasnnya sudah selesai. Ia mendelegasikan beberapa pekerjaan besok kepada anak buahnya. Di perjalanan Bimut menatap wajah Zahra.

"Mama ngamuk gara-gara Wahid."

:"Itu anak emang." Bimut mendesah, menatap ke depan lalu menoleh kepada Zahra. Kaki Bimut tidak bisa diam. Tungkai kakinya seperti terganggu akan sesuai. Zahra melihatnya seperti cacing kepanasan.

"Kamu horny?" tanya Zahra.

Bimut menelan ludah.

"Maaf ...."

"Kenapa minta maaf? Itu hormon pria."

"Aku ga tau.

"Ga tau apa ..."

"Zah ..."

"Kamu ragu nikahi aku?"

"Aku orang miskin."

"Kamu hebat di mata aku. Aku ga liat harta kamu."

"Kamu jangan seperti bidadari di film-film kartun."

"Bimut. Jangan menganggap dirimu miskin. Kamu orang kaya di mata saya. Ini perintah!"

"Saya nggak pantas buat—""

"Tapi saya suka sama kamu. Udah ya saya nggak mau ngomong pake suara keras lagi. Pokoknya tugas kamu gimana caranya kamu nikah terus bahagiakan saya. Maaf aku pake saya. Aku sayang kamu. Jangan marah ya."

Bimut menatap Zahra lalu tersenyum. Mobil terus melaju.

"Maaf aku mau tanya."

"Iya Bimut, tanya aja. Aku pacar kamu."

"Kamu mau menikah sama aku karena minta pertanggung jawaban aku atau emang mau menghidar dari Bu Jihan."

"Yang pertama, karena aku pengen punya keluarga yang bisa bantu aku ngurus ibuku juga. Maaf bukan aku pengen dilayani kamu tapi ... aku ingin juga menikah."

"Kamu tidak kuat sendiri?"

"Menurut kamu? Setelah ada kamu hidup aku butuh terus sama kamu. I love the way you flirt me. Aku jatuh hati dengan caramu menatapku lalu menyentuh wajahku."

Bimut terdiam.

"Maaf aku ngomong campur Inggris. Aku bakal ajarin kamu cara ngomong bahasa Inggris lebih dalam setelah kita nikah. Aku ga terima kalau ada orang yang nanti mandang kamu sebagai sopir lagi. Kamu nanti suami aku. Nanti aku bakal bilang ke keluargaku yang kadang bajingan, aku bilang. Aku ketemu kamu sebagai rekan kerja."

"Hah, kamu gila."

"Nggak gila, aku gak waras kalau udah kena lumatan bibir kamu aja."

"Ah kamu."

Mobil sampai di depan pintu, lalu pagar dibuka Pak Ewo. Mobil masuk lalu diparkir di garasi. Zahra dann Bimut lalu berlari ke dalam rumah. Di dalam rumah Wahid tidak terlihat, hanya Bu Gasit yang dari tadi berdiri mematung, jantungnya berdegup setiap mendengar teriakan Jihan.

"Saya nggak berani ke dalam."

"Biar saya aja Bu."

Zahra meminta Bimut mendobrak pintu kamar sekuat tenaga dan mereka berdua temukan ibunya sedang memegang gunting di tangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top