BAB 2: DUKUN


"Eh Sus, si kecil mana?" tanya Zahra. Ia tidak menyangka kalau idolanya kini sudah menjadi seorang ibu dari satu anak bernama Susal.

"Di rumah tuh sama bapaknya, biasa, dijagain. Gue sendiri Zah. Oh ya soal sepatu lo nih, gue endorsenya nanti berapa lama?"

"Sekitar tiga bulan aja, nanti gue kirim sepatu baru deh. Oh ya kontraknya udah lo tanda tangan?" tanya Zahra.

Susanti tampak bersemangat, ia mengambil map lalu mengambil sebuah surat kontrak yajg sudah ia tanda tangani. Di sana tertulis nama dan tanda tangan yang sudah dimaterai. Zahra melihatnya lalu ia terima.

"Wah makasih loh nih. Akhirnya gue bisa kerja bareng idola gue!" ucap Zahra.

"Ah jangan terlalu melebih-lebihkan. Gimana Tante Jihan?"

"Ah, di amah, ada-ada aja dah. Berantem sama Tante Lintuh, sindir-sindiran."

"Gegara apa sih sebenarnya?"

"Karena nggak berizin sah itu tukang faical."

"Serius? Padahal kan kerja sama si tante."

"Tapi ketahuan nggak berizin katanya. Tapi gak disentuh tuh sama hukum. Lucu kan?"

"Heem gitu ya." Susanti mengangguk, matanya teralih kepada Bimut yang duduk diam. "Mas, pesan apa gitu."

Susanti memanggil pramusaji, ia menyuruh Zahra dan Bimut untuk pesan apa saja. "Hari ini gue yang traktir," ucap Susanti.

"Aduh jadi ga enak."

"HAHAHA! Gapapa kalau sama gue ini."

"Oh ya Sus, itu video klip yang lo sama dinosaurus keren tuh. Lagu dangdut ditambah sama penari latarnya dinosaurus. Ide dari mana?"

"Tahu tuh, Albert yang kasih saran, gue terima aja."

"Ada-ada aja tuh anak, anak direktur tapi suka ajaib."

"Eh, ipar gue aja bisa jadi ular."

"Iya juga ya, si Tiara."

Keduanya asyik mengobrol, sementara Bimut asyik memakan-makanan yang ia pesan. "Masnya baru kerja sama Zahra ya?"

Bimut malu-malu mengangguk. "Ini hari pertama saya kerja sama Mbak Zahra."

"Semoga betah ya Mas."

"Wah mudah-mudah Mbak. Makasih.

Tak terasa pertemuan itu sudah harus selesai, akhirnya Bimut berfoto ria bersama Susanti sebelum mereka berpisah. Setelah berfoto ria, Zahra dan Bimut pergi dari restoran, kembali ke rumah karena Jihan hendak ke salon.

***

Rokok Wahid hampir habis, ia tidak mau lagi sekolah, Bang Yudi sudah memberikan segalanya padanya selama ini, dari mulai rokok hingga minuman keras secara diam-diam. Hati Wahid kesal, tadi pagi ia dimarahi guru karena terlambat ke sekolah.

"Buat apa gue sekolah," keluhnya sendiri.

Ia bertekad meminta kepada ibunya untuk memutuskan dirinya dengan sekolah karena ia sudah lelah dengan para penghuni sekolah termasuk pelajarannya. Langkah kakinya kini berhenti tepat di dekat warung ibunya, Mie Ayam Bu Gasit.

Bu Gasit yang sedang memasak makanan untuk para pelanggannya tiba-tiba diteriaki. "Woy goblok mana duit!" teriak Wahid kencang.

Suara Wahid baru kali ini terdengar penuh amarah, memang pelanggan setianya tahu kalau Wahid anak kedua Bu Gasit yang kadang pendiam, kadang meminta uang kepada ibunya tetapi tidak pernah ia meminta separah ini.

"Mana duit!" teriaknya sekali lagi. kali ini dengan sedikit tampolan kencang di kepala Bu Gasit. Bu Gasit hanya tertunduk lesu ingin menangis.

"Eh santai aja dong lo! Itu kan ibu lo!" teriak Hera. Ia sedang makan di sana sendirian. Tidak ada personil Dancing Girls yang lainnya. Wahid menoleh lalu menunjuk-nunjuk muka Hera. "Apa sih lo?! Ini tuh ibu gue, bukan urusan lo!" balas Wahid.

Hera menggeleng-gelengkan kepala. Menurut Hera. Wahid, anak kecil ini harus diberi pelajaran. Hera menyiapkan ancang-ancang khawatir kalau Wahid menyerangnya tiba-tiba. Firasat Hera benar, Wahid hendak menendangnya, anak SMA itu sangat tidak tahu diri, berkelahi di warung makan ibunya sendiri.

"Apa masa lo sama gue?! Ikut campur hah!" bentak Wahid.

Hera mencoba bersiap siaga, menggunakan jurus Tapak Dara. Tangannya melayang-layang di udara mencoba membentuk seperti bunga lalu menghantam dada Wahid. Wahid terlonjak, lalu terjatuh.

"Jangan kurang ajar dengan ibumu bocah kecil!" ledek Hera.

"Diam lo! Lo nggak tahu penderitaan gue! Jangan ikut campur!" ancam Wahid.

Wahid pergi, marah, sebelum ia pergi, makanan yang sudah siap untuk pelanggan yang sedang menunggu, dilempar Wahid. Bu Gasit dan Hera sangat terkejut.

"Dasar lo!--"

"Udah Neng, biarin aja!" cegah Bu Gasit.

"Tapi Bu, anak Ibu itu."

"Udah nggak apa-apa. Udah biasa."

Hera tidak tahan, rasanya ia ingin memukul Wahid dengan tangannya, anak itu sangat kurang ajar dengan ibunya. Wahid harus diberi pelajaran.

"Maafin Wahid, dia emang suka gitu, tapi sebenarnya dia anaknya kalem."

"Tapi nggak bisa dibiarin begitu."

"Nggak apa-apa, Nak."

Hera menarik napas, Alangkah sabarnya ibu ini.

***

Jihan berjalan dengan langkah-langkah panjang, langkah kakinya penuh dengan kemarahan, ia harus memperingatkan sesuatu kepada para karyawannya agar tidak terlalu sering bergaul dengan Lintuh. Jihan membuka pintu salon miliknya, lalu berteriak mengumpulkan semua karyawan.

"Semuanya kumpul!" teriak Jihan keras. Wajahnya tampak merah padam, sangat menakutkan bagi para bawahannya yang melihat dirinya, tidak ada satupun orang di salon ini yang melawannnya atau taruhannya adalah karier mereka sendiri.

Para karyawan dan karyawati salon milik Jihan langsung menunduk, berkumpul dan tidak berani menatap wajah Jihan ketika mereka membentuk lingkaran. Jihan langsung bertanya kepada mereka

. "Kalian tahu nggak saya mau ngomong apa?! tahu?"

Para karyawan dan karyawati menggeleng-gelengkan kepala tanda mereka tidak tahu, mereka hanya bisa menunduks saja. Tidak berani menatap wajah Jihan. Jihan menghela napas lalu berkata dengan keras.

"Begini, saya tahu beberapa dari kalian ada yang dekat banget sama si Lintuh, tapi jangan pernah main-main dan terlalu dekat sama dia. Kalian tahu kan dua bulan lalu tiba-tiba dia ngilang terus bilang dia mau keluar. Memang ya, dasar MUA[1] nggak becus, ya gitu deh kelakuannya. Jijik nggak sih?"

"Iya Bu, tapi dia tuh baik Bu sama saya. Saya dikasih tahu goreng sama dia."

"Saya nggak peduli ya! Apa deh terserah kamu. Pokoknya kamu jangan bacot ya Susi! Diam saja! Di am sa ja!" tegas Jihan.

Jihan mendadak tertawa lalu menggeleng-geleng, seperti layaknya ibu-ibu yang sedang bergosip, suaranya berubah. "Eh tahu nggak sih si MUA goblok itu, dia kan izinnya nggak sah. Sertifikatnya ngasal jadi MUA, jadi tukang facial, heran deh tuh orang. Nggak usah ditemenin deh dia. Ngaco!"

"Baik Bu, nanti kami akan usir dia kalau ke sini," timpal Susi.

"Nah bagus. Kalau diusir lebih bagus lagi." Jihan tertawa, rasa senangnya tidak bisa digambarkan. Ia sangat girang, lalu mendadak ia melambaikan tangan sambil pamit. "Udah ya saya pergi dulu ya. Dadah semuaa!" ucapnya.

Jihan dengan riang keluar dari salin lalu kembali ke mobil, ia memberi perintah kepada Bimut untuk mengantarnya pulang. "Kita pulang ya Bimut." Begitulah ucapan ajakan sekaligus perintah yang dikeluarkan Jihan.

***

"Kalau gue bilang minta duit ya kasih!" bentak Wahid kepada Bu Gasit. Bu Gasit hanya bisa terdiam, dari pagi ia hanya bisa menahan diri melihat kelakuan putranya yang semakin hari semakin membuat ia sangat miris.

"Lo dengar nggak apa yang gue bilang? Peka nggak lo?! Apa lo budek?!"" bentak Wahid lagi.

Wahid menendang sebuah kursi yang di dekat ibunya. Bu Gasit hanya bisa menitikkan air mata saja. Pas di kala Wahid marah-marah Bimut datang baru pulang mengantarkan Jihan dari salon. Begitu ia mendengar keributan di dalam rumah, kakinya langsung berlari ke dalam.

"Eh ada anak kesayangan ibu nih! Ibu lo nggak mau kasih duit ke gue. Nggak mau keluarin gue dari sekolah. Maunya apa sih ibu lo?!" teriak Wahid kepada kakaknya.

"Wahid! Nggak boleh sembarangan sama ibu! Dia yang melahirkan kita! Kamu gila ya?! Dasar anak durhaka! Nggak tahi diuntung!"

Napas Bimut berderu, tangannya siap mengepal memukul adiknya, namun Bu Gasit menahannnya. "Bergaul sama siapa sih kamu?"

"Bodo amat! Gue mau pergi!"

[1] Make up artist

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top