BAB 19: MURKA

Wahid selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar mandi, namun Bimut mencegahnya ketika ia hendak masuk ke dlam kamar yang telah dipersiapkan. Bimut memegang tangan adiknya, matanya tajam, menatap memunculkan aura mematikan.

"Gue mau bicara," kata Bimut. Bimut tidak memakai batas aku-kamu lagi, kali ini ia benar-benar seperti ayam tanpa kepala. Gaya bicaranya seperti anak gaul.

"Lo mau ngomong apa hah?" Wahid membalas, nada keangkuhan terdengar jelas dari nada suaranya.

"Ke mana lo tadi?! Anak sekolah lain mati gara-gara teman-teman lo!"

"Itu mereka aja yang tawuran!"

"Gue dapat cuplikan video anak dibacok, nggak tahu siapa dia, nggak jelas mukanya. Dia nusuk anak cewek pake celurit. Awas kalo itu lo!"

"Kenapa lo mikir begitu ke gue?!"

"Lo nggak berhak bunuh anak cewek! Mereka itu tidak salah! Mereka hanya numpang lewat!" bisik Bimut.

"Kenapa lo bisa mikir di video itu gue? Coba jelasin!" Wahid menuntut penjelasan lebih rinci.

Bimut tidak bisa menjelaskan, ia sadar ia telah mati kutu. Tidak ada satu kata yang terlontar untuk menjawab pertanyaan adiknya. Bimut mengepalkan tangan lalu pergi. Wahid terkekeh sendiri, melihat kakaknya tidak bisa menjawab. Ia merasa kemenangan berpihak kepadanya dan kini saatnya ia tidur.

***

Bimut ingin menegur Wahid dengan nada lugas dan lantang namun ibunya sedang tidur dan baru saja mengalami kesurupan. Jika ia berkata keras maka itu bisa membangunkannya. Mata Bimut menerawang ke atas, matanya lelah, ingin tidur, namun tidak bisa. Tubuhnya hanya ia miringkan ke kanan lalu ke kiri, sampai ia lelah sendiri. Tertidur pulaslah, hingga matahari berada di istananya.

***

Bibir Bimut mendesah, ia mencoba membetulkan komponen mobil Zahra yang rusak. Ada bagian-bagian yang ternyata harus dibetulkan. Tadi pagi, ketika ia mencoba menyalakan mesin mobil. Mesin mobil menyala namun ia merasa ada komponen yang harus dibetulkan. Bimut masuk ke dalam lalu mencari beberapa alat-alat yang berhubungan dengan otomotif. Di tengah-tengah perbaikan, sebuah suara wanita terdengar menggeram.

Bimut menoleh, Jihan ada di belakangnya, mata menyalang lalu berbicara dengan lantang. "Itu alat-alat mendiang suami saya!" Jihan mendadak histeris. Bimut yang memegang kunci pas tak sengaja menjatuhkan benda yang dipegangnya.

"Kamu lagi apa?! Kenapa pakai barang suami saya! Kamu gila? HAH?!" lanjut Jihan histeris.

"Maaf Bu, saya sedang mencari kerusakan di mobil Mbak Zahra. Jadi saya harus bawa alat-alat ini. Saya juga bawa aki yang menurut saya masih bisa dipakai," balas Bimut.

"EH! Itu barang-barang suami saya! Kenapa kamu tidak izin dulu?! kamu gila?!" Jihan mengepalkan kedua tangannya lalu memukul sisi kepala bagian kiri dengan tangan kiri lalu sisi kepala kanan dengan tangan kanan secara bergantian.

"Maaf Bu ... Maaf saya lancang ...."

"GOBLOOK!" teriak Jihan lantang hingga suaranya terdengar parau.

Umpatan Jihan yang kencang terdengar sampai ke dalam rumah. Jihan membangunkan Mira yang sedang tertidur. Mira keluar rumah. Bu Gasit yang sedang mengurutkan badannya yang sakit langsung keluar rumah.

"Ada apa ini?!" tanya Bu Gasit, tangannya seperti memohon, matanya nanar. Jantungnya berdegup-degup. Bu Gasit khawatir anaknya dipecat karena melakukan kesalahan. Tangan si wanita tua itu bergetar, seperti orang meriang.

"SOPIR BANGSAT! BEDEBAH!"

Mira berlari ke luar lalu menghampiri Jihan. Kedua tangan Jihan dipegang, Jihan berusaha memegang mur lalu memakannya, namun tangan Jihan tetap ditahan. Jihan berusaha melepaskan diri, namun Mira masih menahannya.

"Mas tolong!" pinta Mira.

Bimut mengangguk, alat-alat yang ia bawa tadi segera ia singkirkan, Jihan masih meraung-raung. "Itu alat suami saya! Suami saya!" Jihan meronta-ronta dengan kencang, memaki lalu mengumpat. "ONTOHOT!" teriaknya keras.

"Ma sabar Ma! Sabar! Kak Zahra! Kak Zahra!"

Zahra yang baru selesai mandi keluar rumah. Tangan kirinya memegang handuk, lalu ia meletakkannya di kursi. Kursi sedikit bergetar karena dipegang Zahra. Zahra berlari dengan langkah dua kali lebih cepat daripada biasa ia berlari.

"Mama sudah! Tidak boleh menyakiti diri sendiri! minum obat dokter!" bentak Zahra.

Jihan mendadak seperti anak kecil, ia menangis lalu merengek seperti anak bayi. Sebuah suara menggelegar terdengar di telinga mereka. "Ih kayak anak kecil! Lo gila ya?!" Wahid terkekeh.

"Gue tahu lo keluarga artis tapi akting lo jelek cuy!" umpat Wahid.

Umpatan Wahid didengar Bu Gasit. Bu Gasit tidak percaya ada Wahid di sana. "Wahid, kamu ke sini Nak?"

"Kenapa? Gue diiinggal kalian! Terus gue kecelakaan! Nggak peduli kan lo sama gue?! Huuh bangsat lo!"

"Wahid! Yang sopan kalau di rumah orang!" tegur Bimut.

"Eh lo udah dikasih tumpangan di sini masih aja ya! Bantuin sini!" perintah Mira.

"Bantuin? Bimut aja sono! Udah ah gue mau masuk ke dalam."

"Berengsek banget nih anak!" umpat

"Udah, konsen sama mama aja." Zahra berkata sambil memegang tubuh ibunya.

Mira dan Zahra membantu Jihan untuk bangkit. Jihan masuk ke dalam dengan menatap wajah Bimut dengan penuh mata nyalang. Bu Gasit segera menghampiri putra pertamanya. Lalu ia bertanya dengan kejadian tadi.

"Ada apa sebenarnya?" tanya Bu Gasit.

"Tadi aku bongkar-bongkar barang karena ada kerusukan yang aku deteksi di mobil Mbak Zahra. Terus tiba-tiba Bu Jihan marah-marah kayak begitu."

"Aduh Nak, lain kali kalau mau pakai barang orang izin dulu ya."

"Iya Bu," jawab Bimut mengangguk.

Perasaan merasa bersalah timbul di hati Bimut, perasaan kesal juga timbul di hatinya.

Kenapa gue hamilin anak orang gila ya?

***

Suara lagu disko terdengar nyaring di diskotek, sepasang pria sedang bercumbu di atas sofa. Mereka berdua berciuman sangat liar. Kedua bibir mereka saling beradu, namun Claine melepas lalu mendorong pasangan homoseksualnya itu.

"Claine kenapa? Why yoi do that?

"Aku sudah bosan denganmu." Claine menatap pasangannya itu. Matanya tidak menampilkan gairah lagi. seperti ada yang padam di dalam hatinya.

'Bosan?" tanya kekasihnya.

"Ya, kenapa?"

"Kamu hanya mau uangku saja."

"Kau diam ya, aku mencintaimu, tapi kau sudah tidak membuatku panas lagi! kamu mending pergi! Gayamu monoton. You cannot make me turn on!"

Tamparan mendarat di pipi Claine. Claine tidak bereaksi, ia biarkan kekasihnya pergi. Entah mengapa ia harus mencari kekasih baru, apalagi anak lelaki yang ia temui. Remaja yang ia taksir kemarin. Biasanya ia lebih suka yang lebih tua, tapi tidak kali ini. Ia lebih suka dengan yang lebih muda. Wahid, ia mengingat nama itu.

Nama Wahid yang ia akan jadikan sasaran selanjutnya. Ia harus mencarinya dan menghampiri keluarganya. Meyakinkan baik-baik kalau ia akan bahagia bersamanya. Claine mengambil sepuntung rokok lalu menyalakannya. Menghisapnya dengan keindahan.

Ontohot (Bahasa Sunda) : Menyebalkan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top