BAB 18: SEBUAH PERTANYAAN
Anjing-anjing menggonggong, Yudi masuk ke dalam rumah Mak Sahak. Si tuan rumah tahu apa yang ada di pikiran calon pasiennya. Kemarahan jelas nampak di wajah si calon pasien. Mak Sahak mempersilakan Bang Yudi untuk masuk ke dalam.
"Mau kamu apa?" tanya Mak Sahak dengan tatapan tajam.
"Kamu pikir apa? Saya sedang kesal sama Bimut. Saya mau santet Bu Gasit!" ucap Bang Yudi lantang.
"Hoh kamu nampak temperamental!"
"Bukan urusanmu!" Yudi meradang, ia menendang sesajen milik Mak Sahak. Mak Sahak menggeleng. "Kamu kalau marah tidak bisa aku kendalikan. Kamu membuatku terangsang!"
"Diam! Diam kau janda tua!"
"Badanmu kekar, bikin aku jatuh cinta."
"Seberapa kali kau mengatakan itu aku tidak akan membalas rayuanmu!"
"Sudah! Duduk dengan tenang, jadilah pasien yang baik!"
"Ya sudah!"
Mak Sahak berhasil membuat Bang Yudi duduk. Ia memberikan sebuah mantra gaib untuk menabur angkara. Mak Sahak membaca mantra, matanya terpejam. Komat-kamit. Di rumah Jihan, Bu Gasit yang sedang tertidur mendadak berteriak kencang. Ada sebuah kegelapan yang terngiang di telinga, terus-menrus. Bu Gasit seperti dikejar-kejar sesuatu.
Bu Gasit bangkit daru tidurnya, tubuhnya berkeringat. Wajahnya ketakutan, perutnya mendadak sakit. Seperti ada yang menusuk-nusuknya. Ia pun muntah darah. Terlihat darah berceceran di atas kasur. Suasana tampak mengerikan. Bu Gasit berteriak-teriak memanggil Bimut. Tubuhnya jatuh, rebah di lantai.
Bu Gasit mengamuk, ia seperti kesurupan namun tidak nampak seperti kerasukan, lebih kepada orang yang sawan atau bisa disebut epilepsy. Jihan dan Zahra masuk ke dalam kamar bersama Bimut.
"Lebih baik kita bawa ke dokter!" seru Jihan.
"AAAAAAA!!!! HIHIHIHI!" tawa Bu Gasit. Mendadak Bu Gasit terbang. Bu Gasit melayang di udara dengan kepala yang berguncang-guncang terus. Bu Gasit menatap tajam kepada mereka yang ada di bawah, hendak mencekik mereka.
"Bu, nyadar Bu!" teriak Bimut. Namun Bu Gasit tidak kunjung sadar. Ia teru-menerus berteriak tanpa henti. Lalu mendadak Bu Gasit terjatuh.
"Bu!" Bimut langsung menangkap secara cepat tubuh Bu Gasit, khawatir tubuh Bu Gasit membentur lantai. Ia dibantu Zahra, mereka berdua membaringkan Bu Gasit di kasur.
"Ini seperti ancaman buat kita, kayaknya ada balasan!" timpal Jihan.
"Tenang Ma, jangan panik." Zahra mencoba menenangkan ibunya agar tidak panik. Kalau panik, wanita itu bisa berbuat yang tidak-tidak.
Zahra lalu meminta ibunya untuk kembali ke kamar. Semenjak ayahnya tidak ada, ia dan Mira harus menjaga Jihan lebih ekstra. Posisi Zahra seperti posisi Bimut sekarang. Ia harus menjaga Bu Gasit. Ia juga ditinggal ayahnya. Bimut juga mempunyai adik yang tidak bisa diberi tahu dan terkadang lebih kepada membuat repot seisi rumah.
Tawuran dan pergaulan bebas itulah yang selalu dilakukan oleh Wahid. Mengerikan. Bimut tidak tahu di mana keberadaan adiknya. Yang ia pikirkan keselamatan ibunya. Malam ini sepasang kekasih harus menjaga ibunya masing-masing.
Zahra duduk terdiam di teras, seusai ia menjaga ibunya. Untung Mira tidak ikutan terbangun. Anak itu penakut, ia harus menenangkannya kalau ia bangun dan panik. Mira lebih takut hantu. Kalau ibunya sendiri yang histeris, ia masih bisa menangani, namun tidak dengan hal gaib.
"Kamu di teras?" suara Bimut memecah diamnya.
Zahra menengok, ia memeluk Bimut. Zahra sebenarnya ketakutan melihat kejadian tadi, keberaniannya runtuh dan luruh di pelukan Bimut. "Tenang, semuanya baik-baik aja." Bimut menenangkan kekasihnya.
"Nanti anak kita bangun," kata Bimut.
"Bimut, jangan ingatkan aku sama perbuatan kita," balas Zahra. Air matanya menetes.
"Tapi ...."
"Tapi, kamu mau tanggung jawab kan?"
"Iya Sayang," Bimut menciumi bibir Zahra. Bimut dan Zahra saling beradu lidah hingga semenit berlalu. Mereka pun melepas ciuman. Ketika melepas ciuman tampak garis kekhawatiran di wajah Zahra.
"Kapan kita menikah?"
Sebuah pertanyaan keluar dari mulut Zahra. Bimut terdiam lalu memeluknya lagi.
***
Wahid masih memegang pistol di tangannya, kegelapan masih terngiang di jiwanya. Seperti ada peluru yang menghujamnya. Tetapi bukan peluru yang masuk ke dalam tubuhnya. Perluru-peluru itu sudah terlepas dari pistolnya, semakin mengerikan bila ia membayangkannya.
Wahid harus sembunyi dari kejaran siapapun, terlebih anak-anak tadi yang ia tembak. Ia melakukan tersebut demi perlindungan dirinya, keamanan dirinya pada saat itu adalah hal yang utama.
Wahid pergi ke sebuah diskotek, ia mencoba menenangkan diri. Wahid memesan minuman, ada sisa uang yang ada di dalam genggamannya. Seseorang menepuk punggung Wahid, ia menawarkan minuman. Pria itu seperti blasteran Indonesia dengan campuran wajah luar negeri.
"Hai, nama saya Claine. Namamu siapa?"
"Nama gue Wahid, ada apa?"
Oh tidak, saya mau mengobrol saja. Kamu mengapa? Sedang pusing, tampaknya kamu sangat lelah."
"Apa urusan lo nanya seperti itu."
"Tidak apa-apa. Tidak perlulah sensitif"
"Bukan begitu, saya mau bilang kalau saya ..."
"Apa?"
"Saya tertarik dengamu."
"Lo homo ya?"
"Maksud saya. Sepertinya kamu punya masa depan yang cerah yang harus diimbangi dengan eksplorasi."
"Gak jelas lo maksudnya apa?" Wahid menunjuk-nunjuk sementara minuman sudah terhidang, hadir di atas meja.
"Gue mau minum dulu. lo jangan ganggu."
Pria blasteran bule hanya terdiam, selama beberapa menit mereka hanya terdiam, konsentrasi dengan minuman mereka masing-masing. Tidak ada pembicaraan sampai akhirnya Wahid pergi, ranpa pamit kepada pria itu.
Pria bernama Claine itu tertunduk, ada hati yang berbunga-bunga di dalam jiwanya. Ada sesuatu yang ia tidak bisa ia jelaskan. Apakah ia jatuh kesekian kalinya ke dalam sebuah cinta, apalagi kepada seorang pria yang baru ia temui?
Wahid berjalan di kegelapan, masih mencari rumah tempat untuk pulang. Ia membuang pistol yang ia pegang ke tumpukan sampah yang sedang dibakar. Hingga akhirnya ia istirahat sejenak. Wahid memutuskan ke rumah Jihan, sampai ia di sana, ia mengetuk pintu pagar.
'Tolong! Tolong!" teriaknya. "Saya ingin masuk!" pintanya.
Suara Wahid tidak terdengar, ia harus ubah strategi. Ia ambil batu lalu melemparnya ke jendela. Jendela pun pecah, dari dalam suara Zahra mengumpat.
"Siapa sih yang mecahin kaca!" teriaknya. Wahid mendengar suara kemarahan Zahra.
Zahra keluar dari rumah lalu ia mengumpat dengan kencang. Namun ia melihat Wahid sedang ketakutan di sana.
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Zahra dengan tatapan tajam.
"Saya mau tinggal di sini boleh?"
"Kenapa tangan kamu berdarah?"
"Saya ... saya kecelakaan.
Zahra menggeleng-gelengkan kepala. Ia buka pintu pagar lalu membiarkan Wahid masuk ke dalam. Wahid masuk ke dalam. Saat ia baru masuk, kakaknya berdiri dengan tatapan tajam kepadanya.
"Wahid! Dari mana saja kamu?!" bentak Bimut dengan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan yang menghujam dada Wahid. Tangannya penuh darah, namun ia sudah mempersiapkan jawaban.
"Bukan urusan lo. Gue juga abis kecelakaan. Gila lo masih nanyain gue."
"Ibu lagi sakit. Kamu ke mana saja sih?"
"Bukan urusan lo! Bukan urusan lo bangsat!"
"Pergi lo dari sini! Di sni bukan tempat lo!"
"Bimut sudah! Wahid sudah terluka begini. Aku mau kasih dia baju dulu. pokoknya abis ini kamu mandi terus ganti baju. Kalau ada luka aku suka disiapkan kotak P3K."
Wahid mengangguk, Zahra menuntunnya ke kamar mandi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top