BAB 15: TAWURAN
"Berengsek!" teriak Mak Sahak, kemarahan tak terpendam di wajahnya. Kali ini ia tak tahan. Ada kekuatan lain yang menembusnya. Ini sungguh permainan yang menjijikan. Berani-beraninya seseorang melukai roh babi miliknya. Untungnya si roh babi tidak kenapa-kenapa. Hanya saja ia pingsan.
"Masih ada kesempatan untuk aku menyiksa Jihan! Si roh babi belum mati. Masih bersemayam di sana. Baguslah!" Mak Sahak tertawa-tawa.
Mak Sahak memaki dalam hati, ia tidak akan memaafkan bila roh babi di dalam tubuh Jihan lepas yang mengakibatkan si roh babi tewas. Ini sangat fatal. Bila roh babi tewas ini sangat berbahaya bagi kariernya. Ia bisa terdeteksi. Mak Sahak menghisap cerutunya dengan hisapan dalam sambil menerawang ke atas langit-langit rumahnya. Ia membayangkan siapa yang berani menghajarnya dari jarak jauh. Ia akan cari. Kemarahan akan murkanya sangatlah nyata. Ia ingin memukul orang-orang dengan mundur karena kekesalan yang teramat tinggi.
***
Jalanan ramai pagi itu dengan lemparan-lemparan batu. Wahid menggenggam batu dengan lebih keras karena ia menargetkan lawannya. Lawannya harus mati kali ini. "PERGI KALIAN SEMUA!" teriak Wahid, "DARI MUKA BUMI INI!" suara Wahid menggelegar dengan keras.
Wahid tertawa, ia lemparkan batu yang ia genggam ke target utama, seorang siswi dari sekolah lain yang membagikan nomornya tanpa izin. Wahid dan siswi itu kenal baik dari media sosial. Mereka terhubung karena ikut dalam grup sebuah aplikasi kepenulisan untuk menulis karya ilmiah, namun si siswi ini dengan lancangnya menyebarkan nomor Wahid tanpa izin.
"MATI LO ANJING!" teriak Wahid.
Siswi itu ketakutan, batu besar mengenai rambutnya. "Lo ngeledek gue di belakang anjing?! HAH! Ini akibatnya bangsat! Lo bikin gue jadi begini! Hidup gak jelas! Sekolah juga berantakan! Ngomong apa lo sama teman-teman lo? Ngeledek gue culun lo! Tiap hari ada saja yang minta kenala sama gue, rupa-rupanya itu teman-teman lo ya? Dasar jablay lo! Lo tahu nggak kenapa aplikasi yang kita pakai ada? Kenapa grup chat kita ada? Buat apa?! Buat nulis karya ilmiah! Bukan lo pakai nomor telepon gue untuk disebar! Lo nggak bertanggung jawab banget sih! Ditambah lagi! Lo minjam buku sekolah gue terus gak dibalikin! Sekarang, mood gue untuk sekolah sudah tidak ada! Itu semua gara-gara lo!"
"Maafin gue! Maafin gue!" si siswi meminta ampun.
Tamparan mendarat di pipi siswi itu. Tangan Wahid mencekik si siswi lalu mendorongnya ke sebuah taman. "Ini hukumannya buat orang yang menyebar nomor telepon orang tanpa izin! Ini hukumannya buat orang yang suka menghasut di belakang untuk menghina orang lain! Hape gue penuh jadinya!"
Sebuah bogem mentah dilayangkan lagi oleh tangan Wahid. Tangan Wahid mencengkeram. Memaki, meninju. Lalu celurit yang ia bawa dari rumah ia tebaskan ke mulut sasarannya. Sementara teman-teman yang lainnya di segala penjuru sedang tawuran.
"Lihat! Akibat lo ngehina gue di belakang! Terjadi tawuran kan? Teman-teman gue pada marah dan sekarang nyerang sekolah lo! Lo nyebar nomor gue ke siapa saja sih?"
"Ke teman-teman sekolah gue doang." Si siswi menjawab dengan wajah ketakutan.
"Itu aja? Itu aja?" Wahid tertawa-tawa, lalu mulut siswi dipaksa untuk dibuka. Dipaksa menelan celurit rajam yang ia genggam ia sodok celurit ke dalam. Darah mengalir dari mulut si siswi. Siswi itu menangis, terluka karena dinding-dinding mulutnya terkena sayatan tajam.
"AAAA!"
Sebuah tembakan terdengar dari area samping. Seorang siswa dari sekolah lain menembak teman-teman sekolah Wahid. Wahid terkaget, ia tebaskan mulut si siswi lalu segera meninggalkannya. Keadaan makin genting, tembak-tembakan demi tembakan mengenai beberapa teman Wahid.
Sebenarnya tawuran ini tidak terjadi kalau Wahid tidak mengadu ke teman-temannya perihal si siswi ini, namun ia sangat emosional dan mengadukannya kepada teman-temannya hungga ia dan teman-temannya memukul seorang siswa yang merupakan pacar si siswi.
"Lo pacarnya Nesta ya" tanyanya.
Dihampiri seperti itu pacarnya Nesta ketakutan lalu malah dipukuli Wahid dan teman-temannya. Wahid mengingat kejadian itu dengan tangan terkepal. Kali ini ia harus kabur dari sana, khawatir polisi menangkapnya, karena bunyi sirine semakin dekat dan semakin banyak korban jiwa.
***
Susi kaget ketika melihat ada makanan busuk yang tercecer di dalam salon. Ini kejadian kedua yang ia alami di tempat kerjanya itu. Aneh sekali rasanya. Sampai sekarang belum ketahuan siapa pelakunya. Jihan juga tidak mempunyai bukti.
Susi terkadang bingung, siapakah orang yang memusuhi Jihan. Siapa yang tega melakukan ini semua? Rasanya aneh sekali. Sampai saat ini dugaannya masih tertuduh kepada Lintuh, orang yang sering bersebrangan dengan Jihan.
Susi membereskan makanan-makanan yang busuk di dalam salon kemudian ia bawa makanan-makanan itu ke tempat sampah. Tempat sampah yang sangat bau dan membuat siapapun akan muntah. Tempat sampah besar di depan salon.
"Dibilangin suruh diangkat malah nggak diangkat tuh sampah dari kemarin." Keluh Susi.
"Majikan bikin repot, ini bikin repot! Benar deh hidup ga ada yang enak!"
Suara pistol terdengar, ada tembak-tembakan. Tubuh Susi bergetar, ia langsung masuk ke dalam salon. Dari balik pintu kaca salon ia bisa melihat beberapa anak SMA swasta dekat salon memegang pistol dengan ganasnya. Tetapi Susi agak tenang ketika ada beberapa polisi yang menembak balik anak-anak SMA yang memegang pistol itu. Beberapa dari mereka tewas, ada juga yang tertangkap.
Kejadian begitu terasa cepat, Susi terduduk kaku di dalam salon. Ia menenangkan diri saking groginya. Susi ingin menelepon Jihan, tampaknya tidak mungkin, karena kabar terakhir yang ia dapat Jihan sedang sakit dan tidak bisa diganggu. Itu adalah permintaan Zahra juga.
"Ribet banget ya punya majikan kayak Bu Jihan," keluhnya. Ia membuka ponsel, terlihat story dari Lintuh yang memaki-maki Jihan.
"Perut babi ya?! Makan tuh! Dasar badan sekba!" maki Lintuh di media sosial.
Story wanita itu ramai, penuh dengan hujatan dan pembelaan. Penghinaan demi penghinaan dilancarkan kepada Jihan dan Lintuh. Tagar-tagar di media sosial semakin ramai, malah sampai-sampai mengalahkan tawuran di jalanan. Susi tidak tahan berkomentar, ia memakai tagar namun ia mencoba menahan diri untuk tidak kasar. Berbahaya.
Jangan begitu Mbak! Jangan berhati busuk!
Sindirnya kepada Lintuh. Lintuh menjadi segala sumber kebencian yang harus ditegur karena bila tidak ia akan semakin menjadi dan tidak terkendali. Tidak ada jawaban dari Lintuh, mungkin sebentar lagi ia bakal diperbincangkan. Ia pasti akan mendapat pembelaan dan penghinaan sekaligus. Tapi sudahlah. Ini resiko yang ia harus dapatkan.
Tidak lama beberapa orang memuji tindakannya. Menurut mereka Lintuh keterlaluan karena memanfaatkan situasi dan memperkeruh suasana. Tidak etis bagi seseorang menertawakan orang yang sedang pusing. Ini yang harus diperbaiki, pikirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top