BAB 10: BABI GULING
Mobil Zahra berhenti di halaman depan. Ia meminta Bimut dan Bu Gasit turun dan masuk ke dalam rumahnya. Mbok Iin diminta Zahra untuk meyiapkan kamar untuk Bimut dan Bu Gasit. Karena keadaan yang tidak memungkinkan dan sangat berbahaya, maka Zahra memutuskan hal dengan cepat.
Bila Bu Gasit dan Bimut masih tinggal di rumah mereka. Mereka pasti akan ditanyakan oleh wartawan terus-terusan tanpa henti. Dirambah sikap Wahid yang sangat emosional karena suka mabuk-mabukan. Langkah ini diambil demi kebaikan keluarga Bimut.
"Kalau boleh Mbak Zahra, saya mau menjadi asisten rumah tangga di sini. Membantu Mbok Iin. Boleh?" tanya Bu Gasit ketika mereka sedang duduk di sofa, sementara Mbok Iin menyiapkan kamar untuk Bimut dan Bu Gasit.
"Ibu yakin? Saya tidak enak Bu."
"Sudah tidak apa-apa."
"Tapi kalau Wahid tahu bagaimana Bu?"
"Wahid biar saja Mbak. Dia emang suka begitu. Pokoknya saya yang penting ada kegiatan di sini. Saya nggak dibayar juga nggak apa-apa."
"Baiklah Bu. Tunggu sebentar."
Zahra ingin memanggil Jihan, namun baru ia bangkit dari duduknya, Jihan sudah keluar dari kamarnya. Jihan terheran-heran ada tamu di rumahnya. Wajah Jihan terlihat riang dan segar, melihat ada seorang ibu yang datang.
"Eh ada tamu! Siapa ini?!" tanyanya antusias.
Bu Gasit terpesona dengan Jihan. Ia lalu menghampiri Jihan. Mencium tangan si tuan rumah. Jihan sebagai nyonya rumah terkejut. Senang dan kaget tangannya dicium seperti itu. Ia merasa sebagai wanita berkelas dan dibanggakan karena ada yang secara inisiatif mencium tangannya.
"Saya izin bekerja di rumah ini Bu," pinta Bu Gasit.
Zahra dan Bimut merasa tidak enak dalam kecanggungan ketika memandang adegan dramatis di depan mereka. Zahra pun menimpali. "Ini ibunya Bimut Ma. Namanya Bu Gasit."
"Oh iya iya. Yang punya mie ayam itu ya? Tapi katanya tadi saya lihat baru terbakar ya?" tanya Jihan seakan meledek padahal ia mencoba memberi perhatian.
"Iya Bu. Saya mohon bekerja di sini. Boleh ya?"
"Tentu boleh. Tidak ada yang melarang. Oh ya bagaimana? Apinya sudah padam?"
Bu Gasit tiba-tiba kelu, merasa bingung, ia butuh pekerjaan namun mengapa calon majikannya menjadi aneh. Secara reflek Zahra akhirnya menimpali agar pembicaraan tidak kemana-mana.
"Bu Gasit sama Bimut lebih baik istirahat dulu ya."
Zahra lalu mengantarkan kedua orang yang akan tinggal di rumahnya ke kamarnya masing-masing. Mereka naik ke lantai ketiga. Ketika Zahra membuka kamar, Bu Gasit terpesona dengan kamar yang besar. Kamar tamu yang sangat rapi nan megah.
"Kamarnya besar ya. Baguus!"
"Semoga Bu Gasit betah di sini ya."
"Iya dong, semoga saya juga bisa menjadi ibu mertua kamu ya."
Zahra dan Bimut berdehem. Mereka berdua tercekat. Bu Gasit sadar ia keceplosan. Ia tersipu lalu tak sengaja Zahra mengeluarkan rona merah di pipinya. Keduanya tampak senang karena saling memberikan lampu hijau.
"Eh maaf. Hehehe!" Bu Gasit menutup mulutnya.
"Ya sudah, Ibu sama Bimut istirahat ya. Bimut aku antar ke kamar kamu."
Bimut dan Zahra lalu berjalan berdua. Bu Gasit masuk ke kamar, sebelum menutup pintu ia melihat tubuh dua orang itu sedang berjalan bersama. Tampak serasi di matanya. Sebuah ide muncul. Ia berencana menjodohkan mereka berdua.
Bimut diantar ke kamarnya, Zahra tersipu malu melihat ketampanan Bimut. Zahra secara reflek memeluk Bimut. "Sayang, istirahat ya," ucap Zahra.
Bimut mencium kening Zahra. Zahra memegang rambut Bimut. Ia mencium bibir Bimut, melumatnya, lalu menariknya di dalam pelukan. "Udah istirahat sana."
Bimut mengangguk, ia menutup kamar, Zahra lalu turun ke lantai bawah. Mendadak perutnya mual, ia lalu ke kamar mandi. Di kamar mandi, ia muntah di wastafel. Rasanya seperti masuk angina, namun di pikirannnya, muncul sesuatu yang berbeda.
Ia teringat percumbuannya dengan Bimut di mobil dan juga di bathub ketika mereka sedang mandi bersama. Mereka berdua tidak memakai pengaman. Ia biarkan mani Bimut masuk ke dalam vaginanya.
Gawat kalau gue hamil!
Zahra panik, ia duduk di closet lalu merenung sambil menahan mual yang ada di perutnya. Keadaan hatinya tidak bisa ditebak. Kalut dan panik.
***
Pintu rumah Mak Sahak terbuka lebar, Lintuh masuk ke dalam lalu memohon kepada Mak Sahak. Kedua tangannya memohon kepada dukun sakti itu. Mak Sahak mengangguk, ia sudah tahu apa yang ada di pikiran Lintuh.
"Soal Jihan pasti? Saya akan urus. Saya akan buat dia seperti babi guling!" Mak Sahak berkata dengan penuh semangat.
"Buat ia menderita Mak!"
"Saya akan menghadirkan babi di hadapan kamu. Lalu saya kirimkan roh babi ke dalam jiwa Jihan. Ini akan memakan beberapa waktu. Kamu harus sabar!"
"Baik Mak."
Mak Sahak merapal-rapal mantra. Tangan wanita bergincu itu menari-nari mencoba menghadirkan seekor babi. Tampaklah pelan-pelan seekor babi hutan yang galak. Suaranya menguik. Babi hutan itu tampak emosional, ia ingin menyeruduk Lintuh, namun dijinakkan Mak Sahak.
"Hai babi! Kowe pergi sana ke rumah Jihan! Rasuki dirinya, jadikanlah perutnya sebesar kau! Wahai babi hutan! Jadikanlah tubuh Jihan sebesar tubuhmu! Pergi! Cepaat!" perintah Mak Sahak sambil tangannya menari-nari, lalu berlagak seperti babi. Lintuh meringis melihat Mak Sahak yang mulai menguik.
Mak Sahak kesurupan babi! Ia ingin meloncat-loncat! Berteriak-teriak tanpa henti! Namun sejenak ia terduduk lalu tersadar. Mak Sahak bernapas, lalu tersenyum.
"Ritualnya berhasil. Tinggal tunggu waktu saja. Jangan khawatir, sebentar lagi musuhmu akan menjadi babi guling!"
Lintuh tersenyum. Ia berterima kasih kepada Mak Sahak. Wajahnya sumringah. "Pokoknya saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya. Ini uangnya, dua puluh juta!"
"HAHAHAHA! Kalau mau minta bantuan lagi bilang ke saya. Saya akan bantu kamu untuk melawan musuh-musuh kamu!"
"Baik Mak."
Lintuh pun pulang. Bu Gasit melihat ponselnya, ada kabar kebakaran di Mie Ayam Bu Gasit. Mak Sahak langsung menelpon Bu Gasit.
"Bu Gasit, maaf saya baru kontak. Saya turut prihatin dengan keadaan yang terjadi di warung makan Bu Gasit."
"Yaah, saya sedang menghindari wartawan. Saya juga mohon maaf karena ramuan yang Mak kasih belum saya sempat berikan ke Wahid. Dia pergi mulu. Saya suka lupa."
"Tidak apa-apa. yang penting Bu Gasit sekarang tenang. Kalau perlu saya cari siapa yang membakar warung makan ibu."
"Tak perlu repot-repot nanti saya cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maaf Mak, saya mau istirahat dulu."
Telepon diutup, bibir Mak Sahak bergetar.
***
Tangan Zahra bergetar, dua garis biru tertera di testpacknya. Tiga hari menunggu ia akhirnya memberanikan diri untuk testpack. Hasilnya positif. Ia harus memberitahu hal ini kepada Bimut. Tidak bisa ia tunda lagi.
Bimut sedang mencuci mobil Zahra di halaman depan. Dengan langkah panjang setengah berlari ia hampiri kekasihnya itu. "Bimut," panggilnya.
"Eh ... ada apa?"
"Aku .." bibir Zahra bergetar, air matanya hendak keluar. Panas rasanya.
"Kenapa? Kamu kenapa?"
Zahra lalu menunjukkan testpacknya kepada Bimut. Dada Bimut berdegup kencang, jantungnya memompa lebih banyak darah. "Kamu ..."
"Aku hamil."
Belum selesai mereka berbicara tiba-tiba Jihan muncul di pintu rumah. Suaranya menggelegar.
"Ada yang mau makan babi?!" seru Jihan sambil memegang piring berisi babi guling dengan nasi di atasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top