BAB 1: PERTEMUAN
Jakarta, 2025
Suara deru motor menghiasi halaman rumah Zahra. Ia terbangun, sejak tadi malam ia penasaran dengan kedatangan sopir baru yang akan datang bekerja di rumahnya. Entah mengapa ia dari kecil suka sekali menunggu dengan antusias bila ada asisten rumah tangga atau sopir baru. Untuk menyambut sopir baru, ia merapikan pakaiannya, berjalan dengan anggun menuju ke halaman.
Motor terparkir di halaman rumahnya, sosok pria berambut pendek, memakai kaos putih bergambar harimau turun dari motor, kakinya melangkah, terkejut pintu dibuka. Zahra, membuka pintu, bibirnya naik ke atas, berjalan sambil menatap sang sopir.
Aduh gue horny, ganteng banget.
Zahra berkata di dalam hati.
"Kenalkan Mbak, nama saya Bimut. Saya yang nanti kerja di sini. Bu Jihan ada?" tanya Bimut ramah.
Zahra mengangguk, "Saya Zahra. Ibu Jihan ada, saya panggilkan ya. Oh ya kamu masuk saja dulu, duduk di dalam. Nanti antarkan saya ya ketemu klien saya." Ia berjabat tangan dengan Bimut. Keduanya merasakan sensasi tak terbayangkan.
Bimut tertegun, suara Zahra terdengar halus dan seksi, seakan mengajaknya berduaan seumur hidup. Tapi apa daya, ia hanyalah seorang sopir. Sudahlah, ia harus melangkah masuk dan menunggu di sana, menyusul Zahra yang sudah lebih dulu masuk.
Bimut duduk dengan santai, Mbok Iin membawakan segelas air putih, sementara Zahra masuk ke dalam kamar ibunya, memberitahukan kedatangan Bimut.
***
"Ma, sopir baru udah datang tuh. Ganteng banget."
"Alah kamu, nggak sopir, nggak tukang sayur, semua ditaksir. Ini mama lagi berantem sama Tante Lintuh. Dari kemarin bikin masalah. Aduh kerja bareng dengan tukang facial cupu ya susah."
"Udah Ma, berantemnya. Lagi ada tamu itu. Kasihan dia nunggu dari tadi."
"Sudah ah, suruh dia tunggu, mama sedang ngepost di akun mama. Jangan protes, kamu keluar saja sana!" perintah Jihan.
Itulah Jihan, hobi meladeni orang untuk berkelahi sekarang. Kadang anak-anaknya bingung, harus bagaimana dengan ibunya. Tapi Jihan cuek, ia bilang kepada anak-anaknya kalau ia akan tetap meladeni siapapun yang menganggu dirinya. Ia tidak akan pernah peduli dengan semua omongan orang. Termasuk anak-anaknya.
Zahra keluar, ia sudah putus asa, bingung bagaimana memberi tahu ibunya. Sudahlah pikirnya, Jihan tersenyum ketika melihat anaknya sudah tidak ada di kamar lagi. dentingan ponsel berbunyi, postingannya berhasil diunggah.
Heh monyet salon emang lo pikir lo siapa? Gue yang ngasih lo tumpangan ingat! Tumpangan buat bisnis sama gue!
Beberapa hari ini warganet dihebohkan dengan perkelahian dua orang terkenal di jagad maya. Jihan sang pemilik salon dan juga Lintuh yang terkenal dengan jasa faicalnya. Masalah bermula karena Jihan memberikan segepok uang kepada Lintuh untuk membeli bahan-bahan faical yang diperlukan salonnya, Salon Kerimbat Jihan. Namun hingga sekarang Lintuh tidak ada kabar. Jihan curiga Lintuh membawa uang yang ia berikan.
Warganet membuat tagar #Lintuhpencuri #Jihaneksis #JihanLintuhbertarung, dan banyak lagi tagar lainnya. Tidak penting tagar itu yang penting Jihan popular. Ini momentum yang tepat untuk mencari dukungan setelah sekian lamanya ia tidak mencuat lagi setelah kasus percumbuannya dengan Riko.
Puas dengan komentar-komentar warganet yang membelanya, Jihan keluar dari kamar, lalu berseru sambil meminta maaf karena Bimut sudah menunggu lama.
"Aaa Mas Bimut ya, bagaimana kabarnya? Baik? Selamat datang dan selamat bekerja di rumah ini!" sambut Jihan.
Jihan kumat lagi, ia selalu euforia bila sedang bahagia. Entah mengapa ia bisa seperti ini, yang jelas, sejak dua dua tahun lalu dia seperti ini, dan mendadak suka tertawa sendiri tanpa sebab, bahkan kadang kalau sedang berkelahi di media sosial, meladeni komentar warganet, ia bisa saja naik ke atas meja makan dan tertawa-tawa. Untungnya, Zahra dan Mira, serta Mbok Iin suka menghentikan kegiatannya, khawatir ia jatuh.
"Terima kasih Bu." Bimut mengangguk, suka dengan keramahan Jihan namun ia ingin sekali menepuk dahinya sendiri, melihat perilaku Jihan.
"Oh ya, nanti sore antar saya ke salon ya. Siang ini kamu antar Zahra dulu, mau ketemu kliennya."
"Baik Bu."
"Sudah ya, kamu sana antar Zahra, saya mau senang-senang dahulu." Jihan langsung masuk ke dalam kamar. Sementara di dalam kamar, Mira yang mengintip dari balik pintu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah sakit mamaku, Sayang, "kata Mira sambil menutup kamarnya.
Eri sepupunya, yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya hanya bisa menggelengkan kepala. "Tante Jihan memang gila dari dulu, apalagi sama Riko." Eri berkata sambil terkekeh.
"Ah Sayang, jangan begitu. Jangan ledekin mama aku terus," ucap Mira yang manja di pelukan Eri. Keduanya saling menatap, sangat dalam. Lalu Eri langsung melesakkan lidah bibirnya ke bibir Mira. Mira menyambutnya, bahkan semakin dalam. Keduanya saling mencintai.
Mira dan Eri resmi jadian dua tahun lalu, tepatnya ketika mereka berdua sudah berumur sembilan belas. Dua remaja itu mendapat sambutan dari Viona dan Jihan. Viona suka dengan karakter Mira, sementara Jihan sangat senang karena membayangkan Eri menjadi calon menantunya nanti.
Muka keduanya saling menjauh, menatap lagi, setelah berciuman. "Tadi Tante Jihan girang kenapa?"
"Karena ada sopir baru."
"Halah nanti dideketin. Awas aja. Aku hajar nanti. Biar nggak bikin malu keluarga."
Udah, jangan ledekin terus! Tuh kopi kamu abisin, sebelum dingin, jangan gitaran mulu!"
"Iya iya."
***
Angin di dalam mobil berhembus, ya angin AC yang membuat dingin kedua orang di dalam. Mereka duduk bersebelahan. Begitulah Zahra, kalau ia punya sopir pasti duduknya mau di sebelah, tidak di belakang. Rasanya lebih enak kalau ada teman ngobrol.
Itu juga dirasakan Bimut, keduanya terasa dekat, walaupun masih malu untuk saling berbicara. Namun, tiba-tiba, Zahra bertanya.
"Kamu tinggal di mana?"
"Tinggal di Jakarta Pusat Mbak. Mbak tahu Mie Ayam Bu Gasit, itu punya ibu saya, ya walaupun hanya sedikit pelanggannya."
"Wah bagus dong! Ada usaha dan selalu berkarya. Yang penting ulet."
"Kadang ada beberapa artis yang main ke sana. Contohnya kayak Dancing Girls. Kadang mereka ke sana. Kalau Hera saya kenal, dia paling sering main ke sana."
"Wah, kalau gitu maaf kenapa kamu jadi sopir?"
"Saya mau ada penghasilan tambahan juga."
"Wah bagus deh. Ada usaha."
"Bu Jihan orangnya ramah ya Bu, saya bakal betah deh kayaknya kalau kerja bareng Bu Jihan."
"Dia nggak tahu tuh bisa sampe segirang itu nyambut kamu. Saya aja nih bingung kenapa bisa begini. Dia sih suka berekspresi seperti itu dari beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya sudah psikiater, tapi tinggal dikendalikan saja."
"Hoo begitu ya? Baguslah."
Tak terasa tujuan mereka sudah dekat, mereka masuk parikiran sebuah restoran. Di kala mobil berhenti, Zahra berkata kepada Bimut.
"Kamu bakal kaget lihat klien saya siapa."
Mereka berdua pun turun, Bimut membawakan goodie bag berisi beberapa kotak sepatu. Mereka berdua masuk ke dalam, dan terlihat seorang wanita berbaju hitam memakai crop top hitam dan rok putih.
"HAAI!" sapa wanita itu.
"Susanti!" balas Zahra.
Bimut tidak percaya, sosok yang berdiri di depannya kini adalah seorang penyanyi dangdut yang sangat terkenal. Susanti yang selalu meliuk-liuk di panggung, penyanyi yang sangat handal dan memiliki aura bintang yang tidak bisa diragukan.
"Taro aja di sini Bim!" ucap Zahra.
Bimut meletakkan goodie bag di meja makan, Susanti tidak bisa menahan penasaran. "Siapa nih? Pacar lo ya?" tanya Susanti.
"Eh bukan! Ini Bimut, sopir gue!"
"Eh maaf, kenalin, saya Susanti, ayo sini ikut duduk."
Tangan Bimut bergetar, perlahan mulutnya membuka "Saya ... saya ngefans sama Mbak Susanti, nanti boleh minta foto?" tanya Bimut.
"Boleh, sekalian duduk aja di sini, ngobrol." Susanti mengajaknya duduk.
"Boleh?" Bimut menoleh kepada Zahra.
"Iya, sini samping saya."
Bimut tambah gemetaran karena Zahra mengajaknya duduk di sampingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top