ii. sweet
Rumah manis bercat biru pastel tampak tenang dari arah luar, sejatinya denting suara wajan dan spatula terdengar keras di dalam. Aroma sedap menguar dari bagian dapur, menggoda indra penciuman dengan lihainya. Namun sayang satu orang tidak terpengaruh, hidungnya bebal menghadapi keseharian membosankan itu. Dirimu melewati dapur seolah tidak terjadi apa-apa, melintas langsung menuju pintu depan.
"Onee-chan mau ke mana?!" Pekikan keras datang dari arah dapur, asalnya dari pemuda belasan tahun yang penampilannya berantakan dengan tepung di seluruh bagian wajah serta tangannya. Dia mengendorkan pekerjaan tangannya, menyempatkan diri melongok dari balik dapur, memergoki kakak perempuannya telah rapi berbalut pakaian berkesan cerah sedang memakai sepatu sandalnya.
"Oh, bukan urusanmu, bocah," timpal dirimu tidak mengindahkan peringatan adikmu, tetap lanjut mengenakan sepatu dengan hak tipis itu sampai benar-benar nyaman di kakimu.
Adikmu mendesah. Begini lagi di tahun ini, tidakkah dirimu lelah? "Onee-chan pasti mau menunggu Rio-san kan? Untuk apa menunggu pria bodoh seperti itu?! Tinggalkan saja dia Onee-chan, toh ada banyak yang bersedia menggantikan tempatnya di hatimu." Adikmu berceloteh tanpa henti, mengomel mengenai aktivitas rutin kakaknya yang dianggap menyebalkan. Tidak bisakah kakaknya menyerah saja? Mau sampai kapan kakak perempuannya menunggu pria yang tidak ada kabarnya sama sekali?
"Diam dan tidak usah ikut campur, bocah," hardikmu dingin, "Sampaikan salamku pada Ayah dan Ibu, aku akan kembali tengah malam nanti, dah!" Suara bantingan pintu kayu menandakan kepergianmu, tidak memberi kesempatan tambahan bagi adikmu untuk mengomeli jadwal rutinmu.
"Ah, dasar kakak bodoh ... "
.
Yuzutsu Yoshikawa presents
K A N Z A K U R A
I own all the story plot, gain nothing from writing this story, and writing for my own sake.
.
Romance | R | Simbeyousas Project | Warn : typo(s)
.
Don't like don't read.
Happy reading! ♡
.
Itu kejadian lima tahun lalu.
Kau masih mengingat persis bagaimana runtutan peristiwanya, terngiang selalu dalam benakmu, bahkan tak hanya sekali terbawa ke alam mimpi. Itu tentang kalian yang menghabiskan waktu bersama, berbagi tawa tak mengenal waktu, tetapi kemudian dirimu yang menangis tersedu-sedu tidak bisa menerima fakta bahwa kekasihmu akan mengikuti angkatan laut kemiliteran. Dimana di bawah hujan bunga sakura kalian berjanji satu sama lain untuk saling menunggu.
Dan sampai sekarang pun aku masih menunggu kepulangannya.
Selama tahun-tahun terakhir kau melewati jalanan yang sama. Trotoar, pertokoan, dan pemandangan tidak pernah berubah. Jalanan dipenuhi lautan manusia. Itu adalah hal yang lazim mengingat setiap tahunnya bunga pink mungil yang merekah di atas kepala mereka memikat setiap pengguna jalan. Tak sedikit dari mereka pergi ke taman terdekat, di mana tersedia sebuat lapangan khusus berisi penuh pohon sakura yang bunganya bermekaran cantik. Lalu karena pesona khas di musim semi, toko-toko makanan ringan di deret jalan ikut kebanjiran konsumen. Kau merupakan salah satu contoh orang yang rela menghabiskan uang demi makanan enak.
Di tangan kanan kau menggenggam sate cumi-cumi, sedangkan tangan kirimu sibuk dengan bungkusan takoyaki. Kepala menoleh kanan-kiri, berharap ada tempat kosong agar dirimu bisa duduk, kemudian mata menangkap satu tempat kosong di bangku taman. Dari arah seberang kau menemukan orang yang berniat sama, maka dari itu buru-buru kau duduk menempati bangku sebelum didahului. Pelan-pelan kau mulai menyantap makananmu sambil menikmati panorama serba pink. Dua jajanan tadi habis dalam hitungan menit, memaksamu berdiri meninggalkan bangku-dengan tetap menitipkan tasmu pada orang di sebelah supaya tidak ada yang mengambil alih kursimu-mencari jajanan lain yang menarik hati.
Kegiatanmu terus berulang. Sakura mochi, daifuku, ichigo dango, sampai kue-kue kering nanohana sudah acap kali kau rasa, tetapi musim semi memang terasa kurang lengkap jika jajanan aneka macam tersebut tidak dicoba. Masyarakat hang berlalu-lalang kian berkurang seiring berjalannya waktu. Tikar-tikar digulung, sampah berserakan dibuang pada tempat sampah tersedia, ricuh tawa semakin berkurang jumlahnya. Matahari tidak lagi berada di pundak tertinggi, Tuan Penerang Raksasa hilang lenyap--bersembunyi dari sorotan dunia, menenggelamkan diri menyisakan gelapnya langit malam.
Kau sendiri tak beranjak. Bokongmu tetap melekat pada bangku, kedua mata tidak melepas pandang dari pohon sakura terkait--dimana ia menjadi saksi bisu pada akhir tahun. Lima tahun tidak terasa berlalu, meski begitu usia pohon membuktikan perjalanan waktu yang dilewati. Perasaanmu kepada Rio tidak pernah berubah. Dirimu selalu menanti-nantikan kepulangannya walau tidak pasti kapan. Penantian tidak berujung ini semua salahmu. Perkataan terakhir Rio kala itu bertepatan dengan bunyi tersulutnya kembang api pertama--memecah konsentrasimu dan membuatmu tidak mendengar kapan kau harus menunggunya kembali, oleh karena itu diri putuskan menunggu di tempat sama setiap tahun.
Bohong kalau kau berkata tidak menyesal menunggu, sebab nyatanya menunggu itu menyakitkan. Kau selalu pulang dengan rasa kecewa membuncah di dada, tapi lama-kelamaan dirimu terbiasa atasnya.
Hari menjadi gelap sepenuhnya. Bulan purnama naik, menemani malammu yang sepi dari atas sana. Walau langit hitam sepenuhnya, tidak ada tanda-tanda putih awan menghiasi. Bintang dapat dilihat jelas dengan mata telanjang, memancarkan sinar mungil dan berkelap-kelip memainkan cahayanya. Jam taman menyadarkanmu akan waktu. Kau membuang napasmu dalam sekali sentakan, meski hawa tidaklah sedingin musim dingin, uap putih yang kau hembuskan tetap terlihat saat malam.
Hari inipun Rio belum kembali, ya.
Semua sampah bekas makan dijadikan satu ke kantong kresek putih suoaya lebih cepat membuangnya. Kau mencoba berdiri, tetapi sebuah tangan besar menangkapmu sigap dari belakang. Tangan itu menutupi penglihatanmu, seketika jantungmu berdetak kencang. Penculikan? Bagaimana kalau kau dibius dan organmu diambil untuk dijual? Sekuat tenaga dirimu meronta-ronta, menarik tangan besar itu, berniat menyingkirkannya namun tidak ada efek karena perbedaan tenaga. Kau bahkan meneriakkan ancaman-ancaman yang terlintas di pikiran, "Lepas! Aku ini penyakitan, culik dan ambil organ orang lain saja sana! Lepas atau aku akan melaporkanmu pada pacarku! Pacarku itu tentara-"
"Lalu kau akan saling mengadu kami antar tentara?"
Sontak dirimu menarik kencang tangan besar itu. Tenaganya tidak seberat tadi, hingga kau dapat memindahkannya dengan mudah. Membalikkan badan, dirimu diharapkan pada sosok yang kau nanti-nanti kepulangannya. Rio berdiri di sana. Dengan badan tegapnya yang masih utuh. Lelaki itu banyak berubah. Rambutnya dipangkas rapi, tingginya bertambah banyak sekali sejak terakhir kalian bertemu, pundaknya semakin kokoh, posturnya benar-benar menonjolkan fisik seorang tentara yang terlatih bertahun-tahun lamanya. Hal yang tidak berubah ialah senyum dan aura hangat terpancar darinya.
Lagi-lagi perasaanmu bercampur aduk karena hal sepele. Kemunculan sang pemuda sanggup memicu jantungku melompat keluar dari dada saking girangnya. Kau melompat dari bangku, menubruk Rio, mengakibatkan kalian jatuh ke pelataran luas berlapis rumput hijau. Malam begitu sepi, tak akan ada orang yang melarang kalian melakukan apapun malam ini. Rio memeluk pinggangmu, menyandarkan kepalanya pada bahumu, membiarkan hidungnya merasakan harum aroma sampo yang dirindukan. "Tadaima, [Name]," ujar Rio melepas kelegaan rindu padamu.
"Okaeri, Rio, terima kasih sudah kembali dengan selamat," balasmu sengau. Kau begitu mempertahankan posisi nyaman, tidak sedikitpun berniat menyudahi sesi reuni kalian hingga Rio harus bertindak duluan. Penantianmu tidak berakhir sia-sia pada hari ini sebab Rio telah pulang. Musim semi tahun ini ternyata tidak lagi mengecewakanmu.
Dalam pelukan mesra kalian, Rio membuka mulutnya "[Name], terima kasih sudah menungguku, tapi aku ingin hubungan kita berhenti." Rio bersua, memaparkan keinginan pribadinya yang ditahan sekian lama demi dirimu. Bersamaan dengan berakhirnya kalimat terucap, kau mundur, kakimu seketika terlalu lemas; tidak mampu menopang bobot tubuh hingga membuatmu jatuh--duduk bersimpuh dengan raut muka yang tidak mampu dijelaskan.
Angin musim semi tiba-tiba menjalar di tubuhmu, bulu kudukmu meremang seperti disapa beku angin musim dingin. "Apa? Ri-Rio kau pasti bercanda iya 'kan?" Alismu mengerut, bibir bagian bawah digigit guna menahan gemetar yang kau alami. Senyum tertoreh, wajah tersakiti kau tampilkan untuk yang kedua kalinya di hadapan kekasihmu, "Jangan bercanda di saat seperti ini-"
"Aku tidak bercanda, [Name]." Nada bicara Rio yang terkesan datar semakin membuatmu takut. Tidak ada kebohongan dipancarkan dari kedua mata biru jernih, kau malah menangkap wibawa dan siratan tegas dari sosok Rio. Ini tidak lucu bagimu. Sejenak kau merasa terintimidasi perkataannya. Seandainya kau berhenti melawan, apakah hubungan kalian berakhir begitu saja di sini?
Dia memang tidak main-main, bagaimana mungkin?
"Tidak, tidak, kau tidak mungkin serius," bantahmu mencoba meyakinkan dirimu sendiri kau tidak mendengar apa-apa dari Rio, "Lagipula apa alasannya? Apa salahku padamu? Tidak menunggu di saat yang tepat? Aku mengecewakanmu karena salah hari dalam menunggu? Karena aku tidak pernah mencoba menghubungimu? Atau karena di Angkat Laut ada perempuan lain yang mencuri hatimu?" tanyamu menyodorkan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti.
Dirimu mulai frustrasi. Kening dipijat perlahan, mengintrospeksi kesalahan diri yang menimbulkan keputusan dari pihak sang lelaki. "Ah, aku tahu, kau pasti kecewa karena wajahku tidak bertambah cantik bahkan setelah lima tahun ya? Aku paham sekarang--tidak, tidak kau tidak perlu meminta maaf padaku kok, Rio, aku tahu ini salahku." Kau berdiri dengan kedua tangan menutupi wajah yang sepenuhnya telah memerah. Air mata dan ingusmu tidak berhenti mengalir. Itu bukan air mata kebahagiaan, melainkan cerminan hancurnya hatimu sekarang.
Memalukan kalau Rio menenangkanmu di saat seperti ini, maka kau putuskan harus pergi dari sini secepatnya sebelum isak tangismu semakin kencang; tidak mau Rio mendengarnya. Namun Rio meraih sebelah tanganmu dengan cepat, memaksamu diam berdiri di tempat tanpa bisa menolak dirinya yang menahanmu. "[Name], aku belum selesai bicara, jangan seenaknya memutuskan," titah Rio.
Semudah itu dia mengatakannya, tapi ini terlalu berat bagiku.
"Apa lagi yang mau kau katakan? Hubungan kita sudah berakhir 'kan?" cicitmu selemah anak tikus. Tidak ada tenaga padamu, kondisi fisik dan batinmu terlalu hancur; tidak memungkinkanmu membalas ucapan Rio dengan senyum kebahagiaan seperti biasanya.
"Hubungan kita berakhir sebab aku ingin memulai awal baru denganmu." Katupan jari yang rapat kau buka perlahan saat merasakan sesuatu tersematkan pada jari manismu, lalu matamu mendapati sesuatu menempel manis di sana. Rio mengenakan sebuah cincin bertahtakan permata mungil di sana, ukurannya tepat sekali di jarimu yang ramping.
Aku tidak salah lihat kan? Apa Rio melamarku?
Otakmu berhenti memperoses. Tatapanmu melebar, mempertanyakan kejadian di depan mata. Wajah penuh ingus dan banjir air mata tidak bisa lagi kau sembunyikan--terpampang jelas, dapat dilihat oleh Rio ketika kepalamu mendongak guna memandang dirinya.
"Aku tidak peduli kau akan menerimaku atau tidak, [Name], tapi aku ingin kau terus berada di sisiku." Tidak berterus terang, begitulah cara Rio menyampaikannya. Dia menggoreskan senyum di wajahnya. Suara hangat itu berubah hangat kembali di hatimu. Kau seperti dipermainkan. Rio benar-benar mengaduk-aduk perasaanmu. Pertama membuatmu senang bukan main karena kepulangannya, lalu kata-kata yang diucapkannya mematahkan sayapmu, kemudian dia menolongmu bangkit dari duniamu yang telah hancur.
Kau bungkam, bingung akan memberi jawaban seperti apa untuk lamaran mendadak dari Rio, berujung mengangguk cepat dengan dibanjiri derai air mata, "Aku tidak mungkin akan menolakmu, Rio." Limpahan rasa syukur kau panjatkan di dalam hati, mensyukuri dua berkah yang kau peroleh sekaligus di hari ini. Angin malam musim semi yang berhembus tidak lagi dingin, hangatnya sisa-sisa sinar matahari yang terbawa bisa kau rasakan di saat-saat seperti ini.
Suasananya memang sama, tapi bukan seperti malam di mana bunga kanzakura dan angin dingin menemani keberadaan kalian, justru bunga sakura serta kehangatan angin yang membungkus kalian dalam rasa bahagia dari akhir rindu sekarang.
Rio mengusap pipimu, menghapuskan jejak air mata dari paras elokmu di matanya. "Sekali lagi terima kasih, [Full Name]."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top