Bab 18

REPOOOOOOOST!

Kamu lagi, Kamu lagi

Seminggu berlalu setelah kejadian Grand City, tapi Titi masih belum bisa melupakannya. Ia masih bisa melihat senyum dan sorot mata tak berdosa Arya saat menyebut dirinya sebagai calon suami. Bahkan ia masih bisa melihat mata melotot Yaya yang berdiri di bagian belakang dari rombongan istri-isri anggota dewan yang tertarik dengan furnitur dari kayu berlapis anyaman eceng gondok.

"Oalah, gantengnya. Kalau belum punya calon istri, mau tak pek mantu kowe Mas," kata ibu berjilbab marun yang memandang Arya dengan kekaguman. Terlebih lagi saat lelaki itu menjelaskan tentang pekerjaannya. Beberapa orang bahkan tertarik untuk mencicipi hasil masakannya hingga mereka berjanji untuk mendatangi salah satu warung makannya.

Titi melirik lelaki yang tersenyum bangga saat mendapat hujan pujian diri para ibu-ibu. Bahkan ia sempat mengedipkan mata ke arahnya, membuatnya jengkel setengah mati. Bukannya tersenyum pada lelaki itu, wanita yang mulai jengah mendengar pujian demi pujian itu mengiring beberapa orang untuk melihat meja dan kursi yang sengaja di pajang disana.

Yang membuatnya terkejut saat itu adalah Arya yang terlihat menjelaskan satu kotak yang ada di tangannya. Sayup-sayup telinganya mendengar lelaki itu menceritakan tentang pengalamannya mendapatkan kotak plangkahan buatan Titi yang membuat semua keluarganya terharu.

Tanpa sadar matanya tak bisa lepas dari lelaki yang terlihat mendengarkan seorang ibu dengan seksama. Bahkan ia melihat senyum Arya berubah manis bukan menjengkelkan seperti biasanya. Hingga mata lelaki itu mendapatinya memandang tepat kearahnya.

Titi mengetok kepalanya beberapa kali saat bayangan senyum Arya terlihat jelas di pelupuk matanya. Penyesalan itu masih terasa di hatinya. "Aku memang semengagumkan itu, kok." Kata-kata penuh pujian untuk dirinya sendiri masih bisa ia dengar dengan jelas. Wanita yang masih memakai piyama itu mengetahui bahwa Arya adalah lelaki yang terkadang usil, tapi ia baru mengetahui tingkat narsis kakak lelaki Meme itu sudah pada level mengkhawatirkan.

Ia melangkah memasuki kamar mandi dan bersiap untuk mengikuti rapat keluarga membahas tentang pernikahan Iras yang akan berlangsung empat bulan lagi. Rumah Laras-calon istri Iras-yang berada tepat di depan rumah keluarga mereka memudahkan proses persiapan pernikahan yang rencananya akan dilaksanakan di rumah. Karena rumah calon mertua Iras sedang dalam perbaikan, maka rapat dipindahkan ke rumah mereka.

"Mau di rias Budhe Lastri, enggak, Mas?" Titi mengingat pertanyaan ibunya semalam saat usai makan malam.

Wanita itu melirik Iras yang terlihat menimbang sesuatu, ia berdoa semoga saja Laras sudah memiliki pilihan perias. Namun sayang doanya tidak terkabul saat suara kakaknya terdengar, "Iras tanyakan Laras dulu, Bu. Sepertinya dia belum sreg sama perias pilihan mamanya. Nanti aku tanyakan dulu."

Jantung Titi terasa berhenti saat mendengar jawaban itu. Dengan segera ingatannya menuju ke kejadian setahun yang lalu, suara budhenya, teguran yang selalu ia dapatkan hingga bayangan bunga kantil yang mewarnai pembatalan pernikahannya bisa ia lihat dengan jelas saat ini.

"Mbak, cepetan turun!" panggil Indra dari luar pintu kamar menyadarkannya dari lamunan tentang wanita yang sepertinya selalu berhasil mendapatkan kesalahannya.

"Iya, bentar lagi aku turun."

Ia bukan berubah menjadi perempuan yang menolak segala bentuk komitmen atau bahkan sebuah pernikahan. Sutau hari ia akan menikah, nanti, di saat hatinya sudah sepenuhnya berdamai dengan semuanya. Saat hatinya sudah tidak terbakar amarah setiap kali wajah kedua orang tersebut melintas di pikirannya.

Titi melihat beberapa saudara yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumah mereka ada di antara wajah-wajah asing yang belum pernah dia lihat. Ia mengenal beberapa orang yang pernah menjadi panitia pernikahannya tahun lalu dan sekarang mereka datang kembali untuk membantu.

Dari semua wajah yang dikenalnya, ada satu orang yang terlihat mencolok disana. Dengan senyum jail tertuju tepat ke arahnya, membuatnya harus membuang muka karena tidak mau orang itu melihat rona di pipinya.

"Dek, kamu temenin Ardya, ya. Enggak kenal siapa-siapa dia." Sebelum bibirnya sempat protes, kakak lelakinya sudah menghilang entah kemana. Meninggalkannya di bawah tangga dengan mata lotot dan bibir terbuka. karena tidak punya pilihan selain menuruti keinginan Iras, Titi pun berbalik menuju tempat di mana lelaki itu berada.

"Hai, Sayang," sapa lelaki yang mendapat hadiah pukulan di lengan kanannya itu dengan riang. "Kalau kangen, tuh, bilang. Enggak perlu alasan mukul segala, lah." Titi berusaha untuk tidak menjawab lelaki yang masih saja mengoceh di sebelahnya sambil berusaha menahan senyum di bibir.

Satu persatu mereka membahas rencana yang sudah dibicarakan sebelumnya. Mulai dari hal kecil seperti pengaturan parkir hingga masalah konsumsi. Kedua orang tua Laras seperti layaknya semua orang yang hendak menikahkan anak mereka, menginginkan yang terbaik dan paling sempurna hingga detail terkecil.

Semua orang mendapatkan tugas termasuk lelaki yang membuatnya sebal. Lelaki yang terkadang sengaja memancingnya untuk tertawa dengan semua rayuan gombalnya. "Ardya dan Titi, bisa, kan?"

Merasa namanya disebut, keduanya saling pandang dengan tanya sebelum melihat ke depan. Di mana mereka melihat Iras melotot menunggu jawaban mereka berdua. Meski tidak tahu apa yang akan menjadi tugas yang harus dilaksanakan, kedua sepakat untuk menyetujui apapun tugas tersebut.

"Kamu, sih!"

Titi yang merasa tidak melakukan kesalahan, melotot ke arah lelaki yang pura-pura menunduk ke arahnya. "Kok aku! Kan Mas Arya yang disebut Mas Iras duluan. Jangan nyalahin orang dong!" bisik Titi.

"Kamu yang salah. Siapa suruh punya wajah cantik seperti itu, aku jadi enggak bisa konsentrasi dengerin Iras ngoceh dari tadi."

Semenjak pertama kali ia bertabrakan dengan Arya-di dalam hatinya-ia tahu akan mendapatkan masalah jika bertemu dengan lelaki itu kembali. Namun ia tak menyangka masalah yang akan di hadapinya sebesar ini. Mulut manis si bujang lapuk yang tak bisa berhenti menggangunya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

Melihat kesibukan simbok, ia berdiri dan meninggalkan Arya sendiri. Ia lebih memilih membantu simbok dari pada membahayakan kesehatan jantungnya. Karena saat ini Titi belum sanggup untuk memandang lelaki tersebut.

"Adek ngapain disini, sana!" usir simbok saat melihatnya memasuki area dapur sambil menggulung lengan kemeja yang dia pakai.

"Aku mau bantu, lah! Masa iya mau mandi," jawabnya asal sebelum melangkah menuju lemari es untuk mengambil minum. "Lagian bosen di luar, semuanya hampir sama seperti tahun kemarin, kan."

"Lho ... cah bagus, kok lama enggak ke sini?" teriakan Simbok membuat air putih yang belum sepenuhnya tertelan keluar lewat hidung. Titi terbatuk hingga mata dan wajahnya memerah. Tepukan lembut di punggung membantunya bisa bernafas lega. Namun saat melihat siapa yang berdiri di belakangnya, batuk itu kembali datang. Sedangkan lelaki yang menjadi sumber malapetaka terbahak-bahak melihatnya.

"Hey, jantung. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Titi dalam hati. Karena lelaki yang masih setia berdiri di dekatnya saat ini dengan santai melingkarkan tangan di sekeliling pundak Titi.  Memandangnya dengan lembut dan membuat kakinya lemas.

Lemas kaki Adek, Maaaass
Hadeeehh ... Dag dig dug hatikuh
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top