Bab 17
Misi Baru
Menjadi kakak dan terkadang menjadi ayah bagi ketiga adik perempuannya bukan sesuatu yang mudah. Terkadang ia merasa umurnya lebih tua dibanding mereka yang sebaya dengannya. Bahkan memikirkan kesejahteraan mereka bertiga membuatnya berubah menjadi lelaki yang nyinyir. Terkadang membuat ketiga adiknya jengkel karena nasehat yang selalu diucapkannya berulang kali. Meski Arya tahu tak ada satupun yang melanggar perintahnya selama ini.
Setiap kali mereka meminta ijin untuk keluar bersama teman-teman mereka, pikiran di kepalanya seakan berlarian kemana-mana. Semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi terlintas di kepalanya. Mulai mereka digoda pemuda usil sampai menjadi korban perkosaan. Karena itulah dia selalu berpesan untuk mengirim pesan saat sampai di tempat. Sebelum perjalanan pulang pun mereka wajib untuk mengirim pesan.
Semua berubah saat ada pemuda yang meminta ijin untuk mendekati salah satu adiknya. Arya berubah menjadi semakin menjengkelkan dengan semua aturan yang terkadang tidak masuk akal sehat. Seperti harus mengirim pesan setiap lima belas menit saat mereka pergi berdua bersama pemuda itu. Bukan hanya pesan, tapi harus dilengkapi dengan bukti foto.
Dian, adik nomer satunya yang mengalami siksaan batin itu untuk pertama kalinya. Membuat Arya menjadi musuh nomer satu bagi ketiga adiknya. Semua pemuda yang ingin mendekati salah satu adiknya harus melewati berbagai test termasuk uji coba memasak.
Arya tersenyum saat mengingat betapa cepat waktu berjalan. Satu persatu kenangan bersama ketiga adiknya mengisi ruang ingatannya. Setiap senyum, tangis dan juga teriakan di antara mereka bertiga membuatnya merindukan kehadiran mereka .
Arya seperti mengalami empty nest syndrome saat ini. Duduk sendiri di ruang makan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Selama ini semua waktu yang ia punya di dedikasikan untuk Ibu dan ketiga adiknya, tapi saat semua sudah bisa menemukan jalan mereka masing-masing, tinggallah ia sendiri dalam kesendirian.
Seminggu setelah pernikahan Meme, ibu mereka pergi ke rumah Caca yang akan segera melahirkan dan menginginkan kehadiran ibunya disetiap proses. Meski rumahnya masih dalam satu kota, jarak yang terbentang tetap tidak bisa membuatnya bertemu dengannya setiap hari. berbeda dengan Meme yang tinggal tak jauh darinya saat ini. Karena, Adit, suami Meme merupakan tetangga sendiri yang hanya berjarak beberapa rumah.
Pekerjaan sudah selesai, semua anak buahnya sudah bisa mengatur pekerjaan mereka dan membuatnya hanya perlu untuk mengecek sesekali. Namun bagi Control freak sepertinya tidak bisa dengan legowo melepas tanggung jawab seperti itu begitu saja.
Gelas kopi di hadapannya sudah dingin sejak satu jam yang lalu, namun sampai saat ini Arya belum mendapatkan alasan untuk berdiri dari duduknya. lelaki itu mengedarkan pandangan dan menatap satu-persatu foto yang terpasang di dinding. Mulai dari foto wisuda hingga kelahiran keponakannya.
Dia menikmati melihat kehidupan ketiga adiknya berjalan lancar, sedangkan kehidupannya sendiri seolah berhenti di tempat semenjak Ayah mereka meninggal dunia. Seuatu yang tak bisa dia lakukan hingga saat ini, memikirkan diri sendiri.
Kosong enggak hari ini?
Iras
Sorry, calon bini ada di Surabaya
Arya tidak mempunyai banyak teman yang bertahan hingga saat ini, kecuali Iras. Namun sayangnya, lelaki itupun akan segera melepas masa lajangnya. Membuatnya kembali memikirkan tentang diri sendiri. Bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Now, what? Tanyanya dalam hati.
Arya merasa harus berdiri dan bergerak sebelum berubah gila karena tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Ponsel di sakunya bergetar begitu dia menegakkan badan. Nomer yang tak pernah ia duga akan meneleponnya. Senyum terkembang saat ia menggeser tanda hijau di layar ponselnya.
"Mas, urgent! Bisa kirim makan siang kira-kira dua puluh pax untuk hari ini, paling lambat jam satu sudah sampai di Grand City. Bisa, ya!"
Arya tersenyum geli membayangkan gadis dengan bibir atas terlihat bengkak—orang Jawa bilang, njedir—itu mondar mandir kebingungan. Perjalanan ke Taman Safari beberapa hari yang lalu membuatnya semakin mengenal adik sahabatnya tersebut. Setiap hal kecil yang Titi lakukan membuatnya semakin menarik di matanya.
Ia tahu saat dia kebingungan atau gugup pasti akan akan menggigit bibir bawahnya. Saat dia marah, diam menjadi pilihannya. Berbeda jika dia dalam keadaan lapar, gadis manis itu akan berubah semakin cerewet.
"Mas!"
"Apa, sih, Dek?"
"Bisa, enggak?"
Arya menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan semuanya. Meski masalah nasi dan lauk masih bisa diatasi, tapi untuk pelengkap, ia memerlukan waktu untuk menyiapkannya. Membayangkan mengecewakan gadis manis itu membuatnya tak tega untuk menolaknya.
"Iya, iya. Grancy sebelah mana?"
"Mas Ar yang kirim, ya! Jangan orang lain, please."
Arya terdiam saat mendengar suara Titi yang terdengar manja dan berbeda. Gadis itu terkadang ketus padanya. Ada saatnya terdengar kaku dan resmi, tapi tidak manja. Manja bukan sikap Titi kepadanya selama ini. Membuatnya penasaran apa yang telah terjadi padanya.
"Iya. Kirim detail pesanannya, Dek. Maksimal jam satu, kan, ya?"
"Jangan panggil Dek, dong, Mas!"
"Ya wis, kalau gitu diganti. Kirim detail alamatnya ya, Sayang," jawab Arya dengan penekanan di kata Sayang.
"Arya Kamandanu, kamu nyebelin banget!" Sebelum ia sempat menjawabnya, Titi telah memutuskan sambungan telepon. Lelaki yang beberapa saat terlihat bingung hendak melakukan apa, saat ini tertawa terbahak-bahak sendiri.
Ia pun mulai menyiapkan pesanan dadakan itu dengan senyum lebar memenuhi wajah. Bahkan notifikasi pesan yang masuk pun tak lelaki itu indahkan, karena ia tahu siapa yang mengirimnya pesan hingga berkali-kali. Bibirnya melengkung membayangkan wajah panik Titi yang tidak mendapati pesan balasan darinya. Karena saat ini, ia terlalu bersemangat membayangkan bertemu dengan Titi lagi.
Sepuluh menit sebelum pukul satu, Arya memasuki hall yang digunakan untuk pameran industri di Grand City. Dengan kedua tangan penuh dengan kotak makan pesanan Titi, ia menuju booth sesuai instruksi wanita itu. Dari kejauhan, ia bisa melihat rambut panjang yang dikucir itu terlihat berantakan di depan booth bertuliskan cenggo.co.id.
"Yang," panggil Arya saat jarak mereka hanya tinggal lima langkah dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Sedangkan wanita yang dipanggil, memandangnya dengan sorot mata membunuh siap membelah lelaki itu menjadi sepuluh bagian. "Jangan galak-galak sama calon suami, ini taruh di mana?"
Seolah tidak ada wanita yang siap membunuhnya, lelaki itu melangkah memasuki booth dan meletakkan tumpukan kardus makan di bagian pojok belakang. Dari sudut mata, ia melihat salah satu kotak hampers seperti yang Titi buat untuknya. Bibirnya melengkung mengingat saat ia membantu wanita itu memilih semua isi kotak itu tanpa mengetahui itu semua untuk dirinya.
"Ngapain senyum-senyum! Enggak jelas!"
"Ternyata waktu itu aku milih barang untuk diriku sendiri ya. Kalau di ingat lagi, rasanya seperti belanja sama istri gitu," jawab Arya ke arah Titi yang berkacak pinggang. Lelaki yang memakai salah satu kemeja pilihan Titi waktu itu merasa bahagia. Karena ia menemukan jawaban dari pertanyaannya beberapa saat yang lalu.
Tanpa mengatakan apa-apa, Titi meninggalkannya sendiri saat mendengar suara beberapa orang berkumpul di depan booth. Keningnya mengernyit saatmengenali salah satu dari mereka, gadis perias Meme. Dengan langkah cepat, ia mengikuti langkah Titi yang sudah berada di depan mereka.
"Oalah, ini to suaminya Mbak Kanthi?" tanya wanita dengan bulu mata panjang membuat Arya ngeri melihatnya. Titi melotot ke arah Arya, saat ia mengetahui siapa yang wanita itu maksud.
Lelaki itu bersyukur hari ini tampil dengan rapi. Dilihat dari penampilan ibu-ibu sosialita yang memandangnya dengan sorot ingin tahu ini adalah calon potensial bagi usaha Titi. Segera saja ia memasang senyum paling ramah dan mengulurkan tangan, "Saya Ardya, Bu. Calon suami Titi."
REPOOOOOOOOST!
Jangan bosan baca rayuan garing Mas CEO, ya.
Stok rayuan dia ada segudang, maklum bujang lapuk
happy reading guys
Semangat hari senin
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top