Bab 10
Makan Siang yang Tertunda
Setelah menundanya selama beberapa hari, akhirnya Titi menerima undangan makan siang dari sahabat kakaknya. lelaki yang membuatnya merasa tidak nyaman karena senyumnya yang menggetarkan sesuatu di dalam dadanya. Wanita itu tidak mau mengakui bahwa ia tertarik pada lelaki yang terkadang usil dan membuatnya jengkel itu.
Titi merasa seperti munafik yang baru beberapa bulan lalu mengatakan tidak akan tertarik pada lelaki manapun. Karena buatnya lelaki itu penuh dengan kebohongan, bermulut manis dan tidak bisa menahan reslitingnya.
Namun apa yang saat ini dilakukannya, mengatur nafas sebelum turun menghadapi lelaki yang menantinya di tempat pertama kali mereka bertemu. Di depan warung tak jauh dari Universitas Surabaya. Warung makan sederhana yang selalu terlihat penuh itu menjadi tempat yang menyimpan kenangan bagi mereka berdua.
Meski apa yang ada di ingatan Titi saat ini adalah hal memalukan karena ketidakmampuan perutnya untuk menahan lapar, ia merasa ada dorongan untuk menerima ajakan makan siang tesebut. Dia memandang lelaki yang menunggunya dengan sabar. Setelah beberapa menit yang lalu dia meminta Arya untuk tidak mendekat, dengan alasan ada sesuatu yang harus dikerjakannya sebelum turun menghadapi lelaki itu.
Diluar dugaan, Arya bukan masuk dan meninggalkan Titi menyelesaikan urusannya. Namun dia berdiri di depan menanti wanita itu siap dan turun. Meski saat ini ia tak tahu kapan hatinya siap menemui lelaki yang saat ini tersenyum ke arahnya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Titi berhasil mengumpulkan keberaniannya dan turun menghadapi lelaki dengan senyum kemenangan kearahnya. Topi yang dipakainya membuat penampilannya tidak terlihat seperti lelaki berumur. Titi mengakui bahwa lelaki itu memiliki pesona yang sangat sulit untuk diabaikan begitu saja.
“Hai, silahkan.”
Titi melirik Arya yang mempersilahkan dia untuk memasuki warung yang beraroma sedap itu. Matanya mengelilingi semua tempat yang terlihat rapi dan bersih. Matanya tertuju pada jajaran lauk di balik lemari kaca yang menggoda selera. Arya mengikutinya dalam jarak aman sambil menyebutkan satu persatu menu yang ditunjuk Titi saat ini.
“Mas yang masak semuanya?” pertanyaan Titi seolah tidak percaya lelaki itu bisa melakukan sesuatu yang ia tak bisa lakukan sama sekali. Karena memasak tidak pernah menjadi keahliannya. Baginya memasakan memerlukankeahlian tingkat tinggi yang ia tidak punya.
Dia menanyakan dengan raut wajah kagum kearah Arya yang tersenyum pongah kearahnya. Membuatnya menyesal telah menanyakan dan terlihat kagum kepada lelaki itu.
“Berdua sama Ibu. Ibu juga yang ngajarin masak semua itu,” jawab Arya.
Titi duduk di tempat yang Arya persilahkan, sudah tersedia es teh yang terlihat menyegarkan dan juga piring seng yang berisi kacang rebus terlihat menggoda selera. Titi tersenyum meraih dua buah kacang yang terlihat padat dengan tiga bisi yang terlihat enak dimakan.
“Emang eggak rugi kasih kacang rebus begini, Mas?”
Meski terlihat tidak sopan, rasa penasaran wanita itu membuatnya melupakan semua pelajaran tentang sopan santun. Ia melirik lelaki yang belum memalingkan pandangan darinya semenjak ia turun dari mobil dan berjalan menuju tempat lelaki itu berdiri menunggunya.
Arya pun mengambil kacang dan memakannya. “Enggak setiap hari, kalau pas panen aja.” Titi mendengar jawaban itu dengan diam, menanti kalimat lanjutan. Namun hingga beberapa menit mereka berdua terdiam dengan pikiran masing-masing, Titi merasa mulai tidak sabar menanti jawaban yang sepertinya tidak akan datang dalam waktu dekat.
Titi mengusap tangannya lalu berdiri, “Kalau enggak ada yang mau diomongin, aku pamit ya Mas. Salam untuk tante.”
Ia tersentak saat Arya menahan langkahnya, lalu mengajaknya untuk mengikutinya berjalan keluar. Warung ini berada di pinggir taman lingkungan yang dikelilingi dengan beberapa pohon tinggi dengan dedaunan yang menaungi kursi beton yang sengaja diletakkan di bawahnya.
Titi mengikuti Arya duduk di salah satu kursi itu. ia menerima uluran selembar foto yang baru pertama kali dilihatnya. Keningnya berkerut saat mendapati ada dirinya di foto yang terlihat usang itu.
Dia dengan celana pendek dan kaos warna pink duduk di atas pundak seorang pemuda yang juga tersenyum ke arah kamera. Ia mencoba menggali ingatan tentang hari itu, dia ingat simbok memasak ikan bakar, sambel bajak dan juga beberapa tumis yang menjadi menu wajib setiap kali mereka makan bersama.
“Kita piknik dibawah pohon mangga. Aku ingat ikan gurame bakar yang simbok buat harumnya menguar memenuhi rumah. Sambal bajak simbok yang juara ada disana …”
“Kenapa yang kamu ingat tentang makanan sih!” Titi melotot kearah lelaki yang memandangnya dengan geli saat ini.
“Aku mencoba untuk inget-inget hari itu. terserah aku dong mau inget ikan bakarnya atau orang yang ikut makan bersama atau bahkan warna baju yang aku pakai.” Jawab Titi sengit.
Suara tawa lelaki itu membuatnya terdiam saat ini. ada rasa nyaman yang dirasakan saat suara tawa itu memasuki telinganya. Ada rasa familiar yang tiba-tiba dirasakannya. Seolah suara tawa itu pernah menjadi bagian dari hidupnya di satu masa.
Titi memandang foto di tangannya kembali, matanya tertuju pada lelaki yang memanggulnya. Senyum di wajahnya terlihat tidak asing baginya. Saat dia menoleh kearah Arya, barulah dia sadar bahwa perjalanan hidup mereka pernah bersinggungan di masa lalu meski ia tidak mengingatnya.
“Ini Mas Ardya?”
Lelaki itu mengangguk membenarkan pertanyaan yang Titi lontarkan. Ia merasa bersalah tidak bisa mengingat tentang hari itu. Namun dia tahu, semua orang dalam foto itu tertawa bahagia. Termasuk Indra yang juga duduk diatas pundak Iras.
Semua orang terkadang salah membedakan ia dan Indra, jarak keduanya hanya dua tahun. Membuat mereka terkadang terlihat seperti anak kembar. Didukung oleh keenganan Titi untuk terlihat seperti anak perempuan pada umumnya. Dia lebih memilih mengunakan celana pendek seprerti Indra.
“Kamu sama Indra bedanya dikit ya, enggak seperti kamu sama Iras.”
“Aku sama Mas Iras berbeda sembilan tahun, sama Indra hanya beda dua tahun. Kadang orang yang enggak tahu ngiranya aku sama Indra kembar.”
Ia tertawa santai bersama Arya dibawah pohon trembesi yang berada tak jauh dari warungnya yang terlihat mulali lengang. Dari kejauhan, Titi melihat sesekali anak buah lelaki itu melihatnya. seolah mereka sedang dalam pengawasan.
Mereka berdua saling bertukar cerita dan menyamakannya. Bahkan Titi dibuat heran saat mendapati bahwa Arya telah menjadi bagian dari keluarganya semenjak dulu. Meski beberapa tahun belakangan lelaki itu hampir tak pernah berkunjung ke rumahnya lagi.
“Semenjak Iras kerja dan aku sibuk dengan semuanya, enggak pernah main kesana lagi. Sebenarnya sungkan juga sih, padahal dulu rumah kamu jadi basecamp anak-anak.”
Titi mengingat Iras sering pulang bersama teman-temannya. Membuat halaman belakang rame dengan mereka semua, bahkan terkadang membuatnya terganggu saat sibuk mencorat coret kertas gambar.
“Pantai atau gunung?”
Tiba-tiba ia ingin mengenal tentang sosok sahabat kakaknya yang duduk di sebelahnya dengan senyum terpatri di bibirnya saat ini.
“Gunung. Kamu?”
“Pantai,” jawab Titi tanpa mengalihkan pandangan dari satu titik di tengah lapangan. Entah apa yang dilihatnya saat ini, ia hanya menghindari tatapan Arya yang tak lepas darinya semenjak mereka duduk.
“Pedas atau enggak?” tanya Arya.
“Enggak pedas, maag bermasalah sejak SMA. Aku tebak Mas Ardya suka pedas, ya?” Dari sudut matanya, ia melihat lelaki itu mengangguk. “Baca atau nonton?”
“Nonton. Kamu pasti suka baca, ya, kan?” tanya Arya lagi yang Titi jawab dengan kedikkan bahu. “Ngemall atau rumah?”
“Rumah.” Selama ini ia lebih senang menghabiskan waktu di rumah dari pada menghabiskan waktu jalan keliling Mall. Ia lebih memilih untuk menghabiskan wakru berada di tempat yang membuatnya nyaman dan aman
“Alhamdulillah. Kalau malam minggu kita di rumah aja, ya.”
“Hhmm … eh, apa?!” jawab Titi saat sadar lagi-lagi lelaki itu menjebak dengan pertanyaannya.
Gunung atau pantai?
Kalau aku lebih seneng pantai meski enggak berani terlalu dekat dengan bibir pantai.
😂😂😂
Tanda-tanda butuh piknik ini
Happy reading, ya
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top