Harga diri

"Aku merasa dia benar-benar gila."

"Kau juga berpikir begitu?"

"Ya! Aneh kalau aku tidak bilang Kang Banyu gila. Sekarang coba pikirkan, untuk apa dia menyakiti istrinya sendiri disaat kita semua bisa melihat bahwa dia mencintai Senja?"

"Jangan lupa, tujuan Kang Banyu menikahi Senja adalah untuk balas dendam."

"Kamu percaya dengan alibi semacam itu?"

"Awalnya memang begitukan? Jadi aku percaya bahwa tujuan Kang Banyu menikahi Senja hanya untuk balas dendam, tapi kalau akhirnya dia jatuh hati, semua itu benar-benar diluar kendali."

Wastu tersenyum lebar. "Untung saja aku bisa mendapatkan obat untuk Senja. Kalau tidak, Senja akan benar-benar tersiksa. Dan Kang Banyu pasti menyesal meski keliatannya tidak akan begitu. Kuperingatkan kau, Darma. Jangan katakan apa pun tentang obat yang kuberikan pada Senja sekalipun kau diancam."

"Aku sangat takjub dengan kesetiaan Darma. Bisa-bisanya dia menuruti kemauan Kang Banyu untuk melukai seseorang. Membunuh nyamuk saja aku tidak mau."

"Kalian berdua bisa tutup mulut?"

Wastu dan Dahayu memasang tampang kesal saat melihat Darma yang tak merasa bersalah sama sekali. Meski berbeda ibu, mereka bertiga tetap menganggap Banyu sebagai kakak kandung, bukan kakak tiri yang harus dimusuhi. Selama ini hanya Banyu yang memenuhi kebutuhan mereka dari kecil. Sudah sepantasnya jika Wastu, Dahayu dan Darma setia pada Banyu.

Sama seperti Darma, Banyu pun sama sekali tidak merasa bersalah karena telah melukai Senja. Sesaat setelah kejadian malam lalu. Banyu membawa Senja ke rumah milik Wastu. Adik tirinya itu memiliki beberapa kediaman yang tersembunyi dan tidak bisa ditemukan oleh pemerintahan Mataram sebagai kediaman pribadi.

Wastu memang sukses dalam mengelola bisnisnya di beberapa daerah, harta kekayaannya bahkan tidak bisa dihitung untuk sekarang. Secara singkat Wastu menjadi pemuda paling sukses di antara pemuda-pemuda Mataram pada umumnya. Dengan kekayaan dan kesuksesan sebesar itu, Wastu tentu saja memiliki beberapa sisi terkelam yang kebetulan bisa dimanfaatkan oleh Banyu sebagai cara untuk membalaskan dendam. Wastu pun setuju, baginya Ambarsari adalah ibu kandung. Tidak ada yang boleh menyakiti nama baik mendiang. Dahayu dan Darma pun sama. Mereka semua berharap bisa membersihkan nama baik ibu sambungnya.

Bukan Wastu tidak tau niat Banyu yang sebenarnya. Selama ini dia telah membayar mata-mata untuk melindungi dan mengawasi Banyu. Dahayu pun turun tangan. Mereka hanya pura-pura bodoh serta menurut selagi apa yang dikerjakan Banyu tidak menyeret nyawanya ke dalam lubang kubur. Kini keadaan justru diluar kendali. Dia hanya berusaha membantu sebisa mungkin untuk membalas semua kebaikan laki-laki itu. Banyu mungkin terlihat serampangan, tapi Wastu benar-benar mengenal sifat dasar kakaknya. Dia tidak akan melukai seseorang yang tidak bersalah. Tidak akan mempermainkan wanita atau memanfaatkan kekuasaan.

Tetapi semenjak Banyu menikahi Senja. Wastu meragukan penilaiannya terhadap Banyu. Begitu juga Dahayu, mereka berdua tidak bisa memahami apa niatan tersembunyi Banyu menikahi Senja meski mereka tau kakaknya sedang jatuh cinta pada perempuan yang tidak seharusnya merebut hatinya. Sedangkan Darma, dia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Tidak mungkin menolak permintaan Banyu sekali pun permintaan itu untuk melukai seseorang.

"Aku akan masuk untuk memberitau sesuatu pada Kang Banyu," ucap Dahayu yang langkahnya langsung dihadang Darma.

"Nanti saja."

"Tidak. Aku harus katakan sekarang."

"Aku bilang nanti."

"Memangnya kau siapa?"

"Heh, heh, sudah. Jangan ribut. Kepalaku bisa pecah. Kalian mau Kang Banyu keluar sambil membawa parang? Biarkan dia merawat istrinya. Lebih baik kita semua pergi dari sini."

Dahayu lebih dulu meninggalkan tempatnya berdiri, diikuti Darma dan Wastu. Di balik pintu kamar itu, Banyu tengah duduk untuk mencermati butiran keringat menghiasi kening Senja seperti mutiara yang berkilauan terkena sinar matahari. Dia tidak tuli, dia bisa mendengar semua ucapan ketiga adik tirinya itu, tapi Banyu lebih tau tentang apa yang dia rasakan kini. Meski begitu, dia akan tetap fokus pada tujuannya.

Ada sesuatu yang membuat Banyu yakin, jika Senja menderita, maka dia bisa memukul mundur Gajah Wong untuk memaksanya menempati posisi menjadi Raja. Sejak awal baik Senja atau tahta adalah milik Abimanyu. Apa yang awalnya telah ditakdirkan menjadi milik Abimanyu, seharusnya kembali ke dia, kecuali Senja, itu pun jika memungkinkan.

"Abimanyu akan menjadi raja. Bagaimana pun ramalan itu benar, tapi sayangnya kau melahirkan anak kembar. Tidak ada dua raja dalam satu istana, Sekartaji. Meski Permaisuri gagal melahirkan anak laki-laki, posisimu pun sama saja berbahayanya."

"Tapi dia masih anak-anak. Apa kau pikir Permaisuri akan tinggal diam? Aku yakin dia telah mendengar ramalan itu."

"Untuk sementara, kita tukar Abimanyu dengan Banyu. Aku akan atur bagaimana Abimanyu bisa keluar dari istana. Jika kali ini Permaisuri melahirkan anak perempuan, Sultan sudah pasti murka, jika begitu, Permaisuri pasti akan mengirim orang-orang untuk membunuhmu dan Abimanyu."

"Tidak! Aku tidak akan membuat Banyu dalam bahaya demi melindungi adiknya."

"Sekar. Mengertilah. Berapa pun kerasnya kau berjuang. Kau tidak punya kuasa atas anak-anakmu."

"Tidak, Nyi. Aku akan melindungi kedua anak-anakku bagaimana pun caranya."

Banyu mendengar semua percakapan itu. Dia bisa mengetahui bahwa dari awal tidak ada yang menginginkannya hadir di dunia ini kecuali ibunya sendiri. Kelahiran anak kembar bukanlah sesuatu yang baik. Meski begitu Banyu tidak sakit hati terhadap orang-orang yang telah mencoba membuatnya sebagai tumbal untuk melindungi Abimanyu. Dia menyayangi Abimanyu seperti dia menyayangi dirinya sendiri. Jika waktu dapat diulang kembali, dia akan tetap mengambil langkah yang sama. Membiarkan dirinya menjadi tumbal untuk melindungi Abimanyu.

Sayangnya semua yang dikatakan orang-orang itu benar. Sekartaji tidak bisa melindungi kedua anaknya, dan bukan Banyu yang dijadikan tumbal. Nasib telah merubah takdir. Sebelum sempat Abimanyu bisa dikeluarkan dari istana, Sekartaji telah mati terbunuh di depan mata anak-anaknya sendiri.

Saat pikirannya larut ke berbagai momen-momen terpahit dalam hidupnya. Kedua kelopak mata Senja terbuka. Hal pertama yang dia lihat adalah Banyu yang duduk di samping ranjang dengan pandangan yang mengunci perhatiannya. Ketakutan itu mendadak datang berduyun-duyun seperti gelombang yang menyesakkan. Dia bergerak, tapi seketika rasa nyeri yang hebat membuatnya berhenti.

"Bagaimana rasanya?"

Pertanyaan Banyu membuat Senja tertegun. Seharusnya dia yang bertanya, apa laki-laki itu baik-baik saja? Ingatan Senja berhenti saat dia melihat seseorang hendak menghunuskan anak-anak panah pada Banyu.

Senja ingin bersuara tapi kehilangan daya. Sudah berapa lama dia tertidur? Tenggorokannya kering.

Seperti mengerti apa yang dirasakan Senja, Banyu mengambil air putih yang dia taruh pada wadah bekas tuak miliknya. Bukan dia tidak tau, tapi dia memang sengaja melakukannya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Banyu sekali lagi sambil berusaha membantu Senja untuk minum. Perempuan itu sempat mengerutkan kening karena aroma tuak yang menyebar, pandangannya bertanya, tapi kemudian dia minum sedikit demi sedikit.

"Rasa pahit dari tuak akan membuatmu paham bahwa hidup ini akan sangat menyiksa jika kau terus berlaga kuat."

Banyu memamerkan senyumannya, dia meletakan gelas itu di atas meja lalu kembali memperhatikan Senja. "Bagaimana rasanya, Senja? Apa begitu menyakitkan?"

"Apa Mas Banyu baik-baik saja?" tanya Senja balik dengan susah payah, karena setiap dia bersuara, rasa perih pada lukanya seperti bertambah berkali-kali lipat.

"Ya, saya tidak pernah merasa lebih baik daripada hari ini," ucapnya sambil merapikan anak-anak rambut milik Senja.

"Kita di mana?"

"Kediaman Wastu."

"Apa kita berhasil kabur?"

"Saya akan mengembalikanmu pada Abimanyu."

Senja menggeleng lemah. Perempuan itu menggenggam tangan Banyu seperti anak kecil yang tidak ingin kehilangan ibunya.

"Saya percaya Mas Banyu."

"Percaya?"

Senja mengangguk. "Saya percaya Mas Banyu. Saya lebih percaya Mas Banyu daripada Abimanyu."

Senyum Banyu meluntur dan alisnya meruncing seperti pedang. Dia tau kalau Senja memang lugu, tapi dengan berkata seperti itu tampaknya Senja bukanlah Senja yang dia kenal dulu. Ada yang berubah dari dalam diri perempuan itu. Dia bisa merasakannya.

❤️❤️❤️

Maaf ya telat update. Semoga kalian suka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top