4. Outing

"Capek, ya?" tanyaku saat melihat tangan mungil Dean sibuk menyeka keringat di dahinya. Aku mengulurkan satu botol minum air putih pada Dean. "Habis ini petik buah, yuk?"

Sedari sampai di perkebunan, Dean langsung sibuk dengan cangkul kecil dan beberapa tanaman stroberi di sebelahnya. Meski tangannya mungil, bocah itu gesit melubangi tanah dan memindahkan bibit-bibit stroberi dari polybag ke lahan luas yang sudah dilapisi plastik mulsa. Bocah itu bahkan mengabaikan Amira dan Riski yang sedari tadi menarik-narik lengannya, terlalu asyik dengan kegiatan bertanam.

Aku hanya menyaksikan dari jauh. Selama tidak ada yang bertengkar dan masih berada di jarak pandang, aku tidak perlu terlalu turun tangan. Kadang-kadang, anak-anak harus dibiarkan menikmati dunia mereka sendiri. Memang masanya mereka mencari kesenangan dan menikmati hal-hal baru yang belum pernah mereka coba sebelumnya.

Saat Dean kesulitan menyobek polybag di tanaman stroberinya, aku buru-buru mengambil ponsel. Teringat kembali dengan pesan Pak Brian saat mengantar jagoan kecilnya tadi.

"Kalau boleh, saya minta kabarnya berkala ya, Bu Nayla. Soalnya tidak yakin Dean mau membalas chat saya." Begitu katanya. Karena memang, sejak menginjakkan kaki di sekolah, Dean sama sekali tidak melirik pada papanya. Malah asyik berlari-larian dengan Amira dan Riski.

Aku lebih dari yakin dia tengah merajuk karena papanya tidak jadi turut serta di acara sekolah.

Nayla Sekar

*send a picture*

Mungkin Pak Brian perlu menyiapkan kebun untuk Dean

Aku tidak merasa perlu menunggu balasan dari Pak Brian, yakin betul kalau laki-laki itu masih sibuk dengan pekerjaannya, tidak mungkin sempat mengecek ponsel.

"Boleh dibawa pulang?" tanya Dean tiba-tiba saat aku tengah sibuk memasukkan ponsel ke dalam tas.

Saat mendongak, aku mendapati sepasang tangan mungil bocah itu memeluk satu bibit stroberi kecil di dalam polybag. Matanya memelas saat menatapku. "Aku mau tanam di rumah," katanya.

Nah kan, aku tidak salah saat mengingatkan Pak Brian untuk menyiapkan kebun. Nyatanya bocah ini benar-benar mau membawa pulang bibit stroberinya.

"Boleh. Tapi nanti, ya. Beli bibitnya sama Bu Nayla. Oke?"

"Asyikkk!" seru Dean, bersorak riang. "Aku mau tanam lagi!"

Aku buru-buru mengambil bibit dari tangannya, lantas mengangkat badan mungil Dean ke gendongan. "Panen buah dulu, dong! Dean nggak mau makan stroberinya?"

Dean malah mencebik meski tidak meronta dari gendonganku. "Gak asyik, ah," gerutunya sambil mencembungkan pipi yang sudah tembam dari sananya.

"Yakin?" godaku, mulai beranjak meninggalkan area tanam ke tempat panen.

Di sana, sudah banyak anak-anak lain dengan orang tua mereka yang memanen stroberi. Beberapa bahkan sudah membawa satu keranjang kecil penuh stroberi merah.

"Tuh lihat, temen-temen kamu pada makan buahnya."

Dean mengikuti arah telunjukku. Pada anak-anak yang sibuk bercengkerama sambil tertawa-tawa menikmati buah hasil petikan mereka. Dean terdiam beberapa detik, tidak memberi respons apa pun.

Jika sudah seperti ini, aku selalu penasaran dengan isi kepala Dean. Andai bisa membaca pikiran, aku pasti akan memakainya pertama kali untuk mengulik isi kepala kecil milik Dean. Terlalu sulit ditebak, dan membuat khawatir di saat yang sama.

"Nggak mau, Bu Nayla!" seru Dean yang malah meronta-ronta dari gendonganku.

Takut tidak bisa menahan Dean dan membuat kami jatuh, aku buru-buru menurunkan Dean. Tanganku tetap menahan lengan mungilnya, sambil badanku bertahan dalam posisi jongkok, menyejajarkan diri di depan Dean.

"Bener nggak mau?" tanyaku, berusaha meyakinkan sekali lagi.

Aku bisa melihat keragu-raguan di balik manik cokelat gelap milik Dean. Jelas sekali dari caranya melirik-lirik sekilas, penasaran dengan apa yang ada di sana.

"Bu Nayla temenin, kok. Oke? Kita petik berdua, ya?" rayuku, sambil membersihkan kaus putih Dean yang ternyata banyak ditempeli tanah.

"Boleh?" tanya Dean. Atensinya diberikan padaku sepenuhnya, dengan bola mata menyala-nyala antusias.

Aku segera berdiri, menggamit tangan kecil Dean dengan lembut. "Yuk!" ajakku, menuntun anak ini mendekati tempat panen.

Pikirku, Dean akan setengah hati menerima ajakanku, atau malas-malasan berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Ternyata, Dean malah langsung melepaskan tanganku dan berlari kecil mendahului.

"Ayo, Bu Nayla! Lama, ih!"

Tuh kan. Dean itu agak istimewa untuk anak seumurannya. Satu waktu penuh semangat, lalu mendadak diam, menit selanjutnya sudah berlarian kembali.

Tidak salah kan kalau aku ingin tahu apa yang disimpan anak itu? Mungkin nanti, kalau sifatnya semakin kontras terlihat, aku harus menanyakan pada Pak Brian.

Saat sampai di samping Dean, bocah itu sudah meringis kecil dengan lidah menjulur panjang-panjang, melepehkan stroberi. "Asem!" serunya Dean mara berair, seperti ingin muntah.

Aku melirik ke arah tangannya dan langsung tertawa geli.

Bekas kunyahan stroberi banyak menodai kaus putih Dean, meninggalkan bekas basah air liur di sana. Aku dengan cekatan membersihkan stroberi yang mengenai baju Dean dengan sapu tangan.

"Dean salah petik," kataku, mengambil sisa stroberi hijau di tangan Dean. "Harusnya petik yang merah-merah aja."

Sambil memasukkan sisa stroberi itu ke kantung sampah, aku mengabsen, mencari stroberi terdekat yang berwarna merah dan paling besar.

"Coba yang ini."

Dean langsung menggeleng keras, menolak mentah-mentah. "Nggak mau! Asem!"

"Ih, enggak, loh," kataku, menyerahkan stroberi di tanganku ke genggaman Dean. "Cobain dulu. Yang ini pasti manis."

Ada keraguan kecil dalam gerakan Dean. Aku hanya memperhatikannya dalam diam, menunggu dengan sabar saat Dean menggigit kecil stroberinya dengan wajah meringis tertahan. Bagaimana, ya. Ekspresi bocah ini terlalu menggemaskan, aku jadi tidak bisa menahan tawa.

"Manis, kan?" tanyaku penuh percaya diri saat Dean kembali menggigit stroberinya.

"Enak!"

Binar-binar senang kembali hidup di sepasang mata Dean. Tangannya kembali memakan buahnya sampai habis. "Mau lagi, Bu Nayla." Tangan mungilnya terulur, meminta dipetikkan lagi.

Aku menggeleng kecil. "Petik sendiri, dong!"

Aku menggamit tangan Dean, menuntunnya berdiri di depan tanaman stroberi yang sudah merah buahnya. "Nah itu, petik sendiri. Bisa?"

"Bisa, dong!"

Detik berikutnya, Dean sudah berjongkok riang, memetik satu buah stroberi yang sudah sangat merah, dan melahapnya tanpa sisa. Melihat Dean yang sangat antusias, aku tidak bisa menampik diri kalau turut merasa senang.

Pikiran ngawurku mendadak mengambil alih. Jangan-jangan, Dean ogah diajak memetik buah karena harus melihat teman-temannya bersama orang tua mereka? Sedangkan dia hanya seorang diri? Maksudku, perasaan yang wajar, 'kan?

Anak mana yang tidak ingin membuat kisah menyenangkan dengan orang tuanya? Dan saat sadar dia seorang diri di sini, Dean jadi enggan untuk ikut serta dengan teman-temannya. Mungkin saja.

Rasanya, aku tidak salah memberi perhatian khusus pada Dean. Bukannya meninggalkan tugas mengawasi murid yang lain, karena tugasku hanya perlu memastikan rombongan lengkap saat sampai di kebun tadi. Selebihnya, aku bisa menaruh seluruh fokusku pada Dean.

"Habis petik buah, kita makan, ya?" tanyaku yang hanya mendapat balasan hening. Anaknya masih terlalu sibuk memanen dan melahap stroberi-stroberi petikannya.

***

Aku mengembuskan napas pasrah. Menyerah saja. Sudah berkali-kali menghubungi nomor Pak Brian, tapi nomor Pak Brian tidak juga aktif. Aku curiga Brian masih terjebak di dalam pesawat dan tidak bisa menepati janji untuk menjemput Dean tepat waktu.

Sekarang bagaimana? Sekolah sudah sepi pula. Ditambah Dean sudah kembali menjadi dirinya yang pendiam dan sulit diajak mengobrol. Mana langit sudah mulai gelap, menyeramkan kalau tetap memaksa menunggu di saat tidak tahu kapan Pak Brian akan muncul.

Pukul 17.38, begitulah yang tertera di ponsel. Baiklah. Aku harus segera mengajak Dean beranjak dari sini. Melihat Dean meringkuk diam di depan kelas, mana tega membiarkannya lebih lama? Belum lagi bocah itu pasti kelaparan, karena sebentar lagi sudah waktunya makan malam.

Aku berjongkok, menatap Dean yang masih membisu. "Rumah Dean di mana? Bu Nayla antar pulang, yuk?"

"Gak ada siapa-siapa."

Sejujurnya, jawaban Dean tidak banyak membantu. Hanya saja, entah bagaimana aku jadi menangkap maksud lain. Semacam ... pulang sekarang pun sama saja. Tidak ada yang menunggu di rumah.

Hati kecilku jadi tercubit. Aku semakin bertanya-tanya, sebenarnya latar belakang Dean itu bagaimana? Sayangnya, kesadaran menamparku, bukan ranah seorang guru untuk mengulik hal yang begitu privasi.

"Bu Nayla temenin sampai papa kamu pulang. Gimana?"

Apa aku terlalu memaksa, ya? Dean sampai merengut seperti itu, ogah melirik sedikit pun. Bagaimana, dong?

"Atau Dean mau ke rumah Bu Nayla, biar nanti papa Dean jemput di sana?"

Pilihan yang sama salahnya, sih, sepertinya. Tapi, aku harus menggunakan opsi apa pun yang ada agar Dean mau diajak beranjak dari sini. Sudah malam. Anak itu pasti kelelahan juga setelah dari pagi sibuk bersenang-senang di perkebunan. Mana mungkin aku membiarkan menunggu jemputan yang belum pasti?

Dean tidak menjawab, hanya menatap lurus ke arah jalanan yang sesekali dilewati motor dan mobil. Aku tidak bisa menebak apa yang bercokol di balik batok kepala kecil anak ini. Apakah menunggu mobil papanya lewat? Berharap seorang pria dengan setelan klimis berjalan memasuki area sekolah? Pikiran macam apa yang sampai menyedot seluruh atensinya?

"Dean?" panggilku lagi, masih berusaha. "Di rumah Bu Nayla ada anak kucing, loh, namanya Molly. Dean mau temenan sama Molly?"

Detik berikutnya, Dean sudah mendongak, balas menatapku. Yang bisa aku asumsikan hanya satu, anak ini mulai tertarik. Sedikit saja dibujuk, Dean pasti mau ikut.

"Yuk? Dean belum makan juga, 'kan? Nanti Bu Nayla kenalin sama koki terbaik sedunia." Maksudku Bunda. Siapa lagi koki yang bisa menyenangkan lidahku selain Bunda?

Saat aku mengulurkan tangan, Dean menerimanya dengan patuh. Berdiri dari tempatnya sedari tadi mengurung diri bersama lamunan, dan mengikutiku menghentikan taksi.

Nayla Sekar

Saya sedari tadi sudah menghubungi nomor Pak Brian, tapi tidak tersambung. Sepertinya Bapak masih di dalam pesawat. Saya hanya mau mengabari kalau Dean sekarang di rumah saya. Kalau Pak Brian sudah sampai di Jakarta, bisa jemput Dean di alamat yang sudah saya share.

Location


Sabtu, 13 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top