3. Situasi Aneh
Aku tidak yakin bagaimana bisa terjebak di situasi awkward ini. Terakhir yang bisa aku ingat, Naufal—adikku satu-satunya sekaligus anak paling bontot di rumah—merengek minta dibelikan hardisk baru karena miliknya yang lama sudah hampir penuh.
Sebenarnya, bisa saja Naufal berangkat sendiri karena dia yang lebih tahu spesifikasi yang dia perlukan seperti apa. Sayangnya, seperti anak semester akhir sewajarnya, tanggungan skripsi ditambah tawaran pekerjaan dari dosennya membuat Naufal sesak napas. Mau tidak mau, aku yang harus menjadi pahlawan kesorean, kan?
Nah masalahnya, aku tidak banyak tahu soal komputer. Laptopku banyak virus saja yang membetulkan Naufal, boro-boro mengerti tentang hardisk. Tapi sepertinya tidak akan masalah karena Naufal sudah memberi gambar barang yang dia mau.
Sampai akhirnya, aku yang sedang sok sibuk melihat-lihat deretan hardisk dan benda-benda lain yang entah apa namanya—serius, aku tidak akan mau masuk ke tempat ini—sebuah suara memasuki gendang telingaku.
"Bu Nayla!" sapa suara kecil yang hanya perlu sepersekian detik untuk mendapat atensiku.
Seorang anak kecil dengan jaket merah cerah yang kebesaran berlari-lari kecil ke arahku. Tangannya melambai antusias sambil memperlihatkan deretan gigi rapinya saat tersenyum lebar. Di belakangnya, seorang laki-laki dengan kaus abu-abu pas badan dan celana jin hitam ikut mendekat. Aku agak terkesan dengan penampilan itu. Aura eksekutif mudanya mendadak hilang dan berubah menjadi papa muda yang rupawan.
Astaga, sadar, Nayla!
Serius. Kebetulan macam apa yang terus-menerus memaksaku bertemu dengan mereka berdua? Maksudku, bukannya aku tidak suka. Jakarta itu luas. Dan dalam satu minggu terakhir ini, aku sudah bertemu dengan Pak Brian tiga kali. Sepertinya kalau kami sekali lagi tidak sengaja bertemu, aku bisa mendapat satu piring cantik untuk hadiah.
"Halo, Dean!" sapaku saat Dean sudah berhenti di depanku. Tatapanku beralih pada Pak Brian yang berdiri agak di belakang Dean, mengangguk formal. "Pak Brian."
Aneh tidak sih kalau aku merasa aneh bertemu dengan Pak Brian di luar kepentingan sekolah atau kafe? Sepertinya keahlianku bersosialisasi selain dengan anak kecil patut dipertanyakan.
"Bu Nayla perlu sesuatu?"
Mendengar pertanyaan Pak Brian, entah kenapa mendadak aku curiga. Jangan-jangan konter ini milik Pak Brian juga? Maksudku, tidak aneh, 'kan?
Orang yang kebanyakan uang biasanya aktif mencoba banyak bisnis atau mengoleksi benda-benda yang harganya bisa membuat rumahku minder. Bisnis real estate, pabrik, restoran, hotel, kadang sampai membuat yayasan pendidikan juga. Bukan hal baru bagi para eksekutif yang punya tabungan dengan angka nol sepanjang kereta.
Salah satu dosenku dulu ada juga yang tajir melintir. Beliau suka dengan seni, apalagi lukisan-lukisan abstrak yang seringnya terlihat aneh di mataku—aku memang cacat soal seni, jadi tolong dipahami. Setiap masuk kelas, beliau selalu menceritakan koleksi-koleksi lukisannya yang harga satuannya saja bisa untuk pulang-pergi ayah dan bunda naik haji. Rasanya mau menangis, kapan aku bisa seperti mereka?
Sudahlah. Membicarakan kekayaan orang lain malah membuatku iri dan kurang bersyukur nanti.
"Oh ini, saya mau cari hardisk," jawabku sambil mulai sibuk mencari-cari gambar yang dikirimkan Naufal tadi.
Aku mengulurkan ponselku pada Pak Brian. Sekarang aku bertanya-tanya, kenapa aku menunjukkan barang yang aku perlukan pada Pak Brian? Kan Pak Brian belum tentu pemilik konter ini. Tidak tahu, aku hanya refleks menyerahkan karena sudah ditanya.
Setelah mengamati gambar di ponselku, Pak Brian pamit sebentar. Dia mendekat ke arah seorang karyawan masih dengan ponselku di tangannya.
Aku kenapa sih hari ini? Rasanya kepalaku seperti berputar balik, tidak jelas isinya.
"Bu Nayla, lapar," lirih Dean sambil menarik-narik kecil kemeja yang kukenakan. Aku jadi membungkuk, sedikit menyejajarkan tinggiku dengan Dean.
"Belum makan?" tanyaku yang dihadiahi dengan gelengan. Aku tersenyum kecil, sambil mengacak rambut hitam lebat milik bocah ini. "Habis ini makan, ya. Tungguin papa Dean dulu tapi."
Nah, di sini letak ke-awkward-an yang aku maksud. Saat Pak Brian kembali, Dean juga merengek karena lapar. Sedangkan hardisk yang aku minta masih harus dicarikan di gudang karena stok di etalase sudah habis.
Situasi normalnya, seharusnya Pak Brian pamit bersama Dean dan mencari makan. Iya, 'kan? Tapi, kalimat Pak Brian malah membuatku tidak mengerti.
"Biar saya saja yang menunggu hardisk-nya. Kalau tidak keberatan, saya minta tolong Bu Nayla untuk menemani Dean makan. Nanti saya menyusul."
Memangnya yang seperti ini wajar, ya? Aku sampai mati kutu. Sepertinya ekspresi wajahku sekarang sudah sangat aneh, saking tidak menyangka mendengar jawaban laki-laki beranak satu ini.
"Eh, soalnya saya masih harus membeli beberapa monitor juga, jadi sekalian," kata Pak Brian lagi, sepertinya sadar dengan keanehan responsku. "Maaf kalau malah merepotkan."
Aku buru-buru menggeleng. Ini situasi aneh macam apa sebenarnya? Dari level 1–4, aku yakin keanehan kami ada di level 6, alias sangat tidak jelas sampai aku sendiri tidak mengerti sedang apa.
"Tidak apa-apa, Pak Brian. Malah saya yang jadinya merepotkan."
"Pa, ayo makan!" sungut Dean yang sepertinya kesal karena diabaikan. "Lapar."
"Sama Bu Nayla dulu ya? Nanti papa susul," balas Pak Brian yang langsung dihadiahi cebikan sebal dari Dean. Aku agak terkejut, Dean bisa juga menunjukkan ekspresi seperti itu.
"Ayo Bu Nayla!" Dean menggandeng tanganku. Ekspresi sebalnya tadi berubah semringah saat menatapku. Dia bahkan sedikit menyeret tanganku agar segera keluar dari konter elektronik tempat kami terjebak sekarang.
Sebelum benar-benar keluar, aku sempat melirik ke arah Pak Brian, niatnya ingin berpamitan. Namun, laki-laki itu malah meringis tidak enak. Bibirnya bergumam, "maaf," tanpa suara dengan tangan menggaruk belakang telinga. Mungkin tidak enak karena Dean yang menyeret-nyeret tanganku.
Aku tidak membalas, hanya tertawa kecil. Maklum sekali dengan tingkah anak-anak yang seringnya kelewat semangat.
***
Sepertinya Tuhan masih enggan melepaskanku dari jerat ayah-anak rupawan ini. Atau mungkin memang sengaja membuatku terus bersinggungan dengan mereka, aku tidak tahu.
Kalau saya ingin menitipkan Dean untuk acara outing besok, apakah bisa?
Begitu pesan yang dikirimkan Pak Brian, disertai beberapa panggilan tidak terjawab yang sepertinya terlewat karena ponselku sedang di-charge.
Aku segera menyentuh tombol panggil, berniat membicarakan langsung dengan Pak Brian.
Jika catatanku tidak salah, seharusnya Pak Brian turut serta di kegiatan outing sekolah besok. Aku jelas ingat mencacat namanya di sebelah nama Dean. Dan dititipi tanggung jawab saat harus mengawasi anak-anak yang lainnya juga jelas bukan hal sepele. Jadi, lebih bagus kalau dibicarakan langsung.
Sampai pada nada sambung kelima, panggilanku bersambut.
"Selamat sore, Bu Nayla," sapa suara berat di seberang sambungan.
Aku tahu Pak Brian tidak bisa melihatku, tapi tetap saja aku refleks sedikit membungkuk, memberi salam. "Selamat sore, Pak. Maaf mengganggu waktunya."
"Tidak apa-apa, Bu Nayla. Pasti mau membahas soal besok, ya," tembak Pak Brian langsung. Aku hanya tersenyum kecil, merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut.
"Maksudnya titip Dean, bagaimana ya, Pak?"
Terdengar suara helaan napas panjang di sambungan. Dari gelagatnya, aku bisa menangkap kalau Pak Brian sedang banyak pikiran. Mungkin terkesan sok tahu, tapi aku percaya dengan feeling-ku.
"Maaf Bu Nayla, saya merepotkan lagi." Ada jeda sebentar sebelum Pak Brian melanjutkan. "Besok saya harus dinas ke luar kota, tidak yakin bisa mendampingi saat outing."
Sudut kecil hatiku sedikit bertanya-tanya. Aku tahu ini melewati batas, tapi apa Pak Brian tidak punya istri? Atau ke mana ibunya Dean? Karena sejauh ini, aku hanya pernah melihat Pak Brian sebagai wali murid Dean.
Pasti salah kan kalau aku menanyakan hal semacam itu?
Aku menimang-nimang sebentar. Harusnya tidak masalah menerima permintaan Pak Brian. Anak-anak lain kemungkinan didampingi orang tua mereka. Mengurus satu anak secara khusus seharusnya tidak akan menyulitkan.
"Besok kendaraan berangkat lebih pagi dari biasanya, Pak. Jadi kalau bisa, sebelum pukul 7, Dean sudah di sekolah, ya, Pak."
Setelah basa-basi singkat, aku izin menutup sambungan. Sepertinya Pak Brian juga sedang sibuk, terdengar dari sesekali suara kertas dibolak-balik terdengar di antara obrolan kami.
Aku juga harus mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk besok. Dan lagi, sepertinya harus masak sedikit lebih banyak untuk bekal yang akan dimakan dengan Dean, sepertinya.
•
•
Sabtu, 13 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top