1. Rutinitas

"Ayo putus!" Seorang laki-laki dengan kaus polo warna putih dilapis jaket bomber hijau army menatap perempuan di depannya sedikit canggung. Tangannya bergerak ragu meraih kedua telapak tangan perempuan yang akan segera berubah status menjadi mantan kekasih. "Maaf. Tapi, aku mau kita putus."

"Kenapa?" Sepasang netra cokelat gelap milik si perempuan mengerjap tak percaya. "Kenapa tiba-tiba?"

"Karena rasanya udah beda. Kamu tahu kita udah nggak sejalan." Sebuah jawaban yang terdengar sudah dipersiapkan sedari awal. Jelas sekali terlihat dari bagaimana cara laki-laki itu menjawab dengan cepat dan tanpa ragu.

Masih terlihat tidak terima, perempuan itu menatap kekasihnya dengan mata menantang. "Nggak sejalan bagaimana? Kita bahkan nggak ada berantem akhir-akhir ini, nggak ada masalah apa pun yang belum selesai. Bagian mana yang bikin kamu mikir kita gak sejalan?"

"Justru karena hubungannya terlalu lancar, aku ngerasa flat, nggak ada gairahnya. Kurang menantang."

"Kamu cari pasangan atau temen naik roller coaster, segala menantang-menantang gitu?" Terdengar nada jengkel yang kental dari suara setengah memekik milik si perempuan. Sepertinya, dia merasa alasannya diputuskan sangat tidak masuk akal.

"Yang jelas itu alasannya."

"Jujur aja. Kenapa kamu minta putus? Jangan buat alasan-alasan nggak jelas kayak sekarang. Basi!"

"Karena kamu," kata si laki-laki yang terdengar lebih serius sekarang. "Aku merasa, aku terlalu baik buat kamu."

"Hah?" Entah saking terkejutnya atau bagaimana, perempuan itu memelotot lebar sampai bola matanya bisa menggelinding sewaktu-waktu. "Kamu apa?"

Karena kondisi di meja sebelah semakin tidak kondusif, aku segera berdiri dan menyingkir dari sana. Padahal, spot yang aku tempati sekarang sudah sangat nyaman. Di pojokan warung bakso dengan pemandangan lalu-lalang kendaraan bermotor di jalanan depan gubuk bambu. Sudah menjadi kebiasaan saat istirahat, salah satu dari kami—aku dan rekan kerjaku maksudnya—mampir ke warung bakso Pak Rahmad untuk membeli makan siang. Dan kebetulan hari ini adalah jadwalku untuk pergi.

"Aku harusnya bisa dapat yang lebih baik dari kamu." Suara pasangan di meja tadi samar-samar masih bisa kudengar. Untung saja pesanan baksoku sudah selesai. Jadi, aku tidak perlu menyaksikan situasi aneh ini lebih lama. Aku sedikit curiga akan ada adegan guyur mengguyur kalau pertengkaran mereka semakin menjadi.

Ternyata begini rasanya terjebak di tengah situasi yang ... bagaimana menyebutnya. Membuat canggung? Karena seumur-umur aku hidup, baru kali ini di tengah drama percintaan.

Percintaan orang lain, maksudku. Secara langsung pula.

Melihat para remaja dengan kisah cinta yang masih menggebu-gebu selalu berhasil membuatku mengingat umur sendiri. Gairah untuk mengejar cinta atau hal-hal manis seperti masa sekolah atau kuliah dulu kian luntur seiring dengan kesibukan pekerjaan yang menuntutku terpontang-panting ke sana kemari. Jangankan memikirkan pasangan, mengurus diri sendiri saja masih banyak PR-nya. Lagi pula, menjomlo di usia 25 tidak se-ngenes itu, kok. Paling tidak, Bunda belum memaksaku membawa pulang laki-laki ke rumah, meski sudah mulai melancarkan kode-kode.

Aku bersumpah siap kabur kalau Bunda benar-benar memulai aksi protes meminta mantu. Nanti dulu, aku masih enggan memikirkan urusan berumah tangga.

Selesai membayar, aku harus segera kembali sebelum jam istirahat habis. Untungnya, warung Pak Rahmad dan tempatku kerja tidak terlalu jauh. Cukup berjalan lima menit, aku sudah melihat gedung mungil dengan cat warna-warni dipenuhi gambar bunga dan binatang.

Baru saja memasuki gerbang, seorang anak kecil yang berlari penuh semangat menabrak betisku. Nyaris saja dia terjengkang ke belakang andai aku telat menahan tangan mungilnya.

"Hayo, Bu Nayla tadi bilang apa?" tanyaku sambil berjongkok untuk menyamakan tinggi. Aku langsung bisa mengenali siapa anak ini begitu melihat sepasang netra bulat di bawah topi oranyenya. "Kalau main hati-hati. Nanti kalau nabrak tembok, terus keningnya benjol gede gitu, Dean mau?"

Bukannya menjawab, bocah kecil ini malah menyengir lebar, memamerkan pipi gembilnya dengan sederet gigi kecil yang tertata rapi. Aku yang pada dasarnya lemah dengan pesona anak kecil jadi tidak tahan mencubit pipi Dean.

Tanganku beralih merapikan seragam Dean yang sedikit berantakan. "Mainnya agak jauh dari pagar ya, nanti kena duri, kakinya jadi sakit."

Belum sempat Dean menjawab, sebuah teriakan kecil terdengar sedikit terengah-engah. "Dean tungguu! Capek Amila!" Seorang anak kecil dengan seragam serupa milik Dean tapi dengan bawahan rok selutut, berlari mendekat.

Sepertinya Dean lupa dengan keberadaanku karena setelah melihat ke arah Amira, bocah itu langsung melesat menjauh. Suara tawa kecilnya terdengar, sengaja menggoda Amira yang semakin tertinggal di belakangnya.

"Yang kalah jadi monyet!" teriak Dean yang entah berlari ke mana. Sedangkan yang digoda sudah menjerit kesal karena Dean kembali berlari.

Aku hanya bisa tertawa kecil melihat interaksi keduanya. Biasanya, Dean dan Amira satu paket dengan Riski. Selalu terlihat bergerombol bertiga, saling berlarian atau menyelesaikan permainan bersama. Sayangnya, Riski sedang tidak masuk hari ini, hanya menyisakan mereka berdua.

Omong-omong, aku baru ingat harus bergegas memberikan pesanan bakso pada guru yang lain, sebelum jam istirahat habis. Fokusku agak terdistraksi karena ditabrak Dean tadi.

Jadi, aku buru-buru ke ruang guru. Dan benar saja, begitu sampai, guru-guru yang lain sudah menunggu pesanan mereka dari tadi. Aku hanya bisa tertawa kecil sambil menjelaskan kenapa bisa terlambat.

Karena belum terlalu lapar, aku membiarkan jatahku untuk nanti dan memilih keluar, menemani Bu Ayus mengawasi anak-anak. Tidak banyak yang dilakukan saat istirahat seperti ini selain mengawasi dari jauh.

Namanya anak-anak, memang membutuhkan perhatian yang sedikit lebih banyak. Melengos sedikit saja, bisa-bisa mereka bertubrukan satu sama lain karena belum bisa mengontrol diri dengan baik.

"Ahh!" Baru saja aku memikirkannya, sebuah teriakan terdengar. Aku mendapati Amira sudah terjelungup, tersandung slang kecil warna-warni yang biasa dipakai untuk kelas berkebun.

Berhubung Bu Ayus sedang mengurus anak lain yang berebut mainan, pilihan terakhirnya hanya aku yang segera berlari kecil mendekati Amira.

"Nggak apa-apa?" tanyaku, sambil membantunya berdiri. "Bu Nayla bersihin dulu, ya."

Aku menepuk lembut pasir yang menempel di seragam Amira. Menyingkirkan debu tebal yang tersangkut di poni dan wajah tembamnya.

Di tengah kesibukanku, Amira tiba-tiba mengulurkan telapak tangannya ke arahku dengan mata berkaca-kaca. "Bu Gulu, sakit," rengeknya dengan suara cadel, diikuti air mata yang mulai menganak sungai.

Tangan mungil Amira yang bergerak ingin mengusap kedua matanya buru-buru aku tahan. "Dibersihin dulu, ya, terus dikasih obat."

Telapak tangan dan lutut Amira sedikit tergores pasir. Ditambah tempatnya terjatuh yang mepet dengan pohon mawar, membuat betisnya sedikit tergores duri. Aku meringis kecil saat melihat ada goresan merah muda agak panjang di dekat lutut kiri Amira.

Namun, Amira mendadak memberontak dan menggerakkan tangan dengan brutal. "Nggak mau!" jeritnya. "Aku nggak mau disuntik! Sakit, Bu Guluuu."

Jujur saja, aku agak terkejut mendengar rengekannya yang tiba-tiba ini. Apalagi Amira menangis sambil sedikit menjauh dari jangkauanku.

Ada kata-kataku yang salah, sampai Amira mengambil kesimpulan begitu?

"Bukan disuntik, Sayang. Diobati pakai obat merah. Enggak sakit, kok."

Bujukanku sepertinya sia-sia karena Amira malah tambah histeris. "Nggak mau! Kata Kak Abi, kalau sakit nanti Amira disuntik. Diiket di kursi terus ditusuk-tusuk sama dokter."

Aku meringis kecil mendengarnya, kehabisan kata-kata untuk sekadar merespons. Budaya menakuti anak-anak dengan profesi tertentu seperti ini yang selalu aku sayangkan. Sadar tidak sadar akan menanamkan ketakutan tidak manusiawi pada psikologis anak. Dan imbasnya, seperti Amira ini. Mendengar kata diobati saja sudah membuatnya takut setengah mati.

"Engga ke dokter, Sayang. Diobati sama Bu Nayla. Boleh, ya? Biar lukanya cepet sembuh, enggak sakit lagi."

Namun, Amira tetap menggeleng keras kepala sambil menyembunyikan tangannya di belakang badan. "Nggak mau! Sakit!"

Kalau sudah begini sih aku menyerah. Terlalu memakan waktu membujuk Amira hanya untuk membersihkan lukanya, keburu infeksi.

Sampai akhirnya aku melihat Dean berjalan mendekat dengan ragu. Sepertinya dia baru sadar Amira sudah tidak di belakangnya lagi, makanya kembali.

"Amira diobati Dean mau?" tanyaku, kembali membujuk. Sisa air mata masih menetes yang segera aku usap dengan ibu jari. "Dean temannya Amira, 'kan? Berarti enggak jahat, dong."

Masih dengan mata berkaca-kaca, Amira menatapku dengan pandangan bertanya.

"Itu, Dean di belakang Amira." Aku menunjuk ke belakang bahu Amira. "Coba minta Dean obatin Amira."

Sebelum Amira memutar badan, Dean sudah berdiri di samping Amira. Memperhatikan penampilan temannya yang agak berantakan.

Amira menghadapkan badan ke arah Dean, menggembungkan pipinya dengan ekspresi menggemaskan. Kedua tangannya terjulur ke depan, menunjukkan goresan kecil yang masih sedikit ditempeli pasir.

"Dean mau obati aku?" tanya Amira penuh harap. Dia kembali menarik tangannya, menatap nanar lukanya.

Tidak langsung menjawab, Dean malah melempar tatapan tanya ke arahku, meminta petunjuk. Jelas saja aku langsung mengangguk, mengiakan.

"Caranya gimana?" tanya Dean. "Aku enggak ngerti."

Raut bingung di wajah Dean berhasil membuatku tertawa kecil. Aku mengambil sebuah slang biru muda yang terhubung dengan keran air, lantas mengulurkannya pada Dean.

"Ini. Dean yang pegang, ya, bantu bersihin lukanya Amira. Dean bisa, 'kan?" Melihat anggukan Dean, aku tersenyum puas. "Bu Guru nyalain airnya dulu. Hati-hati kena seragam."

Aku segera menyalakan keran air dalam tekanan rendah. Dan di tempatnya, Dean sudah mulai membersihkan luka Amira dengan serius.

"Sakit, ya?" tanya Dean yang suaranya masih samar-samar bisa aku dengar. "Gara-gara kejar aku tadi. Maaf." Selanjutnya, Dean sedikit membungkuk, membasuh air ke lutut Amira. Jelas sekali perasaan bersalah terpatri kental di wajah Dean.

"Dean obati aku, hehe. Jadi Amila udah sembuh," balas Amira dengan suara cadelnya yang berhasil mengundang senyum tipis di bibir Dean.

Melihat interaksi mereka, aku tidak bisa menampik diri bahwa di usiaku sekarang, kepolosan anak kecil terkadang membuatku berpikir untuk mulai mempertimbangkan memiliki pasangan dan membangun rumah tangga. Aku tidak naif jika menikah memang menjadi salah satu tujuan hidupku. Hanya saja, tidak dalam waktu dekat.

Masih ada beberapa hal yang harus aku perjuangkan sebelum berani melangkah ke jenjang yang lebih serius. Apalagi dengan bayaran melepas kebebasan melajang. Sudah pasti aku belum siap.

Rabu, 03 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top