TRACK 019 • PENGAKUAN SEORANG PEMBOHONG
Tenagaku perlahan terbakar. Aku berterima kasih kepada mereka yang telah mengunjungiku, tetapi keberadaan mereka sedikit membebaniku yang sedang berpulih.
Aku perlahan terlelap di antara keramaian. Pandanganku menjadi gelap.
Kegelapan itu kemudian berubah menjadi ruangan putih. Aku terduduk di atas sebuah balok beton yang tumbuh dari permukaan lantai. Di hadapanku, terduduk seorang yang tubuhnya terbentuk dari serpihan keramik dan beling. Dia Suara Kepedihanku.
Dia duduk dengan kepala tertunduk sedih. Aku pun membuka, "Perbincangan kita tertunda karena kebodohanku. Jadi, akan ku tanya lagi 'Mengapa kamu berkeras untuk membuat kita melakukan semua sendiri, padahal kita tahu ada mereka yang bisa kita panggil teman?'"
"Aku tidak percaya dengan mereka. Kita hanya bisa percaya dengan kedua tangan sendiri."
"Ya, dan lihat hasilnya. Orang lain pun kita sakiti."
"KARNA ITU ADIL!!!
"Karena itu adil. Kita tetap bergerak dengan dua tangan sendiri. Mereka bergerak karena tangan kita, sudah seharusnya mereka merasakan sakit yang sama."
"Tetapi, bukankah rencana kita adalah untuk meringankan beban mereka?"
"Kalau mereka ingin beban mereka ringan, mereka bisa mengais tanah sendiri. Aku sudah muak bergantung dengan yang tidak pasti.
"Kita bergantung sama satu orang sebagai cahaya kita. Hasilnya, kepercayaan itu direnggut takdir."
"Tetapi, bukankah dia masih hidup di dalam hati orang-orang yang kita panggil teman? Orang-orang yang kamu panggil teman?!"
Mendengar itu, Suara Kepedihanku terdiam. Wajah dia bersedih. Dan, aku mengerti kesedihan itu.
Aku beranjak dari batuku dan berjalan kepada dia. Aku kemudian menjangkaukan lenganku dan memeluknya. Darah mengalir perlahan dari kulitku seiring aku berkata, "Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Kita menjauh dari yang kita panggil teman karena kita takut akan kehilangan yang kita alami.
"Sekarang, kita siap kembali menghadap dunia. Kita siap walau kita akan tersakiti," ucapku seiring menangis menerima kenyataan pahit, aku belum menerima kepergian ayahku dan aku berusaha meredam rasa sakit ini dengan mencoba menjadinya.
Suara Kepedihanku pun menangis. Dia meraung keras hingga tubuhnya pecah menjadi serpihan kecil.
***
Sudah dua minggu tubuhku terbaring di atas kasur rumah sakit. Satu kakiku tertahan gypsum, leherku ditopang, dan setengah kepalaku dilapis perban.
"Aku terlalu lama berbaring di sini," pikirku. Aku kemudian memaksakan diri untuk bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar. Aku harus mendaftar keluar.
Aku harus memperbaiki semua kesalahanku.
Saat aku tiba di depan pintu, dua suara yang aku kenal menyahut kepadaku.
"Mau ke mana kamu Artur?!" seru satu suara.
"Bang Artur mau ke mana?!" tegur suara kedua.
Kak Dina dan Ibuku duduk menantiku di hadapan pintu. Wajah mereka menunjukan rasa kekhawatiran dengan cara mereka masing-masing. Satu berusaha meraih bahuku dan satu berdiri di hadapanku untuk menghadang.
Aku kemudian berkeras untuk meninggalkan rumah sakit ini. "Aku harus segera keluar dari sini Kak Dina, Ibu. Semakin lama aku menunggu, semakin lama mereka sengsara."
"Siapa mereka ini?" tanya ibuku bingung nan khawatir.
"Orang-orang yang menjadi korban kebodohanku. Karyawan-karyawan yang aku jadikan tumbal untuk kebahagiaan semu yang aku cari bu," balasku menatap ke lorong rumah sakit, berangan akan tindakanku.
"Aku tidak bisa berlama-lama," lanjutku tegas menghadap Ibuku dan Kak Dina.
"Tapi kamu harus istirahat N–," coba Ibuku untuk menegur. Tetapi, kalimat dia dipotong oleh Kak Dina.
"Baiklah Artur," ucapnya. Kemudian Kak Dina menghadap kepada Ibuku. "Saya harap saya tidak melangkahi anda Bu. Tetapi, kalau Artur sudah begini, tidak ada yang bisa menghentikan dia.
"Setidaknya, kita berdua bisa mendukung dia?"
Ibuku pun merunduk ragu. Aku bisa melihat amarahnya merebus perlahan. Namun, Ibuku menelan egonya. Dia kemudian menghela nafas dan berkata, "Baiklah. Saya ingin menyangkal anda. Tapi..., nyatanya anda sudah ada lama untuk anak saya."
Ibuku kemudian mengangkat wajahnya dan memandang Kak Dina dengan empat mata. Mata ibuku untuk pertama kalinya menunjukan sesuatu yang tidak ku sangka, rasa hormat.
Kemudian, Ibuku menghadapku. "Jadi, apa yang ingin kau lakukan Nak?"
"Aku..., tidak tahu," jawabku kepada Ibuku. Karena kenaifanku, aku tidak menyadari ataupun memperhatikan praktik kerja Lerri. Aku berada di kapal yang sama dengan pekerjaku dan Warga Lot 07. Aku kemudian melanjutkan "Aku hanya tahu aku harus memulai dengan meminta maaf dengan 'Warga Lot 07.'
"Tetapi..., aku tidak tahu cara membebaskan mereka dari kekangan Lerri."
Ibuku kemudian menatap kosong ke langit-langit koridor rumah sakit setelah mendengar deskripsiku. Dia kemudian bertanya, "Kira-kira statusmu sebagai apanya Lerri?"
Dengan polos aku menjawab, "Rekan usaha untuk Restoran Cakrawala Baru. Karyawan untuk Perusahaan Lerri."
"Restoranmu di bawah PT?"
"PT."
"Baiklah, Ibu mungkin dapat membantumu. Ibu akan bawa kamu ke sana, ke Lot 07. Tetapi..., kita harus mampir ke beberapa tempat dulu. Apakah tidak apa-apa?"
***
Aku tiba kembali di hadapan Lot 07. Mataku disambut oleh sebuah tragedi dan rintihan tangis. Warga-warga yang tersenyum saat itu sekarang dipenuhi oleh mereka yang menangisi kepergian sanak saudara tersayang.
Beberapa ada yang menelan kesedihan dan tetap bekerja menggarap puing-puing yang tersisa dari tindakan Lerri.
Tiba-tiba, aku, Ibuku, dan Kak Dina dikejutkan oleh sebuah kaleng yang terlontar dari udara. Kaleng itu menghantamku tepat di kiri kening. Darah pun mengalir perlahan. "Lu mo apalagi!!!" sahut seseorang dari jauh.
Sahutan itu kemudian membesar jadi raungan, "Sudah cukup! SUDAH CUKUP!!! KAMI SUDAH KEHILANGAN BANYAK KARENA JANJI PALSU!!!"
"KAMU MO AMBIL APA LAGI DARI KAMI ARTUR!!!"
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mengambil posisi. Dengan satu lutut menyentuh tanah dan kepala menyusul juga, aku berseru, "MAAFKAN SAYA!
"Saya telah menganiaya kalian semua. Karena saya kalian kehilangan semua. Saya tidak memperlakukan kalian dengan adil, memperlakukan kalian bagaikan mesin yang dapat aku buang begitu saja.
"Saya telah berbohong kepada kalian, menjanjikan kesejahteraan. Padahal, nyatanya saya ingin kesejahteraan diri sendiri.
"Saya tahu saya tidak berhak, tetapi MOHON MAAFKAN SAYA!"
Walau aku telah menyerukan ratapanku kepada mereka, aku tetap dihujani puing-puing dan sampah. Kak Dina dan Ibuku berusaha bergegas untuk melindungiku, tetapi aku mengangkat tangan, menghadang mereka.
Aku kemudian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari seseorang. Aku bisa merasakan dia berjerih payah untuk mengangkat wajahku, tetapi aku terlalu lemah untuk membantu dia. Dan aku pun tahu, jika orang ini bisa sampai padaku, dia telah melalui hujan sampah yang sama sepertiku.
Kemudian, terdengarlah di udara, "PAK YATNO, PERGI DARI SANA!!! BIARIN DIA YANG KENA!!!"
Mataku pun terbelalak mendengar kata-kata itu. Aku kemudian memindai orang yang memelukku. Tubuhnya dibalut oleh perban yang familiar di sisi kirinya. Wajah yang memelukku juga terlihat, wajah hangat dari Pak Ruyatno.
"Aku memaafkanmu Nak."
Kemudian, aku menangis puas seakan hari esok tidak akan datang.
***
"Today I learned that I was a liar! I learned that I was a liar! I learned that I was a liar! I learned that I was a liar!"
Chris Cornell - Soundgarden
Hal terburuk yang telah kulakukan adalah "Aku telah berbohong kepada diriku bahwa aku baik-baik saja."
Aku tidak.
VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top