TRACK 018 • KAN KU COBA LAGI
Aku memandang kepada kegelapan yang tak berujung. Kegelapan itu tidak berhiaskan apapun, tidak ada bintang, tidak ada bebatuan angkasa lainnya. Hampa. Hangat.
Tiba-tiba kegelapan itu menyala merah. Kehampaan kemudian berhias dengan beragam akar-akar yang berdenyut.
Perlahan aku menyadari, sebuah cahaya menyorot kepada mataku. Saat aku membuka mata secara perlahan, sebuah garis putih terang menerobos masuk. Pupilku terbuka lebar menelan cahaya itu.
"Sudah bangun Bang?" tanya sebuah suara yang terdengar hangat. Kehangatannya begitu familiar, seperti seorang ibu yang menyambut anaknya.
Suara itu milik Kak Dina.
"Aku di mana?" tanyaku dengan suara lemah dan tertahan. Kerongkonganku terasa seperti ditimpa oleh bola karet bermassa besar.
"Kamu di rumah sakit Bang," lanjut Kak Dina. Dia kemudian mengusap keningku dan melanjutkan, "Jangan paksa dirimu. Kamu baru saja kecelakaan."
"Apa yang terjadi?"
"Kamu tertabrak bus tadi malam. Kamu ga tahu seberapa terkejutnya Kakak saat mendengar kabar itu dari adik-adik di Cakrawala Baru.
"Mereka menelfon Kakak dengan panik. Mereka teriak, 'Kak! Kak! Bantu kami. Pak Artur baru saja kecelakaan.'
"'Dia halusinasi dan berbicara dengan orang yang tidak ada. Mereka bertengkar hingga ke tengah jalan.'
"Kakak pun bergegas ke sana dan membawamu ke sini."
Mendengar itu, hatiku pun terasa seperti tenggelam. Aku telah bersalah kepada mereka, "Mengapa mereka peduli denganku? Mereka seharusnya membiarkanku di sana" gumamku.
Kak Dina pun menghela nafas. Walau aku tidak memandang wajahnya langsung, aku bisa melihat wajahnya bersedih. Tetapi, kesedihan ini berbeda. Kesedihan ini terasa hangat, kesedihan yang diberikan untukku, bukan karena kekecewaan terhadapku. "Kamu mau tahu kenapa? Karena kamu mencoba untuk mereka. Kakak tahu kamu salah memperlakukan mereka dengan salah. Tetapi, kamu telah mencoba untuk mereka.
"Seperti ayahmu dulu terhadap Kakak.
"Kamu..., aku tidak perlu mengatakannya, aku yakin kamu punya kecurigaan dengan pekerjaan Kakak dulu kan?"
Aku hanya diam.
"Kakak dulu seorang escort(1). Karena penghasilan dan performa Kakak, aku dipercaya untuk mengelola 'layanan' lainnya, mengelola adik-adik yang saat ini kerja untukmu.
"Suatu hari, Kakak mendapat pesanan dari Bapak dari Pak Lintang untuk 'melayani' ayahmu. Dia menginginkan sesuatu darinya dan dia mengetahui ayahmu saat itu sedang bermasalah dengan ibumu."
Mendengar itu, seluruh tubuhku merasa gelisah. Kenangan itu begitu pahit. Orang tuaku berdebat untuk hal sepele. Ayah ingin aku bertumbuh dengan pilihanku sendiri. Tetapi ibuku menuntut agar aku diarahkan ke ilmu hukum, mengarahkanku ke dunia politik, semua demi mengamankan bisnis keluarga – nyatanya, demi kepentingan dia sebagai jaksa.
"Kakak datang dengan prejudis yang memandang semua pengusaha sama, 'Anak kecil yang akhirnya bisa memenuhi mimpi bajingannya.' Tetapi ayahmu berbeda, dia bukan seorang pengusaha. Dia seorang pelayan yang memiliki mimpi besar.
"Dia menyambutku seakan aku seorang teman baru. Satu piring singkong goreng dan dua gelas teh manis. Kakak pun terkejut," ucapnya sambil terkekeh kecil. "Kakak berpikir, 'Orang ini beneran pengusaha?'"
"Saat Kakak berupaya..., maaf Kakak mengatakan ini, 'menggoda' ayahmu, dia membalas, 'Apakah ini saja mimpimu? Atau kamu punya angan-angan besar?'
"Kakak terdiam saat mendengar itu. Ayahmu terus melanjutkan, 'Kamu kelihatan punya mimpi besar. Kira-kira apa yang menghentikanmu? Ah..., maaf, aku terlalu cepat.'
"Lalu, ayahmu tertunduk. Dia bilang, 'Kau tahu, aku punya anak laki-laki satu. Dia masih mencari jalannya, tetapi ibunya memaksa dia untuk ke arah lain. Aku tidak mempermasalahkan itu, hanya saja..., sebagai orang tua..., aku hanya bisa memfasilitasi dia.
"'Yang ingin aku katakan..., tidak ada yang menghalangi Nona. Coba saja dulu. Jika perlu bantuan, Nona dapat kembali ke sini.' Ayahmu kemudian pergi meninggalkanku begitu saja di meja, dengan dua gelas teh hangat dan singkong yang tak termakan."
"Jadi..., apa yang Kakak inginkan?"
"Keinginan Kakak sudah lewat Artur," balas dia dengan wajah penuh rasa sakit. "Kakak menginginkan seorang anak, sebuah keluarga. Kakak mendapatkan anak itu, tetapi Kakak tidak bisa memberikan dia keluarga."
"Di mana dia sekarang?" tanyaku lemas.
"..." Kak Dina tidak menjawab sama sekali. Dia hanya menatap ke pada perutnya, meraba-raba rahimnya seakan gerakan itu dapat menenangkan kepedihan yang dia tanggung.
Melihat itu, aku paham akan yang terjadi. Aku hanya bisa berkata, "Maaf."
"Tidak apa-apa Bang Artur. Setidaknya kamu telah memberikan apa yang Kakak cari. 'Kesempatan untuk membesarkan seorang anak.' Walau, hanya beberapa bulan saja." Kemudian Kak Dina tersenyum hangat menghadapku. Tangannya mengelus keningku seiring dia berkata, "Terima kasih.
Kemudian, elusan tangan itu terhenti. Kak Dina menatap kepada pintu kamarku sembari menarik tangannya ke tubuh. "Sepertinya, giliranku sudah usai."
Ketika aku menyusul pandangan Kak Dina, aku mendapati sosok yang telah lama aku hindari. Sosok berpakaian rapih dinas berwarna cokelat. Sosok dengan rambut pendek keriting yang memeluk wajah penuh garis umur.
Ibuku.
Dia berjalan mendekat padaku. Tetapi, Langkah dia janggal. Dia yang selalu melangkah dengan mantap seakan dunia berada di bawah kakinya, melangkah dengan keraguan.
Aku tidak menatap kepada wajahnya. Tetapi, aku tetap menyambut ibuku. "Halo bu."
Tidak ada jawaban.
Kesunyian kembali menyelimuti ruangan.
Kemudian..., kesunyian itu pecah. Sebuah isak tangis menggetarkan udara di sekitar kami berdua. Ibuku bergegas memeluk aku. Tangisannya pun pecah menjadi sebuah raungan. "Untunglah kamu tidak apa-apa nak."
"Iya, aku tidak apa-apa," balasku. Tetapi, karena pengalamanku sebelumnya, aku selalu mengantisipasi ibuku menginginkan sesuatu. "Setelah dua tahun ini, ibu baru mengunjungiku. Apa yang ibu mau?"
Secara perlahan ibuku mengambil langkah mundur dan pelukannya terlepas. Dia mendudukan diri pada bangku Kak Dina sebelumnya. "Ibu tahu sebelumnya ibu menggunakan kamu sebagai pion Nak. Di saat itu, ibu lebih memikirkan keamanan karir ibu, karena ibu tidak mau kalah sama ayahmu.
"Untuk itu..., maafkan ibu," tangis dia sambil menyembunyikan wajahnya di balik tas dinas.
Karena aku tidak bisa memutar kepalaku sepenuhnya, aku hanya bisa mengarahkan mataku kepadanya. Aku berkata, "Aku tidak tahu apakah aku kuat untuk memaafkan ibu. Tapi..., kalau kita mau coba lagi dari awal, aku bersedia.
"Bagaimana Bu?"
"Baiklah, kita coba dari awal lagi," balas ibuku. Dan, untuk pertama kalinya aku melihat ibuku tersenyum tulus. Walau matanya sembab dan wajahnya berhias air mata, garis mulutnya tertarik dengan luwes.
Ibuku kemudian menciumku di kening. "Cepat sembuh Nak," tutupnya.
Ketika ibuku kembali duduk di kursinya, sejumlah tamu baru muncul dari balik pintu kamarku. Mas Irul, Pak Usman, dan sejumlah pegawai dari Cakrawala Baru hadir untuk menjengukku.
"Syukurlah Bang Artur baik aja," seru Mas Irul ketika memasuki ruangan. "Maaf Bang, saya agak telat. Harusnya tadi rekaman, tapi pas dengar panggilan dari Kak Dina, saya langsung ke sini.
"Lukanya ga parah-parah amet kan Bang?"
"Ya..., aku di gypsum total. Tapi, aku baik aja."
"Hhah..., syukurlah."
"Kita ketemu lagi Chef Artur," sambut Pak Usman. "Sebelumnya, saya berterima kasih telah memperkenalkan saya dengan Pak Irul. Musik dia adalah suara yang sudah lama saya cari.
"Di sisi lain, saya sudah mendengar tentang anda juga. Saya sempat tidak percaya orang seperti anda berteman dengan Pak Lintang yang notabene 'menghalalkan segala cara' demi uang dia. Nyatanya anda mencoba sebaik mungkin untuk membantu orang-orang yang tak mampu, anda mempertemukan saya dengan Pak Irul.
"Saya berharap yang terbaik untuk Bapak dan semoga Bapak mendapatkan jalan keluar."
Saat aku mendengarapa yang diucapkan oleh Pak Usman, aku menyadari, "Mungkin aku belum gagal seutuhnya."
***
CATATAN
1. Escort merupakan jasa "hiburan dewasa" seperti PSK yang umumnya dikonsumsi oleh orang-orang Ekonomi Kelas Atas.
Aku telah bermandi lumpur dan darah. Aku telah menjorokkan wajah orang lain dalam lumpur yang sama. Tetapi, ada satu yang tetap tersenyum.
Aku pendosa dan dia yang percaya.
VOTE, KOMEN, DAN SHAREEE!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top