TRACK 015 • KENYATAAN PAHIT I
Pindai dokumen proyek pembangunan.
Catat beragam risiko dan tantangan yang harus dihadapi oleh Tim Tanggung Jawab Sosial.
Susun strategi penanggulangan.
Sajikan kepada atasan, Lerri.
Berulang, dan berulang, dan berulang, kali.
Namun, kesibukan itu tetap sia-sia. Tujuanku untuk mengalihkan perhatianku dengan kesibukan kerja tidak berbuah apa-apa. Suara perempuan itu terngiang di dalam kepalaku. "Aku..., kecewa..."
"Tetapi, aku tidak salah!"
Ketika hari berakhir, aku kembali ke penginapanku. Sebelum-sebelumnya, aku selalu bertemu dia di tengah perjalanan pulang. Nyatanya, aku tidak menemukan wajah familiar itu di jalan.
Ketika 'Warung Senja' terbuka untuk menyambut tamu-tamu yang memerlukan makan malam, dia tidak hadir.
Tetapi, saat hari berakhir, wajah dia kembali muncul, mengingatkanku seberapa kecewanya dia.
Aku tidak bisa tidur.
Saat aku bangun, aku tidak bisa bekerja dengan benar.
Berulang, ulang, ulang, ulang kali. Selama dua minggu.
Rasa muakku pun akhirnya meluap. Aku membakar rasa muak itu dengan mencari proyek terberat yang dihadapi oleh Kantor Sinar Lintang Konstruksi.
Aku menawarkan diriku untuk menemani Lerri bertemu langsung dengan pihak yang mengajukan proposal proyek ini.
Dia pun setuju dan kami berangkat.
Kami bertemu Pihak Pengaju di sebuah restoran mewah di Karawang. Aku masuk dengan Lerri menggunakan batik rapih. Dia telah menunggu dengan seragam partai.
Lerri membuka dengan basa-basi.
Aku menyusul dengan bukti dan jaminan bahwa proyek dia aman di tangan kami. Aku pun menjamin bahwa program kami akan sangat menguntungkan Pihak Pengaju di pemilihan umum selanjutnya.
Seusai kami berbincang tentang usaha, kami melanjutkannya dengan berbasa-basi tentang hal-hal fana. Tetapi, perhatianku tidak berada di ruangan itu, di meja maka itu. Aku berada di dalam kepalaku sendiri. Aku meyakinkan diriku, "Biarlah dia kecewa. Aku tidak perlu pengakuan dia.
"Aku tidak salah."
Ketika sesi pertemuan kita usai, aku kembali pulang bersama Lerri. Aku duduk di sebelah dia, di dalam mobil mewah Audi-nya.
Dia kemudian menghadapku. "Broo, gua tahu loe semangat banget setelah terbukanya 'Cakrawala Baru.' Tapi, gua baru tau loe sesemangat ini!"
"Ya..., memaksimalkan momentum yang kita punya. Kalo kelamaan, kita ketinggalan kesempatan-kesempatan lain."
"Bener!" seru dia dengan puas. "Kalo kayak gini, lama-lama perusahaan gua dah bisa setara ama BUMN.
"B, T, W. Tar pas sampe kantor, loe bisa mampir ke kantor gua? Ada yang mau gua bahas ama loe."
"Bisa."
Ketika kami tiba, aku langsung berangkat bersama Lerri ke dalam kantornya. Kantor itu masih sama seperti sebelumnya, terang dan penuh barang mewah. Namun, aura dari kantor itu sedikit berbeda dari biasanya. Aura itu lebih menyambutku lebih baik daripada sebelumnya.
Lerri langsung mendudukan diri di belakang mejanya. "Duduk Tur. Gua mau ngobrol sama loe bentar."
"Bagaimana?" tanyaku kembali seiring mendudukan diri di kursi tamu Lerri.
"Kinerja loe dua minggu ini begitu mantap, gua jadi ga enakan ama loe. Loe menghasilkan kantor gua banyak duit, tapi loe cuma dapat gaji bulanan ama bonus kecil.
"Jadi, gua mau ngasih ini," ucap dia seiring menyerahkanku sebuah cheque berjumlah Rp150,350,000.-. "Bonus loe."
"Gede amat!" jawabku dengan suara bercanda. Nilai itu begitu besar sehingga aku merasa canggung. Aku berupaya untuk menenangkan diriku dengan candaan itu. "Ni matematikanya gimana?"
"Udah..., loe gau sah mikirin detil. Anggap aja gini. Loe udah mengeksekusi beragam proyek gue. Masing-masing proyek udah bernilai miliaran. Jumlah itu adalah akumulasi dari proyek-proyek yang udah cair dan jaminan loe bakal kerja dengan performa yang sama seperti dua minggu ini."
"Baiklah..., terima kasih bos."
"Sama-sama," ucapku seiring melangkah meninggalkan ruangan kantor Lerri.
Namun saat aku melangkah keluar dari bingkai pintu, pikiran itu kembali. Wajah dia kembali terbakar di dalam benak. Aku tidak bisa membungkam suara yang dia lontarkan, "Aku..., kecewa."
"Aku tidak salah!"
***
Pikiran itu tidak pudar-pudar dari dalam benakku. Aku terus mencari pengalihan lain.
Aku mencari peralihan dengan pendampingan seorang gadis.
Dengan bonus yang telah diberikan Lerri, aku mengundang kembali gadis manis yang ku hibur di malam pembukaan 'Cakrawala Baru.' Nona Sally Sunidja.
Aku kembali mengenang perbincangan kita berdua saat pembukaan restoranku. Cara dia membawa diri, cara dia menyusun kata saat berbincang, begitu indah dinikmati mata maupun telinga. Aku pun percaya perbincangan kita begitu mengikat, aku merasa sesuai dengannya.
Aku menjemput dia di depan apartemennya dengan Taxi Black Falcon, fasilitas transport termewah yang bisa di sewa di Karawang. Sebotol champagne dan dua buah gelas tersedia di tengah-tengah kursi.
Aku kemudian beranjak keluar kabin taksi untuk menjemput dia. Tepat saat aku menutup pintu, mataku disambut oleh paras indah Nona Sally. Dia menggunakan casual dress berwarna abu-abu yang memeluk tubuhnya erat. Sisi kiri dress itu terbelah dari pertengahan paha hingga kepada kakinya, menampilkan kulitnya yang berkilau.
Namun, aku masih tidak bisa menikmatinya. Suara yang sama, suara yang menghantuiku berbunyi semakin keras di dalam kepala. Aku kembali mendengar kekecewaan Kak Dina di dalam kepalaku.
Aku kemudian mengalihkan perhatian dengan menyambut Nona Sally ke dalam mobil. "Maaf," ucapku seiring menopang tangan Sally untuk memasuki mobil. "Aku tidak bisa memberikan lebih untuk transport."
"Tidak apa-apa," balas dia dengan senyuman begitu elegan. "Ini kencan perdana kita, tidak harus mewah banget, ini sudah mencukupi."
"Mari kita berangkat?"
"Mari."
Dengan itu, aku menutup pintu taksi dan kami pun berangkat ke restoran terbaik di Karawang.
Aku kemudian membuka perbincangan dengannya, berupaya mendekatkan diri. "Kalau boleh tahu, dari semua lelaki yang ada di bawah langit Karawang, kamu bisa memilih beragam orang. Tapi, kamu malah memberikan nomormu padaku. Apa yang membuat aku mendapatkan perhatianmu Sally?"
Dia pun terkekeh saat mendengar suaraku. Dengan suara menggodaku dia menjawab, "Jadi kamu ga mau dapat perhatian dariku? Sini biar tak hapusin nomornya."
"Oh..., tidak bisa," godaku kembali. "Kalau kamu sudah memberikan, kamu tidak bisa narik lagi dong.
"Tetapi, aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu. Aku hanya penasaran saja."
Dia kemudian menundukkan wajahnya sementara, menyembunyikan senyumannya yang manis dariku. Saat dia kembali menghadapku, dia berkata, "Aku tidak tahu juga sebenarnya. Saat aku melihat kamu masuk ke kantor Pak Lintang, aku melihat orang yang hidupnya sudah tertata.
"Tetapi, aku diam saja karena aku ingin pasti. Aku memperhatikanmu dari kejauhan dan kamu terlihat tahu akan apa yang kamu inginkan.
"Jadi, aku mencoba saja."
"Hidup yang tertata ya..." gumamku seiring membuang muka. Kalimat itu terasa meremas hatiku sehingga aku tidak kuat menatap Sally di mata. Seiring aku membuang pandanganku kepada cahaya kota, aku membalas Sally, "Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan."
Kecepatan taksi kami perlahan menurun usai aku menutup kalimatku. Kemacetan jalan raya Karawang perlahan semakin padat. Kemudian, secara perlahan sebuah siluet yang familiar terukir dari balik film kaca.
Siluet itu sedang mengarungi jalan-jalan setapak. Dia mengumpulkan beragam kepingan-kepingan acak dari permukaan jalan setapak dan jalan raya.
Aku secara tiba-tiba bergumam, "Pak Ruyatno?"
Dari balik benak, aku mengenali siluet itu yang sedang bersakit-sakit mengumpulkan sampah. Itulah siluet dari Pak Ruyatno.
"Mengapa ia kembali mengumpulkan sampah di jalan? Adakah sesuatu yang salah?"
Aku pun bergegas untuk menjenguknya.
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Secara insting aku membuka pintu dan bergegas untuk berbincang dengannya. Aku membuka pintu dan meninggalkan Sally di dalam taksi itu.
Seiring aku berlari menyeberangi jalan raya yang terhenti, aku bergumul di dalam benakku. "Aku pikir engkau mempercayakan ini kepadaku?"
"Aku percaya kepadamu. Tetapi, ini salah. Ada yang salah! Mengapa Pak Ruyatno kembali memungut sampah di jalanan?"
"Mungkin dia kepengen aja?"
"Tidak aku tahu ada sesuatu yang salah!"
Sambil aku berlari, aku menyahut, "Pak Ruyatno!"
Dia tetap fokus memungut sampah, mengabaikanku.
Aku kemudian melangkah semakin dekat kepadanya. Aku menjangkau pundaknya dengan tanganku. "Pak Ruyatno?" tanyaku kembali dengan suara pelan nan kebingungan. Tidak hanya itu, aku pun merasakan ketakutan yang amat sangat.
Aku tidak berani untuk mengetahuinya. Tetapi, aku harus tahu.
Saat aku menyentuh pundaknya, dia pun menghadapku. Aku terkejut. Rasa takutku terpenuhi. Aku memandang kepada Sang Bapak yang sekarang dibalut oleh perban. "Jangan lagi Artur Kecil," ucap dia dengan suara memelas.
Aku menyadari tidak selamanya jalanku akan terus ke atas. Tetapi saat itu jatuh, rasa sakitnya amat sangat, tidak tertahankan.
VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top