TRACK 014 • SANGKAL KENYATAAN

Aku telah berbincang dengan orang-orang yang duduk di atas takhta yang lebih tinggi dari langit. Harga baju-baju mereka sejumlah uang makan sebulah rakyat jelata. Emas terpakai cuma-cuma bagai lembar alumunium dapur.

Aku telah berpesta dengan tangan-tangan yang mengendalikan kehidupan masyarakat dengan benang-benang besi. Kata-kata dari mulut mereka lebih manis dari madu. Namun, hati mereka lebih gelap daripada lubang-lubang terdalam yang pernah digali oleh manusia.

Mereka bertindak seakan garis fantasi dan kenyataan tidak ada. Yang mereka inginkan terjadilah.

Dan aku..., memfasilitasi sebagian dari fantasi mereka.

Makanan yang tersaji hingga ke langit-langit gedung. Alkohol dan minuman mewah tertuang bagaikan air hujan. Semua itu disajikan oleh pegawai-pegawaiku yang berparas cantik.

Pemandangan itu terlihat bagaikan lukisan kehidupan fana para Petinggi-Petinggi Kekaisaran Romawi.

Aku hanya menyaksikan cuplikan itu dari kejauhan sebelum kembali kepada tugasku saat ini. Tugasku untuk menghibur gadis manis di hadapanku, Nona Sally.

Kami berbincang ria tentang hari-hari yang kami lalui. Aku bercerita akan jerih payahku menyusun konsep restoran ini, akan upaya-upayaku untuk menyukseskan diri.

Sally bercerita akan kebanggaan dia bekerja di bawah Lerri. Dia tahu akan keindahan parasnya dan dia menggunakan kenyataan itu semaksimal mungkin. Untuk keuntungan perusahaan Lerri. Untuk keuntungan dia.

Kami bertukar angan-angan masing-masing.

Malam yang indah.

Tetapi, malam ini dirusak oleh salah satu pegawaiku. Dia dengan lancang menarik lenganku saat aku sedang menghibur tamu. "Maaf Pak," ucap dia dengan suara canggung.

"Ada apa?" balasku menahan kesal di balik senyuman. "Tidakkah kamu tahu aku sedang dengan tamu? Mengapa kamu tidak menghibur tamu-tamu yang lain."

Dengan suara lemah dan terbata-bata dia berkata, "M-ma-af Pak. Saya tidak bermaksud untuk merusak malam bapak. Tapi..., tamu Bapak –"

"Lah, bukannya Bu Dina telah pergi? Si musisi sedang berbincang dengan Pak Usman?"

"Bukan mereka Pak. Anak kecil yang ikut dengan tamu Bapak. Dia tertidur di lantai kantor."

"..."

"R..., o..."

Aku lupa kalau bocah mengesalkan itu ikut dengan kedua tamuku. Dia terabaikan karena aku terlalu berfokus untuk memberikan performa terbaik untuk tamu-tamu 'Cakrawala Baru.'

Aku kemudian menekankan pada Sang Pegawai, "Ya sudah, tolong bangunkan dia dan suruh dia pulang!"

"Tetapi," balasnya ragu. "Dia seorang anak kecil Pak. Dia perlu pendamping."

"Hhaah...," hela nafasku kesal. "Dengar baik-baik, anak itu sudah lama tinggal di jalanan. Setiap pagi dia muncul di depan tokoku dan setiap malam dia pulang sendiri.

"Aku yakin dia bisa pulang sendiri juga dari restoran ini."

"B-ba-baiklah Pak. Tetapi, sebaiknya dia keluar dari mana?"

"Suruh anak itu keluar dari pintu belakang. Tidak enak jika dia terlihat di antara orang-orang ini.

"Apa yang kau tunggu? KERJAKAN!" tegasku dengan suara berbisik.

Pegawai itu pun bergegas kembali ke ruangan dapur untuk membangunkan bocah itu.

Aku kemudian menghadap kepada Sally. "Mohon maaf," ucapku terkekeh. "Terkadang bisnis sering menginterupsi kegiatan sosial."

"Tidak apa-apa," ucap Sally dengan senyuman manis. "Kita berdua sama-sama di bidang usaha. Sudah wajar hal-hal sepele bentrok dengan kepentingan kita.

"Di sisi lain..., ketegasanmu, kendalimu terhadap pegawaimu begitu menarik. Aku suka itu."

"Terima kasih. Mungkin kamu akan menyukai lebih lagi jika kita berbincang lebih lagi."

Dengan itu, kami berdua melanjutkan perbincangan hingga kedua tangan jam dinding bertemu bersama di bawah angka 12. Para orang kaya dan petinggi yang diundang oleh Lerri mulai kehilangan keseimbangan karena kenyang dengan daging dan alkohol.

***

Aku tiba di depan penginapan pada pukul 04.00 WIB. Biru langit Karawang perlahan menjadi terang. Bintang-bintang yang menyelimuti langit perlahan berubah menjadi selimut asap dan polusi.

"Indahnya dunia industri," ucapku di dalam benak.

Aku membuka gerbang besi di hadapanku.

Seiring gerbang itu bergeser, sebuah wajah familiar menatap kembali kepadaku. Wajah itu penuh kesedihan, penuh kekesalan, dan penuh kekecewaan. Wajah itu adalah milik Kak Dina.

Aku tidak mengacuhkannya. Aku tetap menyampaikan, "Selamat Pagi Kak Dina."

Dia merunduk, mengabaikan wajahku.

Walaupun tidak ada suara, aku bisa mendengar kekecewaannya menggetarkan udara.

Tiba-tiba, aku dengan spontan bertanya, "Ada apa Kak?"

"..."

Kak Dina terdiam di tempatnya setelah mendengar panggilanku. "Kakak tidak ingin berbicara denganmu pagi ini. Itu juga alasan Kakak berangkat pagi."

Terkejut, aku melanjutkan, "Memangnya ada apa Kak? Pembukaan usahaku sukses. Yang berarti orang-orang yang Kakak percayakan padaku juga akan mengalami sukses yang sama," jelasku dengan bangga kepadanya.

Tetapi, pernyataan bangga itu tidak disambut dengan baik. Kak Dina mengangkat wajahnya dan menatapku dengan amarah yang berbaur dengan kesedihan. "Kakak tidak percaya kamu benar-benar memandang 'kegiatan' itu sebagai kesuksesan.

"Tetapi, kalau kamu benar menganggapnya sebagai 'sukses', aku hanya bisa kecewa padamu. Artur Arman."

Mendengar apa yang telah dikatakan oleh Kak Dina, aku tahu jelas ada yang bercerita kepadanya.

Aku ingin mengamankan muka dengan berpura-pura bodoh, abai akan apa yang terjadi. Nyatanya, upaya itu akan sia-sia. Kak Dina memiliki mata yang mengenal hati.

Aku hanya bisa mengatakan kenyataannya. "Aku hanya melakukan apa yang terbaik untuk mereka. Dan yang terbaik adalah mereka harus sakit-sakit dahulu seperti aku juga.

"Semua akan sepadan dengan hasil jangka panjangnya."

Amarah Kak Dina semakin memanas walaupun wajahnya tidak menunjukan. "Tidak ada harta yang sepadan dengan penghinaan yang mereka lalui Artur!

"Sebelum aku pergi dari acara itu aku telah mengingatkanmu, 'Kamu bertanggung jawab akan keamanan mereka dan kesejahteraan mereka!'

"Nyatanya, kesejahteraan mereka tidak berarti apa-apa di matamu Artur!"

"Jadi?" sambungku tegas dihadapan Kak Dina. "Mereka memilih keputusan ini. Mereka menanda-tangani kontraknya. Jika mereka tidak kuat, mereka bisa mundur.

"Nyatanya, mereka menetap. Artinya mereka yang menginginkannya."

"Sudah!" tutup dia. "Aku tidak perlu mendengarkan pembenaranmu lagi. Kalau memang itu yang kamu percaya, aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa kecewa."

Dia pun berjalan meninggalkan ku di depan pagar.

Aku tidak tahu mengapa, tetapi perkataan dia membuatku begitu kesal.

Seiring dia berjalan meninggalkan aku, sejumlah kata aku lontarkan padanya. "Aku tidak perlu pengakuanmu! Aku sudah membangun usahaku sendiri dan aku akan mempertahankannya!"

"Aku tidak salah."

"A.., lelah... M...af K... ...Na."

Aku kemudian bergegas kembali kepada kamar tidurku. Setidaknya kejadian ini dapat aku luruhkan dari dalam pikiran seiring aku istirahat.

***

Aku merasa gelisah selama aku tidur. Otakku tidak ingin berhenti untuk beristirahat. Udara terasa lembab walaupun AC menghembuskan angin bersuhu 16 derajat celcius.

Aku tidak bisa tidur karena sebua skenario menghantui benakku. Skenario Kak Dina meninggalkanku di depan pagar pagi ini. Kata-kata dia berdering, "Kalau itu yang kamu percaya, aku tidak punya rasa lain selain kecewa."

Aku pun bertanya mengapa pernyataan itu terkenang. Aku tidak salah.

"Aku tidak salah."

Kegelisahan itu akhirnya membangunkanku. Setengah dari tubuhku beranjak dari tempat tidur.

Saat aku menatap kepada jam digital pada permukaan meja, layarnya memberitahuku bahwa pukul 10.00 WIB telah tiba. Waktu aku harus berangkat kerja.

"Aku harus segera bersiap-siap!" seruku di dalam kepala. Aku berharap kesibukan di kantor Lerri bisa mengalihkan perhatianku.

Mandi. Berpakaian. Kemudian, berangkat.

Setiba aku di kantor, Lerri menyambutku dengan heboh dan ria seperti biasanya. "INI DIA SUPERSTAR GUA!" sahutnya saat aku keluar dari lift. "Bagaimana loe? Seger? Dah siap kita bisnis?"

"Siap lah...," balasku kembali dengan semangat baru ini. "Kalo kamu seheboh ini, pasti ada proyek baru nih di tangan."

"Jelas lah broo. Gara-gara loe dan resto kita berdua, proyekan pada masuk ke gu–, sori, ke usaha kita. Tinggal loenya, siap kaga?"

"Siap lah..., masa kaga siap buat ngumpulin duit," seruku sambil mengambil langkah ke dalam gedung, melalui Lerri.

"Gitu dong," balasnya sambil merangkul bahuku erat. "Btw, gua udah naro dokumen-dokumen TJSL untuk masing-masing proyek di meja loe. Tolong review ya?"

"Jelaslah boss," balasku menyesuaikan energi Lerri. "Tar aku buatkan strategi kerja kita untuk masing-masing proyek!" sahutku seiring meninggalkan rangkulan Lerri.

Setibaku di meja, aku bergegas memilah dokumen-dokumen yang diberikan. Sekitar 30 proposal pembangunan oleh pemerintahan. 30 kasus TJSL yang sama, 'Tanah Ditempati oleh Warga Liar.'

Aku memindai.

Aku menyusun ringkasan kejadian.

Aku menjadikannya panduan strategi.

Berulang, ulang, kali.

Namun, kenyataannya tetap sama. Kesibukanku tidak menghilangkan kata-kata dia dari dalam kepalaku. "Aku..., kecewa."

Setelah semua yang telah ku lalui, aku tidak salah. AKU TIDAK SALAH. Semua akan dibenarkan oleh hasil akhirnya.

VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA TEMEN-TEMEN!!! TRIMS.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top