TRACK 012 • RANTAI KEHILANGAN

Aku merasa mual. Semua emosi, amarah, takut, dan khawatir, bergejolak di dalam batin. Aku bergegas kembali ke meja Lerri, tempat para petinggi itu duduk.

Aku mengabaikan tamu yang beralalu-lalang menikmati makananku. Mataku hanya terfokus pada pegawaiku.

Wajah dia begitu risih. Dia terlihat kesakitan saat salah satu Pengunjung Berbaju Partai menarik pegawaiku dari pinggangnya.

Dengan gesit aku menepis tangan Pengunjung Berbaju Partai itu pergi.

Aku menarik pegawaiku, mengamankan dia di belakang punggungku. Topeng berlapis besi ku angkat kepada wajahku, menegaskan, "Mohon maaf Pak. Pegawai k–"

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, tubuh besar Lerri berjalan sempoyongan kepadaku. Seluruh beratnya tertumpu padaku. Dia bergumam, "G..hua... dah kbva...yak..an ...num.

".I..let," ucapnya sambil mendorongku hingga kepada kamar mandi belakang.

Aku tergopoh-gopoh menopang massa Lerri. Tetapi, aku berhasil menuntun dia ke depan pintu sekat salah satu toilet. "Keluarkan saja," ucapku kepada Lerri. "Nanti aku ambilkan susu u–"

Kalimatku terhenti seketika. BUGH, bunyi dentuman menggetarkan udara. Kemudian, aku merasakan sebuah hantaman keras pada keningku. Warna merah mengalir ke pelupuk mata kiri.

Lerri menghantamkan keningnya padaku. Wajahnya merah padam dan matanya dipeluk oleh ribuan pembuluh darah halus merah.

"Loe goblok ya?" tanya dia dengan suara datar. Suara ancaman yang merayap halus sebelum menjadi bencana.

"Apa?" balasku bingung. Bingung akan tindakan Lerri. Bingung akan amarahnya.

"Gua nanya, loe jawab!" tegasnya halus penuh kesal. "Loe goblok ya?!"

"Kaga. Aku hanya melakukan yang seharusnya dilakukan pemilik usaha, 'Melindungi karyawanku!'" tegasku pada Lerri.

Dia kemudian menghela nafas. Wajah dia kembali datar dan amarahnya memudar.

Seharusnya, sebagai rekan usaha, ketenangan dia adalah pertanda baik. Pertanda rekanku menghormati prinsipku.

Nyatanya..., aku salah.

Lerri menggenggam kedua lenganku. Aku bisa merasakan beban yang ditopang oleh kedua tapak kakiku semakin ringan, aku terangkat dua centi dari permukaan keramik kamar mandi.

Dengan tatapan tajam dan suara tenang pengusaha, dia bertanya, "Loe tahu kaga tangan siapa yang baru aja loe pukul?"

"A–"

"Jangan loe bilang 'Apa peduli loe?'!

"Gua tahu itu reaksi loe kalo dah keras kepala.

"Orang itu Sekretaris Jenderal Partai Amanah Alamm. Dan DIA yang ngesahin ijin usaha gua!!!

"Usaha yang loe pake buat 'nyelamatin' orang-orang Lot 07!!!"

"Dan apakah dia harus bertingkah seperti itu!?" bentakku seiring menendang Lerri di perutnya yang tebal. "Macam hewan yang tidak tahu tata krama?"

Lerri mendekat kemudian. Kedua kerahku pun ditariknya. "Tata krama? Mereka orang paling berkuasa di sini, MEREKA YANG NGATUR TATA KERAMA!!!

"Ditambah lagi. Loe dengan 'Memberikan Kesempatan Kedua' bullshit. Gua dan loe udah –. Kaga. Kita berdua udah tahu staff loe datang dari mana.

"Dan gua tahu loe mengabaikannya.

"Mengabaikan pikiran itu.

"Sekarang, gua minta loe pikirin ini, 'Gua punya 10% dan gua kaga masalah. Tapi gua yang menjadi dinding loe dari orang-orang di meja gua.' Kalo loe mau gua lepas, silahkan.

"Tapi..., kalo gara-gara loe, gua juga kena. Gua bakal pastikan yang sakit adalah orang-orang yang 'loe tolong.'"

Setelah mendengar itu, semua gejolak emosi yang berputar bagai badai di dalam perutku menjadi padat. Padatan itu begitu dingin, membekukan darah hingga kakiku goyah.

Aku pun bergegas menopang seluruh beban tubuhku pada permukaan wastafel.

Saat aku mengangkat kepala, aku melihat wajahku pucat. Tetapi, wajah itu berbeda. Wajah itu terlihat..., prihatin.

"Kenapa kamu pucat?"

"Aku baru saja menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan."

"Lerri?"

"Ya..."

"Kamu tahu..., dia benar."

"Benar tentang apa?"

"Tentang semuanya. Tentang kuasa orang-orang itu. Tentang pegawai kita."

"Pegawai kita tidak terlibat hal ini!"

"Tetapi mereka terlibat temanku. Mereka menikmati kesempatan kedua yang kau beri, padahal engkau sedang bersakit-sakit.

"Setidaknya mereka dapat berterima kasih dengan tidak banyak minta. Bekerja saja. Kalau ada pelanggan yang kurang ajar, tangguhkan."

"T –."

"Tidak perlu 'Tapi-tapi.' Kalau kamu memang tidak kuat, biarkan aku yang mengambil alih.

"Istirahatlah. Hm?"

"Apakah aku bisa percaya padamu?"

"Hoo..., tentu kawan."

"Apa jaminanmu?"

"Aku adalah kamu. Kamu adalah aku. Aku hanya membantumu untuk percaya pada dirimu sendiri."

"Aku lelah...

"Baiklah. Dan..., terima kasih."

"Istirahatlah. Biarkan aku yang mengambil alih untuk sekarang."

Aku telah mengiyakan permohonan dia. Aku lelah. Aku perlu beristirahat.

Tetapi..., aku merasakan hal yang janggal. Aku merasakan rasa yang sama saat aku mempertemukan Warga Lot 07 dengan PT Sinar Lintang Konstruksi. Rasa dingin yang amat sangat. Rasa yang begitu berat untuk aku topang sendiri.

Aku merasakan kepingan baru dari dalam diriku pecah. Hanya satu keping yang tersisa dan keping itu tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa memandang serpihan-serpihan itu jatuh ke dalam lubang yang terlihat abadi.

Aku membasuh wajahku dengan air dari wastafel. Air itu terasa segar di wajah. Dan lucunya terasa lebih segar lagi saat air itu menyentuh luka pada keningku.

Saat aku menatap wajahku, sebuah perasaan baru terpompa dari batinku. Rasa itu begitu panas namun begitu indah. "Inikah rasa percaya diri?

"Aku menyukainya!"

Dengan itu, aku membuka kedua daun pintu kamar mandi. Aku melangkah keluar dengan langkah yang mantap dan pasti.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top