TRACK 011 • KEBAHAGIAAN TERBATAS

Lerri memintaku untuk mempercayakan pembukaan 'Cakrawala Baru' yang kedua kali padanya.

"Haruskah aku mempercayakannya pada dia?"

"Kamu ingin restoran ini sukses bukan? Apalagi agar pegawai-pegawaimu digaji?"

"Ya, aku menginginkan itu."

"Artinya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."

Akhirnya, aku mengangkat kepala untuk menghadap Lerri. "Baiklah, aku percayakan padamu Lerri."

"Nah..., gitu dong," ucap dia puas. "Sekarang, gua minta tolong loe nih. Gua ga mau ngelangkahin loe tapi, kira-kira loe bisa masak berapa banyak?

"Dari sekarang? Sekitar 80 piring."

"Itu satu menu ato prasmanan?"

"Satu menu."

"Sip!! Siapin segitu, sisanya gua yang urus.

"Oh, sediakan musik. Jangan suram banget gini broo," ucap Lerri seiring berjalan keluar.

***

"The lives we make, never seem to get us anywhere but dead..."

Chris Cornell - Soundgarden

***

Malam pun tiba.

Aku dan pegawaiku masih menunggu pelanggan-pelanggan lain. Sebagian membersihkan meja yang baru digunakan satu atau dua pelanggan.

Saat aku membantu menata beberapa piring, deringan bell pintu pun terdengar. Bell itu kemudian disusul oleh suara yang familiar. "Malam ini Kak Dina yang traktir ya."

"Baik kak," balas seorang pemuda dengan suara tertahan, dia sedikit tidak nyaman makanannya dibelikan orang lain.

"Yay! Makan di resto baru Bang Artur!" susul suara anak kecil.

Aku kemudian meninggalkan dapur untuk menyambut mereka. "Malam semua!" sahutku tersenyum.

"Weh!!! Bang Artur akhirnya menyambut kita dengan senyuman!" goda Kak Dina.

"Tentunya aku berbahagia Kak. Engkau salah satu orang yang mengembalikan harapanku.

"Aku mengerti mengapa engkau senang berbicara dengannya ayah."

Aku pun terkekeh kecil saat mendengar itu. Aku kemudian menanyakan, "Kira-kira Kak Dina, Mas Irul, dan Rio mau makan apa? Beberapa makanan telah kami siapkan terlebih dahulu karena ada acara."

"Hoh?" sahut Kak Dina terkejut. "Ada acara apa?"

"Partner usahaku menawarkan untuk melakukan pembukaan kedua malam ini. Dia berencana untuk mengundang teman-temannya."

"Oh? Boleh kah kami ikut?"

"Boleh saja kak," ucapku bahagia. "Lebih ramai lebih baik."

Tepat saat aku menutup kalimat, gemuruh massa terdengar di depan pintu 'Cakrawala Baru'. Bermacam orang berjalan mendekat dengan pakaian-pakaian rapih mereka. Beberapa juga terlihat bergaya mewah dengan jam berlapis emas atau kemeja-kemeja mahal. Di depan mereka, Lerri sedang berbincang dengan orang berseragam partai.

"Mari masuk. Selamat datang di restoran kami 'Cakrawala Baru'!" serunya dengan heboh.

Saat Kak Dina menatap rekanku, wajah dia menjadi masam. Senyuman tulus keibuan yang dia pasang berubah menjadi sebuah wajah yang familiar.

Wajah plastik yang biasa aku gunakan untuk menangguhkan diri. Wajah plastik yang sama.

Tiba-tiba Lerri menyambut aku dengan langsung, "Hoh! Gua baru tahu loe kenal Mba Dina Artur."

"Ya -"

Sebelum aku bisa menanggapi Lerri, Kak Dina yang mengambil alih. Wajah plastik dia semakin keras, semakin dingin. Dengan suara bagai sekretaris profesional dia berkata, "Ya Pak Lerri, saya yang menyediakan pegawai untuk Artur."

"Hoo..., pantes staffnya..., berkualitas."

Lerri pun mengalihkan perhatiannya kepada Sang Musisi. Matanya menatap tajam, Sang Musisi pun terlihat seperti menopang sebuah massa yang tak terlihat. "Jadi, ini musik malam ini Artur?"

"Iya," balasku.

"Kira-kira loe bakal bawain -. Ga jadi, kalo Artur dah milih Loe, gua yakin pasti kualitasnya ga dipertanyakan," ucapnya seiring menepuk bahu Sang Musisi.

"Artur, loe ikut kaga? Biar gua kenalin ama kenalan-kenalan gua"

"Haruskah aku ikut?"

"Kamu ingin sukses bukan?"

"Aku tidak tahu."

"Aku ganti deh. Kamu ingin bisa membantu orang lebih banyak bukan?"

"Iya. Tapi..., orang-orang ini membuatku ragu. Aku tidak tahu motif mereka."

"Tetapi, kamu butuh dukungan mereka bukan."

"Sepertinya."

"Bergeraklah!"

Walaupun aku ragu-ragu, aku tetap melangkah maju. "Aku ikut lah Lerri. Mungkin ada peluang lebih jika aku berbincang dengan mereka."

"Gitu dong!!!" sahut dia bangga. "Perlahan loe bakalan ngerti tentang kehidupan bisnis."

Lerri telah berjalan terlebih dahulu dari aku. Aku menyusul kemudian di belakangnya, masih menggunakan seragam koki dan celemek. Namun, langkahku tercegat.

Lengan Kak Dina menggenggamku erat. Dia menarikku kepada wajahnya, namun mempertahankan posisi kami seakan normal. "Aku tidak menyalahkanmu untuk berteman Artur. Hanya saja, aku tidak menyangka kamu mengenal dia juga."

"Siapa, Lerri?"

"Ya..., Pak Lintang... Lupakan. Aku sekarang menekankan ini padamu karena aku benar-benar percaya padamu Artur, 'Lindungilah pegawai-pegawaimu, kamu bertanggung jawab akan kesejahteraan mereka.' Paham?"

"Paham Kak," balasku terkejut.

Ini pertama kalinya aku melihat ada rasa kecewa terukir di wajah Kak Dina. Suaranya begitu padat. Matanya mengiris tajam ke jiwa, memastikan bahwa aku memiliki pendirian yang kuat.

Kemudian, setelah dia melepaskan lenganku, dia menyusun barang-barangnya perlahan. "Kakak harus pergi dulu. Ada agenda lain. Mas Irul, Bang Artur, awasi Rio ya?"

"Baik kak," balas Sang Musisi.

Sebelum aku meneruskan langkahku, aku menghadap kepada Sang Musisi, "Mas Irul sudah siap?"

"Gue coba menampilkan yang terbaik buat Bang Artur."

"Terima kasih," sampaiku akan kesediaan dia untuk tampil live malam ini. Aku menyampaikannya seiring berjalan meninggalkan Sang Musisi, menuju meja yang diduduki oleh Lerri dan beberapa orang-orang berseragamkan mewah.

Lerri pun menyambutku, "Nah ini dia seniman resto ini. Chef 'Cakrawala Baru'. Kawan terdekat gua, ARTUR!"

Perkenalan heboh itu tidak sesuai dengan pembawaan diriku di hadapan mereka. Langkah dan bahasa tubuhku semakin canggung. "Malam, saya Artur Arman. Pemilik serta koki tempat ini."

Usai perkenalanku, satu orang menanggapi aku dengan langsung, "Nuansa ruangan ini nyaman ya? Ide sendiri?"

Kemudian satu orang lagi menyusul dengan, "Pelayan-pelayannya berkualitas juga."

Beberapa orang lagi berkata, "Makanannya pas. Mantap!!!"

Tetapi, komentar-komentar itu jatuh pada telinga tuli. Suara mereka tidak sesuai dengan wajah-wajah yang aku lihat. Aku bisa melihat jelas wajah Lerri, seorang pengusaha yang melihat emas di segala sisi. Tetapi, wajah-wajah mereka tidak seperti itu.

Wajah plastik yang sama seperti yang aku pakai.

Lerri kemudian menyahut kepada seorang pegawai. "Empat gelas dan satu botol scotch(1) ya?"

"Baik Pak," tanggap pegawaiku.

Aku dan mereka kemudian bertukar kata-kata tak berguna. Bercerita tentang opini, kepunyaan dan mimpi.

"Bagus. Kamu akhirnya belajar."

"Apakah ini langkah yang benar? Aku tidak tahu."

"Kamu tidak perlu ragu. Cukup menghadap ke depan. Cukup untuk membuka lapangan baru bagi yang tak mampu. Benar bukan?"

"..."

Usai berbincang hampa dengan rekan-rekan Lerri, aku beranjak dari tempat aku duduk. "Izin dulu semua, saya harus memeriksa keadaan di belakang."

Nyatanya, aku berbohong. Berbincang dengan mereka begitu menyesakkan, hampa, fana.

Saat aku berjalan, aku kembali dicegat oleh seorang lain. Walau dia tampil mewah, dia terlihat berbeda. Raut wajahnya nyata, bukan berlapis plastik. Matanya cerah memandang ke masa depan.

"Permisi Pak," ucapnya dengan suara halus, suara yang hangat. "Bapak rekan Pak Lintang?"

"Benar pak. Ada apa?"

"Syukurlah. Saya takut saya berbicara dengan orang yang salah. Kalau boleh tahu, anda menemukan musisi anda dari mana?"

"Oh? Mas Irul? Dia salah satu penghuni penginapan saya. Saya hanya meminta dia untuk mengisi malam ini. Last minute," jawabku polos seiring tertawa canggung.

"Ah..., beruntung sekali. Jadi, anda dekat dengan..., 'Mas Irul', benar?"

"Ya...," lanjutku dengan suara sedikit bingung.

Orang itu kemudian menjulurkan tangannya kepadaku. Sebelum aku dapat mengeluarkan tanganku, dia telah merampasnya dari pinggangku. Dengan genggaman tegas dia memperkenalkan dirinya. "Saya Uriel Usman, pemilik dan produser untuk Usman Studio. Musik yang dibawakan oleh..., 'rekan' anda adalah suara yang saya cari saat ini.

"Kira-kira apakah anda dapat memperkenalkan saya dengan beliau?"

Mendengar itu, sebuah pikiran terlintas di dalam benakku, "Aku bisa membantu lagi. Aku bisa melihat wajah bahagia itu lagi. Dan sekarang, wajah bahagia itu datang dari orang-orang yang telah mendukungku."

"Boleh, boleh," balasku mengiyakan. Aku kemudian menghadap ke panggung, memperhatikan Mas Irul meninggalkan kursinya. "Sepertinya Mas Irul juga sedang rehat.

"Mari," undangku ke pada Sang Produser. Kami berdua pun berjalan kepada Mas Irul yang telah menggantung gitarnya untuk sementara dan berjalan menuruni panggung.

"Mas Irul!" sahutku padanya.

"Ya Bang Artur?" balas dia terkejut.

"Perkenalkan, ini Pak Uriel. Dia tertarik dengan musikmu Mas. Kira-kira Mas Irul ada demo yang bisa dibagi?"

Seketitka, aku melihat mata Mas Irul membesar. Kaki dia bergetar halus seakan dia baru saja bertemu wajah malaikat. Dengan suara yang bergetar dia bertanya padaku, "P-p-ak Uriel? Daru Usman Studio?"

"Oh..., anda mengenal saya?" sambut Pak Uriel.

"Tentunya pak," balas Mas Irul sembari dia menyambar tangan kanan dari Sang Produser dengan kedua tangannya. Suara dia begitu semangat dan begitu gugup secara bersamaan. Raut wajah yang dia keluarkan begitu unik di mataku.

Aku begitu berbahagia melihat mereka berhubung dekat begitu cepat. Aku pun memutuskan untuk membiarkan mereka berdua untuk berbincang. "Saya permisi dulu ya."

"Baik Pak Artur. Kami bisa ambil alih dari sini."

Aku bahagia.

Tetapi...

Kebahagiaan itu hanya sementara. Sebuah skenario yang tidak indah terjadi di hadapanku.

CATATAN:
1. Scotch merupakan jenis Whisky yang datang dari Skotlandia.

Kebahagiaan tidak pernah bertahan lama. Tetapi itu lebih baik daripada kebahagiaan semu.

VOTE, KOMEN, DAN SHAREEE KAWAN-KAWAN!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top