TRACK 010 • CENGKERAMAN BERLAPIS EMAS

Cakrawala menggelap. Matahari telah meninggalkan kursi pantaunya di langit. Angin malam pun menyongsong penginapan ayahku dan Warung Senja.

Aku sudah bersiap di meja makan warungku dengan dua piring makanan dan dua nasi kotak. Aku berencana untuk memberikannya kepada Rio dan Sang Musisi.

Aku harus membahas ini mata ke mata dengan Nona Dina.

Walaupun aku telah bersiap, terkadang rasa khawatir, rasa cemasku akan kegagalan kembali merangkak. "Apakah usaha ini akan berhasil? Aku perlu arahan. Aku perlu tuntunan"

                                                                          "Apakah kamu takut?"

"Ya. Aku takut gagal," tangisku dalam benak.

                                                                         "Jadi..., apakah kamu ingin mundur dari mimpimu?"

"Tidak."

                                                                        "Artinya, kamu tahu apa yang harus dilakukan. Benar?"

"Aku tahu."

Aku bisa merasakan tubuhku mendingin karena kecemasan yang menumpuk. Aku kemudian menarik nafas sedalam mungkin, memompa oksigen untuk memanaskan darahku.

"Malam Bang Artur!" sahut Sang Musisi.

Rio pun menyusul di belakang dia. "Bang Irul seru! Aku diajarin main gitar," ucapnya sambil memainkan jari-jarinya di udara hampa bagai gitaris rock band.

Dia kemudian bergegas kepada meja makan yang aku duduki. Kedua tangan kecilnya tertumpu pada sudut meja. "Makanannya udah abang siapkan?" lanjutnya. Dia kemudian menghadapku dengan wajah memelas, "abang mau pergi lagi?"

"Tidak Rio," balasku tenang. "Aku masih di sini kok. Hanya saja aku ada kepentingan lain malam ini."

"Kepentingan apa itu Bang?"

Suara yang telah aku tunggu-tunggu pun tiba. Suara dewasa nan ramah Nona Dina.

"Kepentingan dengan Kak Dina sebenarnya. Aku berharap kita bisa berbincang berdua," balasku dari kursi tempat aku duduk. Mataku menatap tajam kepadanya. Serius.

Nona Dina pun melihat hal yang sama. Dia pun membalas, "Sepertinya benar-benar penting ya Bang? Sampai abang nyiapin dua nasi kotak untuk di bawa oleh Rio dan Mas Irul."

"Benar Kak."

Kemudian Nona Dina menghadap kepada Sang Musisi dan Rio, "Mas Irul, Rio, sepertinya pembicaraan ini serius. Jika kami berdua aja tidak apa-apa kan? Pasti ada waktu lain lagi untuk berbincang bersama."

Cara dia berbicara, cara Nona Dina menyampaikan pesannya dengan bahasa tubuh yang begitu dewasa, memudahkan permohonan dia untuk diperhatikan oleh Sang Musisi dan Rio.

Aku pun dapat melihat wajah Sang Musisi merah padam setelah mendengar suara Nona Dina. Dengan terbata-bata ia membalas, "B-b-ba-ik T-Kak Dina. Saya pamit d-d-dulu."

Rio, dengan kedua tangannya memegang kotak nasi yang sama, pun menyahut, "Tapi, warungnya?"

"Lain waktu! Ya?" tegas Sang Musisi dengan halus. "Ini pembicaraan penting."

Akhirnya mereka berangkat. Sang Musisi bergegas kepada pentasnya dan Rio menyusul murung.

Nona Dina akhirnya duduk di hadapanku. Masih dengan suara dewasa dan penuh kasih, dia bertanya, "Sekiranya Bang Artur ada keperluan apa?"

Aku bisa merasakan kedinginan cemas kembali merangkak dari tapak kakiku. Namun, aku telah memantapkan niat. Aku tetap maju. "Saya membutuhkan bantuan Kak Dina untuk mencari staff untuk restoran yang baru saja saya buat.

"Kak Dina tahu sendiri selama dua tahun ini saya menyendiri. Saya tidak berinteraksi dengan siapapun sampai akhirnya Kak Dina yang memaksa saya," ucapku sambil memainkan sendok makanku di depan muka.

"Memaksa terlalu kasar ga sih?" tawanya seiring berupaya untuk memecahkan balok es yang membekukan ruangan kami. "Kakak hanya mengundang orang yang memberikan kami papan perlindungan untuk makan bersama."

"Ya...," tawaku dengan canggung. "Tetapi, inti dari aku meminta untuk berbincang berdua karena aku membutuhkan bantuan kakak.

"Aku tidak mengenal siapa-siapa. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku hanya bisa bermimpi untuk memberikan usaha dan kesempatan kedua...

"Aku –"

"Cukup Bang Artur," cegatnya dengan tegas. Untuk pertama kalinya dia mengangkat suara kepadaku. "Aku tahu Abang ingin berupaya yang terbaik, tetapi aku tidak mau melihat wajah Abang bersedih, muram seperti ini terus.

"Kakak akan bantu. Tetapi, dengan catatan, 'Jangan muram dan bertanggung-jawablah terhadap orang-orang ini!' Oke?"

"Oke Kak Dina," ucapku memaksakan sebuah senyuman. "Akan aku penuhi."

***

Tiga hari setelah perbincanganku dengan Kak Dina, kami kembali duduk di meja yang sama. Aku duduk menghadap dia pada meja makan dan kursi panjang Warung Senja.

Namun, di belakangnya berdiri sejumlah delapan gadis muda, masing-masing memiliki paras dan bentuknya sendiri-sendiri. Ada yang tinggi dan berisi, ada yang pendek dan kurus, ada yang terlihat lebih muda dari umur yang seharusnya. Dan semuanya tidak memiliki kecacatan yang terlihat.

Di antara kedelapan itu ada dua orang laki-laki. Satu memiliki tubuh yang relatif kecil dan kurus dan satu memiliki badan yang kekar. Saat aku menatap kepada figur kekar itu, aku berpikir pada diriku, "Orang ini tidak mungkin kelahiran Indonesia."

"Inilah orang-orang yang bisa aku berikan Bang Artur. Aku harap abang bisa membantu mereka.

"Baiklah, terima kasih Kak Dina," sampaiku kepadanya.

Aku kemudian mengalihkan perhatianku kepada mereka yang di belakang Nona Dina. "Kira-kira kalian terbiasa dengan industri jasa?"

Saat aku mengucapkan itu, aku bisa melihat wajah mereka memucat. Mereka seakan takut akan kata 'Industri Jasa'.

Aku kemudian bergegas mengucapkan, "Aku mohon maaf akan kata-kataku yang kurang lengkap atau konteksnya kabur. Aku tidak bermaksud untuk menyentuh masa lalu kalian.

"Aku hanya ingin tahu 'Apakah kalian terbiasa dengan membawakan piring makanan atau memasak bagi pelanggan?' atau 'Memasak' atau 'Menyambut tamu.'

"Sekali lagi, aku memohon maaf," ucapku sambil merundukan kepala kepada permukaan meja.

Kemudian satu suara seorang perempuan memanggilku. Suara dia begitu manis dan canggung di telingaku saat dia berkata, "P-pak Artur. Bapak tidak harus menunduk untuk kami. Kami yang seharusnya berterima kasih karena peluang yang bapak berikan.

"Kami semua hanya memiliki pengalaman rumahan jika terkait masak-memasak. Untuk 'Melayani Meja', kami masih terbatas.

Aku kemudian mengangkat kepala. Wajahku tersenyum karena disemangati oleh satu harapan, "Aku bisa memberikan mereka kesempatan kedua lagi!"

Aku pun menanggapi mereka dengan bangga, "Tetapi, anda akan mencoba untuk belajar?"

"Kami akan coba Pak," ucap sang perempuan. Pernyataan dia pun diyakinkan oleh kesembilan orang lainnya yang ikut mengangguk.

"Baiklah, apakah kalian siap di latih mulai hari ini?"

Semuanya membalasku, walau tidak bersamaan, "Siap! Si-ap! Si... pak!"

Aku kemudian menghadap kepada Kak Dina, "Kira-kira kakak bisa menyisihkan waktu untuk menjadi penguji?"

"Kakak bisa saja," ucapnya tersenyum. "Selama Rio dan Mas Irul ikut juga."

"Baiklah Kak."

***

Dua minggu aku sisihkan untuk melatih mereka. Masing-masing aku uji dalam hal penyajian dan memasak.

Perihal menguji keramahan, pelayanan, aku sisihkan kepada Kak Dina dan Rio. Aku tahu jelas bahwa aku payah dalam perihal itu. Aku hanya mampu mempertemukan kepentingan orang-orang, namun aku tidak bisa melayani ego seseorang.

Beberapa ada yang tanggap untuk menyerap pelatihan, beberapa ada yang terbata. Tetapi, aku tidak mempermasalahkannya. Karena aku telah berjanji, "Aku akan memberikan mereka kesempatan kedua."

                                                                            "Dan aku telah memberikannya."

Sekarang, restoran telah dibuka. Tirai yang sebelumnya menutupi kening gedung sekarang menunjukkan tulisan, 'Cakrawala Baru.' Aku dan kesepuluh pegawaiku telah bersiap menyambut tamu kami.

Dari pintu kaca restoran, aku melihat empat orang pegawaiku menebarkan pamflet. Mereka menawarkan orang-orang yang berlalu-lalang untuk mencoba restoran kami.

Kami mendapatkan pelanggan beberapa kali. Walaupun sedikit, aku tetap berterima kasih karena aku bisa melihat wajah pegawaiku penuh dengan harapan.

Sesekali aku mendengar, "'Restonya baru ya Mba?', 'Atmosfirnya nyaman ya?', 'Makanannya lumayan.'"

Tetapi, itu hanyalah pernyataan-pernyataan awal. Aku pun mengetahui bahwa pernyataan itu bukanlah jaminan kembalinya pelanggan. Aku bisa merasakan rasa khawatir itu kembali.

Seketika, terdengar dentuman suara dari depan pintu. "YO! ARTUR! Gimana restonya!" sahut Lerri dengan keras dan heboh.

Aku hanya bisa menjawab dengan datar dari celah pesanan yang berada di belakang kasir, "Masih pelan. Kami mendapat hanya mendapat beberapa pelanggan saja."

"Gitu ya? Beruntung gua bawa anggota kantor gua untuk makan siang bareng.

"B, T, W...," lanjut Lerri perlahan sambil mendekati jendela pesanan. "Gua boleh ngomong ama loe sebentar? Di kantor resto loe?"

"Boleh..." ucapku sambil meninggalkan celah.

Kami berdua pun berjalan bersama ke dalam sebuah ruangan sempit yang berada di sudut kanan belakang 'Cakrawala Baru.' Ruangan itu memiliki satu buah meja dan sepasang sofa tiga bantal.

Aku dan Lerri pun duduk berhadap-hadapan.

Lerri membuka, "Loe dapat dari mana staff-staff ini broo. Bening semua!" sahut dia.

"Aku meminta bantuan teman," balasku canggung. "Aku tidak mengenal banyak orang, jadi aku mencari bantuan dari orang-orang terdekatku."

"Hm..., baiklah. Sorri gua off-topic.

"Gini, gua tahu loe kaga suka yang heboh-heboh. Keliatan banget kalo loe aja kadang risi ama gua kalo dah masuk ke ruangan. Tapi, bisnis harusnya menggelegar. Di depan wajah.

"Nah, sekarang gua tanya, 'Loe mau percayain ama gua kaga untuk pembukaan kedua?'"



Memanglah lebih mudah untuk memberikan kuasa kepada orang lain. Tetapi, melakukan itu adalah kesalahan terbesar yang bisa kita lakukan.

Kesalahan yang telah ku lakukan.

VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top