TRACK 008 • TANAH KESEMPATAN KEDUA

Seiring aku mengangkat pesanan kedua penghuni penginapan ini untuk mengantarkannya kepada Rio, sebuah cuplikan kenangan muncul di dalam benakku.

Wajah-wajah berbahagia Warga 'Lot 07' saat kedatangan ayahku membanjiri pikiranku. Aku terkenang akan senyuman mereka saat menerima tawaran kerja. Aku terkenang akan senyuman kita saat aku dan ayahku mengadakan acara makan bersama.

Wajah-wajah itu kemudian larut menjadi wajah-wajah baru yang aku lihat saat menjadi anggota Tanggung Jawab Sosial untuk Lerri. Walau beberapa berduka, banyak yang menunjukan kebahagiaan yang sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengan mereka.

"Aku ingin itu. Aku ingin berbahagia seperti mereka."

"Bang Artur, kenapa senyum-senyum?" Kalimat itu menarik aku kembali kepada kenyataan. Aku telah berdiri di ambang antara dapur dan ruang pelangganku makan. "Kayaknya ada yang menarik nih," goda Nona Dina.

"Maukah abang ikut duduk makan dengan kami lagi? Mungkin biar kita bisa saling berbagi lagi kayak kemarin?"

Aku tidak menjawab. Tetapi, aku tidak tahu mengapa aku tergerak oleh undangan Nona Dina. Aku mengambil porsiku untuk malam ini dan berangkat ke tempat mereka.

Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya menempatkan diri di atas kursi, pada meja yang sama dengan Nona Dina, Sang Musisi, dan Rio.

Rio yang begitu berbahagia karena kembali kerja, bergegas melahap jatah makan dia hari ini. "Masakan Bang Artur memang paling enak!" ucapnya terbata-bata karena mengulum makanan yang masih panas.

Kegirangan Rio memecahkan balok es yang membekukan meja makan aku dan mereka bertiga.

Sang Musisi pun membuka perbincangan. "Bang Artur...," ucapnya dengan suara sedikit ragu-ragu. "Abang ke mana aja tiga bulan ini? Ada kesibukkan lain?"

"Nerima panggilan kerja dari teman," balasku ketus. Aku masih belum kuat untuk mengangkat wajahku pada mereka. Aku mengalihkan perhatianku pada makanan di hadapanku.

Kalimatku pun dibalas oleh Nona Dina. Dengan nada keibuan dia menggodaku, "Wah..., kayaknya seru pekerjaanya. Sampai-sampai harus ninggalin Warung Senja.

"Boleh cerita ngga bang? Setidaknya biar kami paham tentang tutupnya warung abang. Kasihan lho Mas Irul, dia sampe kesusahan dapat tempat makan yang murah untuk isi tenaga sebelum tampil," jelas Nona Dina seiring menopangkan kepalanya pada kepalan tangan yang tertumpu di atas meja makan. Senyum dewasa dia terukir di wajahnya untuk melengahkanku.

Pernyataan Nona Dina disusul oleh tarian gelisah oleh Sang Musisi. "Eh Tante, jangan cerita gitu dong. Malu."

"Kok Tante lagi sih!" ucap Nona Dina menahan kesal. "Kan aku ngga setua itu? 'Kak' Dina. Ya?" tegasnya kepada Sang Musisi.

Dia kemudian kembali menghadapku, "Tidak kah abang mau bercerita?"

Mataku tetap memandang kepada makanan yang telah habis tiga-per-empat-nya. Aku tidak ingin memandang mereka di mata.

Aku takut untuk bercerita.

"Aku... me...tu......"

Tanpa aku sadari, mulutku terbuka dengan sendirinya. "Mengapa aku membuka mulut!? DIAM!"

                                                                                           "Tapi, kamu ingin bercerita."

"Aku menerima lamaran temanku untuk bekerja sebagai anggota Tanggung Jawab Sosial perusahaannya," lanjutku dengan suara lengah.

"Mengapa aku tetap melanjutkannya? Ini tidak aman! INI TIDAK AMAN!"

                           "Nyatanya, kamu duduk dengan mereka. Bukankah kamu merasa aman?"

"Tidak!

"Tidak?

"Aku tidak tahu."

"Aku tidak tahu kenapa, dia kemudian menawarkan aku posisi tetap. Kata dia kinerjaku bagus. Padahal, menurutku itu hanyalah kerja minim. Aku hanya meminta perusahaan memberikan mereka kerja dan makan."

"Mengapa aku tidak berhenti? Aku tidak mengenal mereka."

                                                                                              "Tetapi kamu mengenal mereka?"

"Siapa mereka?"

                                                                                              "Orang-orang yang peduli denganmu."

"Tetapi rasanya sakit."

                                                                                              "Rasa kasih memang sakit."

"Senyum Bang Artur sekarang persis banget sama senyuman ayah abang."

Wajahku terangkat dalam sekejap. Aku terkejut mendengar kata Nona Dina.

Aku... tersenyum?

"Pasti abang senang banget dengan pekerjaan yang abang dapat," lanjut dia. "Jadi, dilema abang apa? Tawarannya terdengar bagus."

"Aku tidak tahu apakah aku ingin lanjut bekerja atau ingin hal yang baru," ucapku dengan menatap kepada mata Nona Dina.

"Mengapa aku masih melanjutkan?"

                                                         "Karena kamu merasa aman dengan mereka."

Aku masih mempertahankan pandanganku dengan Nona Dina. Aku merasa dingin, tetapi aku tidak merasakan beban di bahuku lagi. Aku merasa aman untuk mengatakan, "Aku ingin bisa membantu orang-orang yang kurang mampu. Aku ingin melihat wajah-wajah itu lagi.

"Aku ingin melihat wajah-wajah bahagia mereka yang mendapatkan kesempatan kedua."

Perlahan-lahan, isak tangis terdengar dari meja makan. Aku melihat Sang Musisi dan Rio meneteskan air mata.

"Kenapa kalian menangis?" tanyaku bingung.

"Haru aja bang," isak Sang Musisi. "Jarang ada orang yang mau menjulurkan tangan kepada yang membutuhkan. Nyatanya, abang mau.

"Jujur, aku berharap bisa setara dengan Bang Artur. Tapi..., karena pendapatanku seadanya, aku belum bisa," lanjut dia sambil mengusap bagian belakang kepalanya.

"Ada waktunya pasti," balasku.

Kemudian Nona Dina memanggilku kembali kepada perhatiannya. "Abang dan Ayahnya tidak beda jauh ya," ucapnya terkikik. "Naungan tangannya jauh, tidak pelit memberi.

"Kalau begitu, kalau abang ragu dengan jabatan yang ditawarkan, apa yang ingin abang lakukan?" tanya Nona Dina.

Bagai pesan dari ibu pertiwi, aku merasakan darah memompa hingga ke kepalaku. Sebuah ide terbentuk di dalam kepalaku.

"Aku ingin membuat tempat yang bisa memberikan kesempatan kedua bagi yang membutuhkan."

***

Aku berdiri di dalam ruangan putih, di antara meja pekerja dan pintu direktur PT Sinar Lintang Konstruksi. Aku hadir mengenakan jas terbaikku untuk menandakan aku siap untuk menyampaikan ini kepada Lerri.

Pintu dibuka oleh asistennya. Hari ini dia menyambutku dengan seragam blouse krem, celana bell-bottom putih, dan blazer putih. Dengan suara profesional terbaiknya dia berkata, "Pak Lerri telah menunggu bapak di mejanya."

"Terima kasih Mba," balasku dengan wajah plastik terbaikku.

Aku kemudian menempatkan diri kembali pada kursi yang berada di hadapan meja Lerri. Kursi yang sama saat dia menerima tawaran oleh Lerri.

"Nah ini dia hari yang gua tunggu-tunggu!" sahut Lerri sambil membentangkan tangannya kepada cakrawala. Tangan itu kemudian kembali bertemu dan terikat di atas perutnya yang 'penuh berkat.' "Jadi, gimana keputusan loe?"

"Tawaranmu sangat menarik L –."

Seketika Lerri memotong perkataanku, "Dah gausah lanjut. Kalo loe udah ngebuka kayak gitu, udah pasti loe bakal nolak."

Aku hanya bisa membalas dia dengan menatap tercengang.

"Loe jangan kaget gitu lah," balas dia terhadap air mukaku. "Kita udah kenal berapa lama sih? Gua dah hafal kalo loe setuju ama kaga setuju ama sesuatu," jelasnya sambil berdiri dan menopangkan beban badan atasnya pada permukaan meja.

"Jadi, gua langsung gas aja ke alasan loe..., 'kurang setuju' dengan tawaran gua. Boleh gua dengar?"

Aku ragu-ragu untuk menceritakan apa yang ingin aku lakukan. Aku tidak tahu bagaimana Lerri akan bereaksi. Walaupun aku khawatir, aku tetap harus menjelaskannya.

Aku harus memenuhi tuntutan wajah plastik profesional ini.

Aku mengangkat kepalaku dan menghadap Lerri. Keringat dingin mengalir dari leher hingga ke pangkal tulang punggung. Kakiku terasa dingin. "Aku ingin membuka usaha sendiri. Sesuatu yang milikku.

"Aku berterima kasih atas peluang yang kamu berikan Lerri. Tanggung jawab yang kau beri sebagai 'Anggota Tanggung Jawab Sosial' menyadarkanku akan apa yang aku mau.

"Aku ingin membuka restoranku sendiri. Tempat aku bisa melayani masyarakat dengan makanan."

"Tempat aku bisa memberikan kesempatan kedua kepada orang-orang seperti Warga 'Lot 07.'"

Setelah Lerri mendengar penjelaskanku, perlahan dia melangkah ke depan mejanya. Jemari pada lengan kanannya mengusap bibirnya yang gelap nan pucat. Nadi di keningnya memompa dengan keras, mencoba memproses tanggapanku padanya.

Kemudian dia mendudukan setengah dari dirinya pada permukaan meja. Kedua lengannya tertumpu pada satu paha, paha kirinya. Dia terlihat mengintimidasi dari mejanya.

"Okeh...," buka dia dengan suara datar, suara yang terdengar dingin. "Gua bisa respect keputusan loe kalo loe mau buka usaha. Gua kaga marah kok kalo kantor gua jadi stepping stone loe. Awalnya juga kan gua yang ngundang loe.

"Tapi, gua ada tawaran yang lebih baik lagi nih. Kalo loe mau denger."

"Aku siap mendengar Lerri."

"Bagaimana kalo loe tetap kerja sama gua dan gua bantu loe buka usaha yang loe mau?"



Kenyataan pahit. Terkadang kita harus mencari bantuan di dalam lubang ular berbisa.


VOTE, KOMEN, DAN SHARE!!! TERIMA KASIH!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top