TRACK 007 • SESUATU YANG...
Enam orang tertimbun.
Naluriku memaksa aku untuk berlari ke arah longsor. "Tidak. Tidak! TIDAK!!" teriakku.
"Ambilkan sekop!" sahutku kepada pekerja yang memandang kepada lokasi insiden. "AMBILKAN SEKOP!"
Tidak ada yang menanggapi.
Aku yang tidak bersabar mulai menggali menggunakan kedua tanganku. Kedua lututku mencium bumi. Kuku dan jari menggali tanah, demi tanah, demi tanah.
"Aku bisa memperbaiki ini. Aku harus memperbaiki ini!" teriakku di dalam benak. Lingkunganku menjadi buram. Pandanganku dihalangi oleh kacamata kuda. Aku hanya ingin mengeluarkan mereka.
Tiba-tiba tubuhku terangkat dari tempat aku berlutut. Kedua lenganku terkekang oleh tangan-tangan yang tak ku kenal. Aku berusaha melepaskan diri, memberontak sambil meneriakkan, "Kita harus mengeluarkan mereka! Orang-orang itu punya keluarga!"
Suara-suara di sekitarku terdengar semu. "Ar... Ar...r!"
"ARTUR!" bentak sosok besar di hadapanku. Kedua tangannya menjepit pipiku lurus, menghadap dia, menghadap matanya. Lerri.
"Tenangkan diri loe boss! Jangan panik!
"Sekarang, gua bakal ngelepas muka loe dari tangan gua. Tapi loe tenang dulu. Ok?"
Aku yang terengah-engah perlahan bernafas tenang. Setelah aku menarik nafas sedalam mungkin, lalu isi pikiranku tenang.
Seiring ketenanganku kembali, dengan perlahan juga para pekerja melepaskan lenganku.
Aku berdiri memandang kepada Lerri.
Rasa sedih mengalir dari wajah plastik yang sedang aku gunakan saat ini. "Kita harus mengeluarkan mereka Lerri," pintaku memohon padanya.
"Gua tahu, gua tahu bro. Insiden seperti ini sudah umum di bidang konstruksi. Kita pasti mengeluarkan mereka. Hanya, jangan terburu buru. Ekskavator yang berada di atas tanah itu bisa menjadi maut buat kita semua.
"Kita harus mengangkat ekskavator itu terlebih dahulu, lalu kita bisa mengeluarkan mereka. Oke?"
"Baiklah," balasku. "Tetapi, bagaimana dengan keluarga mereka? Jika ada korban jiwa, apa yang harus kita katakan?" lanjutku bertanya seiring menunjuk kepada hanggar tempat keluarga korban berlindung.
"Dengar bro, dengar. Kita semua berdoa kaga ada yang jadi korban di dalam. Parah-parahnya, hanya patah tulang atau luka-luka. Knock on wood.
"Juga, karena loe, orang-orang ini punya kerjaan. Karena loe, keluarga mereka punya sandang, pangan ama papan. Masa gua kaga kontribusi juga. Kalau sesuatu terjadi, gua udah pastikan mereka tetap diurus. Selama kontrak kita dengan Warga 'Lot 07' berlangsung.
"Jadi, jangan khawatir. Ye?"
Aku tidak tahu harus membalas apa. Aku hanya bisa mengangguk, memandang jauh ke cakrawala untuk menyembunyikan perasaanku.
"Aku gagal."
***
"The words you say, never seem to live up to the ones inside your head."
Chris Cornell - Soundgarden
***
Tiga bulan telah berlalu. Gedung yang dibangun oleh PT Sinar Lintang Konstruksi telah sepertiga jadi. Beberapa kontraktor baru ditambahkan karena mereka mendapatkan suntikan dana tambahan.
Sebagian Warga 'Lot 07' berbahagia karena dana mereka cukup untuk menghidupi diri sendiri untuk waktu yang cukup lama. Mereka bisa membelikan barang baru yang indah untuk istri mereka, untuk anak-anak mereka.
Sebagian berduka. Walau mereka mendapatkan kompensasi dan dana bantuan untuk menopang kehidupan ke depan, mereka tetap kehilangan hal yang penting. Seorang ayah, seorang saudara, seorang..., yang terkasihi.
Aku sekarang duduk di ruang kantor Lerri. Dia mengatakan bahwa dia memanggil aku karena ada bahasan penting. Ruangan kantornya cukup luas, tetapi tidak berlebihan. Cukup nyaman untuk orang banyak bertamu dan cukup sesuai untuk memfasilitasi keintiman perbincangan.
Dia duduk di belakang meja kayu besar penuh dengan ukiran unik. Kedua jarinya bersilang, menyembunyikan mulutnya. Di hadapan dia, di atas permukaan meja, adalah sebuah dokumen.
Ruangan ini sunyi. Hanya suara AC yang mengisi udara, menemani hembusan nafas kami berdua.
Lerri kemudian menurunkan jarinya.
"Artur..., gua tahu gua teman kuliah loe. Tapi, sekarang gua ngobrol dengan loe sebagai bos loe. Tidak apa?"
"Tidak apa-apa," balasku berusaha profesional.
"Strategi yang loe beri saat masuk ke kantor ini merupakan strategi tergila yang pernah gua dengar. Gua awalnya sempat ragu. Khawatir bahkan, kalo loe malah bikin gua makin rugi. Dua taon, proyek ini kaga jalan-jalan.
"Awalnya memang gua merugi. Ngasi ini, ngasi itu, ke orang-orang yang kaga gua kenal.
"Tambah lagi insiden yang terjadi di dua minggu loe kerja. Gua kaga mempermasalahkan kejadian longsor itu, gua lebih mengkhawatirkan dampaknya ke loe. Terutama saat loe lari, tergesa-gesa menggali orang-orang kita dari balik tanah dengan kedua tangan loe.
"Dan sekarang gua ngadepin satu masalah lagi."
Ruangan kembali sunyi. Dia perlahan meletakkan satu tapaknya di atas dokumen yang di atas meja. Dari wajahnya dia merunduk sedih, seakan isi dokumen itu memberatkan hatinya amat sangat.
"Setelah diitung ama akuntan gua, loe nyelamatin nilai jual perusahaan gua. Dalam tiga bulan, kita dikenal sebage perusahaan dengan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan terbaik. Beberapa warga 'Lot 07' pun mengajukan diri sebagai pekerja tetap.
"Hari ini kontrak loe berakhir Artur. Tetapi dengan kemampuan loe dan apa yang telah loe capai dalam hitungan dua minggu dari tiga bulan ini, gua tidak pengen ngelepasin loe.
"Kalo ini dunia gua, gua bakal maksa loe buat jadi karyawan tetap. Tapi kan kaga. Jadi, gua mau nawarin ini, mau kaga loe jadi staff senior program TJSL perusahaan gua? Gaji loe naik 150% dari Rp4,000,000.- yang gua kasi di setiap bulan ini serta bonus.
"Tetapi, kalo loe mo mundur, gua kaga nyalahin loe. Gua punya penilaian gua sendiri tentang loe. Yang pasti, kompensasi bakal gua bayar penuh serta bonus karena pelayanan loe, yang keliatan lebih dari orang-orang TJSL gua sebelumnya.
"Gimana?"
Aku tercengang mendengarkan tawaran dari Lerri. Untuk orang-orang umum tawaran itu merupakan tawaran yang masuk akal. Mereka dapat menghidupi kebutuhan mereka setiap hari.
Tetapi..., aku... Aku tidak tahu apakah itu hal yang aku mau. Aku hanya melakukan ini untuk menjawab pertanyaan yang muncul dari dalam bawah sadarku. "Apakah aku telah mencoba untuk hidup?"
Aku benar-benar tidak tahu apakah aku menginginkan tawaran itu. Aku tidak tahu apa yang aku mau.
Aku tidak tahu apakah Lerri akan marah jika aku menolaknya.
Aku kemudian membalas Lerri dengan suara lemah, "Aku tidak tahu Lerri. Sekiranya apakah dapat aku pertimbangkan dulu?"
Dia pun menanggapi, "Oh, ya, take your time bro. Tapi pikirin matang-matang ya. Jangan kelamaan.
"Kalo gua minta tiga hari ga apa ya?"
"Ya, tidak apa.
"Aku..., pamit dulu ya," izinku seiring beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari kantornya.
"Ya, silahkan. Gua lanjut dulu nge-review dokumen-dokumen gua ya."
***
Aku kembali tiba di penginapanku pada pukul 18.00 WIB. Kegelapan perlahan menyelimuti langit malam. Oranye matahari terbenam menggores selimut kegelapan.
Aku menanggalkan bajuku di atas lantai.
Aku kemudian ke kamar mandi, mempersiapkan kembali ritual pembersihan diriku. Satu kursi plastik yang direndam di dalam bak plastik berisikan air hangat.
Seluruh tubuhku berendam di dalam kehangatan buatan.
Aku tidak berani merendam wajahku. Aku tidak berani menutup mata.
"Aku tidak ingin melihat mereka menangis.
"Cukup aku saja... Cukup aku saja yang merasakan sakit. Berbahagialah. Mengapa kalian menangis?"
Aku tidak tahan lagi.
Aku langsung bergegas keluar kamar mandi. Seluruh titik air di tubuh aku sapu dengan handuk.
Aku segera bergegas membuka lemari untuk mengenakan pakaian baru.
Lalu..., perhatianku terkunci pada satu potong pakaian yang tergantung di dalam lemari. Apronku.
Sudah tiga bulan aku bekerja di perusahaan Lerri, warungku terabaikan. Aku kemudian berpikir, "Mungkin aku akan mendapatkan ketenangan dari warungku."
Apron itu pun aku kenakan.
Aku keluar dari kamarku dan membuka tirai besi Warung Senja. Deru karat pada rel tirai bernyanyi menyambut aku kembali.
Nyanyian besi, karat, dan debu mengingatkan aku mengapa aku membuka warung ini. Aku merasa aman.
Saat aku membuka tirai besi di depan, aku terkejut. "RIO!"
"Kenapa kamu tidur di sini?"
Dia pun terbangun karena terkejut.
Anak itu mengusap matanya sebelum ia tersenyum.
"Warungnya buka lagi Bang?" tanyanya sambil menggeliat menahan rasa bahagianya. Mata dia bercahaya bagai matahari yang kembali terbit.
"Untuk malam ini. Abang tidak tahu untuk besok."
"Yay!" teriak dia sambil berlari ke dalam warungku.
"Hei jangan lari. Nanti jatuh piring-piringku!" bentakku kepadanya saat dia memanjat kursi untuk mengambil apron kecilnya.
Tiba-tiba suara familiar menyambutku lagi. Dengan suara keibuan dia bertanya padaku "Warungnya buka lagi Bang Artur?"
"Ya, Kak Dina. Kalau mau mesan atau apa, tolong sampaikan ke Rio."
"Baiklah," ucapnya tersenyum seiring mendudukan diri.
"Buka Bang?!" susul sang musisi.
"Iya. Duduk kalian kalo mau makan. Pesan sama Rio."
"Siap!"
Sembari aku mempersiapkan alat-alat masakku, sebuah gambar muncul di dalam bayanganku. Wajah-wajah bahagia keluarga yang mendapatkan kesempatan kedua, keluarga yang hidupnya berubah karena satu orang memberikan mereka kesempatan.
"Aku ingin melakukan itu lagi."
Ketenangan dan kebahagian dapat datang saat kita memberikannya kepada orang lain.
VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA KAWAN-KAWAN!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top