TRACK 006 • SESUATU YANG BENAR

Papan yang dijanjikan oleh Lerri kepada orang tua itu dan warganya dibangun dalam hitungan dua minggu. Papan itu berupa gedung besar yang ditopang oleh pilar-pilar besi dan berdindingkan seng, mengikuti model hanggar pesawat. 'Rumah-rumah' yang tersedia di dalamnya, dibentuk oleh dinding gypsum yang diisi dengan busa.

Terlihat orang-orang berlalu-lalang membawa makan yang diberikan oleh perusahaan Lerri, mereka menikmatinya sambil berbincang satu sama lain. Anak berlari di antara massa dan koridor gedung, mengangkat rotinya ke udara.

Ketika aku memandang skenario itu, sebuah pertanyaan muncul dari batinku. "Apakah yang telah aku lakukan ini benar? Apakah aku telah memenuhi nilaimu ayah?

"Harusnya aku merasa bangga. Tetapi, mengapa aku merasa bersalah?"

Namun, aku memendam kata-kata batin itu. Aku berkata pada diriku, "Aku akan terus mencoba."

Aku kemudian berjalan kepada area konstruksi yang berada di belakang gedung.

Tidak hanya mereka berhasil membangun 'Rusun Sementara' dalam hitungan dua minggu, mereka pun berhasil menggali fondasi bagi gedung yang akan dibangun oleh perusahaan Lerri.

Saat aku berjalan mendekat kepada area konstruksi, aku dapat mendengar suara Lerri menggema di udara. "Buset Pak!" seru dia. "Kalau orang-orang TJSL gua sebelumnya memikirkan ini, proyek ini kaga kehambat dua taon. Haha!" lanjutnya sambil merangkul bahu seseorang yang mengenakan seragam lapangan dan menggoyangkannya.

Seiring Lerri menatap orang yang berseragam itu, dia melihat aku yang berjalan mendekat dari periferinya.

Lerri pun membalikkan badan menghadap ke arah aku yang datang. Dia pun membalik badan orang dalam seragam. Terlihatlah wajah itu adalah wajar orang tua yang menyambutku di hari pertama aku kerja, Pak Ruyatno. Lerri pun menyambutku dengan kehebohan khasnya "Nah! Ini dia pahlawan kita. Sang Negosiator. Sang Diplomat."

Aku hanya bisa terkekeh canggung. Aku tidak tahu harus membalas apa. Aku pun membuang pandanganku ke arah lubang besar yang sedang mereka pantau.

Aku tidak ingin menjadi perhatian. Aku kemudian mengalihkan perhatian mereka kepada proses konstruksi. "Jadi, langkah selanjutnya apa Lerri?"

"Hm..., mungkin akan lebih baik kalo dijelasin Pak Ruyatno. Gua cuma punya perusahaan konstruksi, kalo untuk menjelaskan ya yang lapangan.

"Ya ga pa?" alihnya kepada orang tua itu dengan memukul bahunya.

Orang tua itu hanya bisa bermuram. Dia berupaya menyembunyikan rasa tidak nyamannya di balik wajah profesionalisme. Dia pun tidak menatapku di wajah saat menjelaskan, "Dengan lubang yang telah digali, seharusnya kita sudah bisa menanamkan beberapa pilar-pilar besi untuk ruang bawah tanah gedung.

"Setelah pilar dipasang, kita bisa langsung menggunakan besi batangan dan papan kayu untuk membingkai cor yang akan dituangkan nanti. Hanya perlu menunggu kedatangan mixer dan driller."

"Baiklah," tanggapku. "Kira-kira, ada keperluan lain yang bisa kami penuhi? Perlengkapan keamanan? Pakaian atau sejenisnya? Setidaknya agar kami dapat memenuhi tanggung jawab keselamatan kerja orang-orang bapak."

Mendengar kata-kataku, mata orang tua itu semakin terbebani. Dia hanya merunduk, menghindari aku, menghindari Lerri. Kemudian dia berkata, "Untuk sekarang belum ada. Kalian sudah melakukan cukup banyak."

Orang tua itu kemudian bergegas pergi dari kami. Langkahnya begitu dipaksakan seakan dia tenggelam dan disesakan oleh keberadaan kami.

Lerri hanya menatap dia dengan wajah kebingungan. "Apa masalah tu orang?" tanya dia sebelum kembali mengalihkan mukanya kepada proses konstruksi.

Saat orang tua itu pergi, aku bisa merasakan kepedihan yang dia tinggalkan di udara. Benci. Khawatir. Ketidakpercayaan. Penghianatan. Terukir jelas pada aura tubuhnya. Kumpulan rasa pedih itu bagaikan rantai yang menarik hatiku untuk mengikuti dia.

Aku mempercepat langkahku untuk menyusul orang tua itu. "Pak Ruyatno!" sahutku. "Pak Ruyatno?!

"Apakah benar sudah cukup pak?"

Tiba-tiba, dengan tangkas nan tegas orang tua itu menghadapku, membentakku. Tangannya menyapu udara, menarik garis yang membelah diriku darinya "Sudah cukup!"

Dia kemudian menengadah ke atas, mencari ketenangan dari udara yang melayang di langit Karawang.

Nafas itu terhela dari mulutnya. Ia berkata dengan ketenangan yang baru, "Sudah cukup."

Kemudian, orang tua itu memandangku dengan wajah sedih. "Artie, Bapak tidak tahu apa yang membuat engkau memutuskan untuk bekerja untuk orang itu. Tetapi, Bapak tahu tujuanmu baik –"

Rasa panik dan kecemasan memeras tulang punggungku. Aku berakhir memotong dengan, "Aku hanya ingin membantu –"

Tetapi, orang tua itu menghentikan kata-kataku dengan tapak tangannya.

Perlahan mata dia terfokus padaku, terfokus pada jiwaku. Dengan tersenyum sayu dia berkata, "Aku tahu nak. Aku tahu.

"Dari dulu hingga sekarang, kau anak yang ingin menjulurkan tangan ke orang-orang. Aku yakin kau mendapatkan itu dari ayahmu. Dan karena kau, wargaku, warga Lot 07 yang hanya terdiri dari pemulung, pengemis, dan pengamen dapat makan."

"Tetapi, mengapa Bapak merasa tidak nyaman? Mengapa Bapak –"

"Dalam kesakitan."

"Karena wargaku adalah tawanan nak," potongnya dengan sedih. "Aku yakin engkau ingin membantu. Bapak sangat yakin itu.

"Tetapi, temanmu tidak memandang demikian."

Saat orang tua itu mengatakan hal tersebut, aku tercengan. "Maksud Bapak bagaimana?"

Dia pun berbalik badan, "Akan ada waktunya engkau melihat sendiri. Bapak ingin menjelaskannya padamu, tetapi wargaku perlu makan dan perlindungan.

"Bapak hanya berharap engkau akan siap saat harinya tiba."

Aku terdiam.

Aku merasa pecahan pada hatiku semakin luas, seiring orang tua itu menjauh dari pandanganku.

Aku merasa seperti ada kabut hitam yang menyelimuti dunia di depan mataku. Kabut itu berputar, mendekat kepada satu titik.

Saat pusaran kabut itu bertemu, terlihat jelas kenyataan kabut itu.

Kabut itu adalah kegelapan di dalam pikiranku yang kembali.

"Di situ kah salahku?"

                                               "Tidak. Nyatanya banyak yang diuntungkan bukan?

                            "Istri-istri pekerja dari Lot 07 akhirnya bisa makan normal. Tiga kali sehari bahkan.

                           "Mimpi mereka untuk menyekolahkan anak pun tercapai. Walau hanya sekolah terbuka yang diajarkan oleh guru sukarela.

"Yang ku lakukan harusnya benar bukan?

                                                                                                                                                                          "Ya itu benar."

Untuk meyakinkan diriku, aku kembali berjalan kepada hanggar tempat Warga Lot 07 berteduh.

Saat aku memasuki pintu, aku disambut wajah-wajah yang berbahagia. Kegiatan makan siang mereka sudah usai. Mereka pun menikmati lantai kayu yang dingin, berbincang satu sama lain.

Mereka saling bertukar mimpi.

Seketika, seorang ibu menyadari kedatanganku. Dia menyambutku dengan hangat. "Artie Kecil," terima kasih sebelumnya. "Karenamu, kami akhirnya bisa makan dengan normal." Seiring ibu itu berkata demikian, setetes air mata mengalir di permukaan pipinya.

Dia... bahagia?

Dia bahagia.

Rasa terima kasih sang ibu terdengar oleh telinga-telinga Lot 07. Perlahan, tapi pasti, udara gedung terisi oleh, "Terima kasih Artie. Artie Kecil. Makasih Artie."

Menggema.

Berantai.

"Aku telah melakukan hal yang benar."

                                                                                                       "Ya. Aku telah melakukannya. Hal yang benar."

Tiba-tiba, aku ditarik kembali kepada kenyataan. Terdengar sebuah kericuhan dari luar hanggar, tepat dari arah area konstruksi.

Sebuah ekskavator yang lengannya telah dimodifikasi menggunakan pincher, yang ditujukan untuk menurunkan muatan pilar besi, oleng perlahan. Tanah tempat alat itu berdiri longsor perlahan. Rantainya berputar cepat, berusaha berlari dari tanah yang rapuh. Tetapi, upayanya sia-sia, ia hanya menendang tanah ke dalam lubang.

Dari dalam lubang, terdengar dengan keras, "LEMPAR TANGGA WOI!!! KELUARIN KAMI DULU!!!"

Beberapa pekerja pun bergegas, berinisiatif mengambil sejumlah tambang. "Tahan ekskavator-nya pakai tambang!!!"

"TARIK!!!"

Aku pun bergegas untuk membantu sejumlah orang yang menahan tambang itu.

Kakiku tertanam pada tanah, namun berat dari ekskavator menarik tubuh kami hingga menggali tanah.

Setidaknya, kami bisa memberikan waktu untuk menurunkan tangga dan mengeluarkan mereka dari dalam.

Perlahan terdengar..., tek, tek teak.

"Talinya tidak tahan!" sahutku dari belakang barisan. "Kalian segera keluar!"

Tetapi aku terlambat.

Ketiga tali putus.

Tanah mulai mengalir.

Enam orang tertimbun.

Aku pun berlari ke arah tumbangnya ekskavator. "Tidak. Tidak! TIDAK!!!"

***

"The Day I Tried TO LIVE!!! I dangle from the power lines And Let The Martyr STRETCH!!!"

                                                                                                                                        Chris Cornell - Soundgarden



Kita tidak pernah tahu apakah perbuatan baik kita benar atau tidak. Kita hanya bisa berharap, "Aku harap aku melakukan hal yang benar."

VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA KAWAN-KAWAN. TERIMA KASIH!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top