TRACK 005 • BERHARGA BAGI YANG LAIN

Warga 'Lot 07' mendatangi aku dengan berbondong-bondong. "Artie Kecil kembali? Artie mengunjungi kita? Itu benar Artur?" terdengar di udara.

Aku hanya bisa tersenyum canggung. Di dalam benak pun aku bertanya, "Dari mana mereka mengenalku?"

Aku merasa tubuhku semakin berat. Sambutan mereka menguras tenagaku untuk tetap berdiri. Sekali-sekali aku latah mengambil langkah mundur.

Kemudian aku mendengar, "Sudah! Sudah! Bubar! Tidak lihat kah kalian membuat Artie kelelahan dengan kericuhan kalian." Orang tua itu menyadari aku yang mulai merasa lemas. Dia berinisiatif untuk membubarkan mereka.

Orang-orang itu pun mendengar. Otoritas di suaranya menjelaskan dengan absah bahwa dialah pemimpin tempat ini.

Gerbang 'Lot 07' kembali sepi, dia pun berbalik menghadapku. "Maafkan wargaku Artie. Kita sudah lama tidak bertemu dengan kamu dan keluargamu, semuanya jadi heboh."

"Oh ya tidak apa-apa," balasku dengan suara lemas, berterima kasih akan bantuan orang tua itu. "Tetapi," lanjutku penasaran. "Bapak mengenal saya dari mana ya?

"Tempat ini familiar bagi saya, tetapi saya tidak bisa mengingat apa-apa."

"Oh..." Saat orang tua itu mendengar perkataanku, dia merunduk sedih, seakan sebuah kenangan penting telah direnggut darinya. "Memang sudah lama sekali nak.

"Ah ya! Mari kita bicara sambil duduk," cegatnya pada dirinya sendiri. Dia pun bergegas menggiringku kepada kursi panjang yang tertanam di perbatasan tanah dan jalan raya.

Dia pun melanjutkan, "Dulu, kamu dan keluargamu senang mengunjungi kami. Aku masih mengingat kamu dulu senang mengunjungi kemah kami satu per satu. Dan kalau ada sesuatu yang unik, kamu bisa berdiri berjam-jam menatap benda itu.

"Awalnya keluargamu datang ke sini untuk mencari pekerja-pekerja lapang. Orang-orang yang bisa membersihkan halaman rumah, mencuci perangkat harian, dan sejenisnya.

"Perlahan hubungan kontrak itu berubah menjadi ikatan. Ayahmu sering membawakan makanan untuk dibagi kepada kami, bahkan kita pernah mengadakan acara bakar-bakar."

Selama dia bercerita, perlahan cuplikan-cuplikan ingatan itu kembali. Ayahku dengan bangga membakar ikan dan bertukar cerita dengan orang-orang di sini. Aku berdiri di sebelahnya merengek karena lapar.

Kemudian, sebuah nama terkenang oleh ku.

Aku menghentikan monolog orang tua itu, "Mohon maaf saya memotong cerita bapak. Tetapi, saya harus menanyakan ini. Apakah nama bapak Pak Ruyatno?"

Saat dia mendengar kata-kata itu dari mulutku, sebuah senyuman haru terlukis pada wajahnya. Matanya berkaca-kaca penuh kebahagiaan.

"Kamu masih ingat Artie!" sahutnya sambil dia bergegas memelukku.

Tetapi, pelukkan itu hanya sementara. Dia tiba-tiba teringat akan kondisi tubuhnya. "Maaf, saya terlalu bersemangat. Saya lupa kalau saya baru pulang kerja.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ayahmu? Sehat?"

Mendengar pertanyaan itu aku hanya merunduk. Aku tidak mau mengatakan apapun tentang hal itu.

Sayangnya, kediamanku tidak dapat menyembunyikan apa yang dikatakan oleh mataku. Orang tua itu langsung menyadari apa yang terjadi, seakan dia mengenal air mukaku. Air muka orang yang kehilangan. Dia pun berkata "Oh... aku turut berduka nak."

"Ya," dengan suara lemah dan berat

"Mungkin ada hal lain yang dapat kita bicarakan?" tanyanya tersenyum tulus, berharap dia dapat menghiburku.

Dengan berat hati aku berkata, "Sebenarnya ada. Aku datang dengan kepentingan lain. Aku datang mewakili PT Sinar Lintang Konstruksi."

Senyum tulus orang tua itu memudar seketika, tergantikan akan wajah galau, terjebak di antara amarah dan rasa sedih. "Mengapa engkau membawa nama perusahaan itu nak? Apakah kau juga ingin mengusir kami dari tanah ini?

"Tanah yang telah kami hidupi selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah diakui sebagai desa karena kami kumuh?"

"Saya tidak bermaksud seperti itu pak. Hanya saja tanah ini masih dinyatakan milik pemerintah dan aku hanya menjadi pengantar pesan. Tetapi, jika saya bisa mendengar apa yang dibutuhkan oleh warga bapak, mungkin saya dapat memberikan solusi agar semua mendapat keuntungan?"

Dia pun terdiam. Wajah orang tua itu terlihat kesal, dia ingin meluap kepadaku, tetapi seperti ada sesuatu yang menahan dirinya.

Sebuah helaan nafas kemudian terdengar darinya. Dia menghadapku dan berkata, "Artie..., kami di sini hanya ingin bisa hidup setiap hari bersama keluarga kami. Makan bersama, bertukar cerita. Kami pun bermimpi anak-anak yang ada di sini dapat keluar bersekolah.

"Jika kami pergi, di mana kah kami dapat mengais makanan untuk bertahan satu hari lagi.

"Tolong dipikirkan ya," lanjut orang tua itu menatapku dengan wajah memelas. "Senang bertemu denganmu lagi nak.

Aku kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tidak melambai. Tidak berkata. Di dalam hatiku, terasa sebuah ketenangan. Aku merasa kesia-siaan usahaku diakui oleh dunia.

Saat aku berjalan meninggalkan 'Lot 07', terdengar oleh telingaku, "Bukankah kau berkomitmen mencoba untuk hidup? Apakah ini sudah mencukupi?"

Terkejut, aku menoleh ke belakang, memandang kembali 'Lot 07', mencari siapa yang berkata. Namun, yang aku temukan hanyalah desa liar itu. Teduh di bawah naungan terpal biru.

Tiba-tiba, bagai pesan yang datang dari alam, aku mendapatkan sebuah ide.

Aku pun bergegas ke dalam dan mencari orang tua itu, "PAK RUYATNO!!!"

Dia pun menoleh kepadaku yang berlari di atas tanah berlumpur. Tetapi, dia tidak berbicara.

"Mungkin bapak kurang yakin dengan saya. Tetapi, bolehkan saya meminta kampung anda menyediakan tenda yang cukup besar. Sepertinya saya bisa memberikan solusi bagi bapak."

Dia terlihat ragu, namun dia tetap memberikan aku tanggapan. "Nak, saya tidak percaya terhadap perusahaan yang engkau wakili. Tapi saya percaya padamu nak.

"Akan saya persiapkan," Sering merunduk untuk menunjukan hormat.

***

Di hari-h tenda itu terbangun, pertemuan antara Warga 'Lot 07' dan PT Sinar Lintang Konstruksi bertemu. Mereka terduduk di atas kursi plastik, saling berhadapan. Orang tua desa duduk di sisi timur. Rekan Kuliah ku di sisi barat. Aku duduk ditengah.

Aku mulai membuka diskusi dengan menunjukkan kepentingan dari masing-masing pihak. "Baiklah, pertemuan ini akan saya buka dengan menyebutkan kembali kepentingan dari kedua belah sisi.

"Pak Ruyatno mengutarakan bahwa tempat ini sudah ada lama. Kepentingan mereka adalah keberlangsungan mereka untuk bertahan hidup, baik dari usaha dan jasa.

"Sisi Pak Lerri menginginkan agar proyeknya tetap berjalan. Dan tentunya, mendapatkan komisi pemerintah untuk menggaji karyawannya.

"Benar Pak Lerri?" ucapku menggunakan topeng profesional terbaikku.

Ia mengangguk.

"Walaupun PT bapak bekerja di bidang konstruksi, anda cenderung menggunakan kontraktor untuk proses pembangunan. Benar?"

Dia mengangguk kembali.

"Di sisi lain, mayoritas warga Pak Ruyatno merupakan mantan kuli pembangunan dan beberapa ada yang berkontribusi membangun pabrik-pabrik di Karawang. Benar?"

"Benar Artie."

"Dengan itu, saya menyusun proposal ini," ucapku seiring menebarkan sejumlah kertas di atas meja kopi kayu di hadapan kami bertiga. "Kami, PT. Sinar Lintang Konstruksi akan mempekerjakan warga bapak sebagai program TJSL. Warga 'Lot 07' akan disediakan sandang, pangan jadi, dan papan dengan syarat dibangun sendiri oleh Warga 'Lot 07.' Bahan akan disediakan oleh PT kami."

Aku pun menoleh kepada orang tua itu. Aku mendapati dia menatap tajam rekan kuliahku. Dengan lemah lembut aku bertanya, "Apakah bapak setuju?"

"Untuk sekarang belum ada masalah Nak Artie," balasnya. Tetapi, fokus mata dia tidak padaku. Dia memaksakan ketenangan pada tubuhnya, walaupun amarahnya bocor dari matanya.

"Kepada warga yang membantu di konstruksi, masing-masing akan digaji Rp700,000.- ditambah Rp1,000,000.- dalam bentuk surat kepemilikan gedung. Dengan itu, setiap warga memiliki hak kepemilikan rumah atau dapat menerima pecahan dari hasil sewa gedung setelah jadi dan layak guna."

Tiba-tiba orang tua itu menyahut, "Apakah semurah itu jasa kami? Hanya Rp700,000.-? Saya ingin jumlah yang lebih layak –"

"Pak, pak, mohon tenang...," ucap rekan kuliahku mengeluarkan suara profesionalnya. Aku pun sedikit terkejut akan kemampuan dia untuk berganti muka dari tingkah hebohnya kepada wajah saat ini. "Boleh saya berbicara?"

Sang orang tua terdiam.

"Jujur saya juga terkejut akan proposal ini. Saat saya mendapati teman terdekat saya kembali, saya menyangka dia gagal.

"Tetapi, dia datang dengan ide indah ini. Ide yang mendamaikan kita berdua. Saya membantu anda dan warga anda. Warga anda membantu usaha kami.

"Saya menyetujui komisi ditambah surat kepemilikan rumah berjangka karena saya berharap bisa kerja sama jangka panjang dengan bapak. Tetapi, jika bapak kurang setuju, adakah jumlah yang lebih menarik bagi bapak?"

Rasa takutku untuk gagal menggerakkan aku untuk memperkuat pernyataan rekan kuliahku. "Pak Ruyatno, saya yakin anda merasa berat. Saya pun pernah di sepatu yang sama. Tetapi, bukankah tawaran ini lebih baik secara jangka panjang? Dengan pangan yang pasti dan pendapatan untuk menghidupi anak-anak 'Lot 07'?"

Dinding ketabahan orang itu retak untuk sementara, amarah dia merangkak dari beberapa celah di wajah dan tubuhnya. Tetapi, dia tidak membiarkan ketabahan itu patah seutuhnya.

Orang tua itu mengangkat kepala dan berkata, "Saya menginginkan Rp4,000,000.- dan Rp4,000,000.- juga dalam bentuk surat kepemilikan gedung berjangka per warga yang bekerja mengikuti jadwal. Setidaknya agar keluarga kami dapat hidup layak."

Kembali aku terkejut saat memandang wajah tenang rekan kuliahku. Dia merundukkan diri dengan kedua jari terlipat di hadapan mulutnya. "Tentu, tentu. Semua orang ingin memberikan kehidupan yang layak bagi keluarganya. Anda ingin warga anda bisa bertahan hidup, saya ingin karyawan saya juga bertahan hidup.

"Paling tinggi yang bisa saya tawarkan hanyalah Rp3,000,000.- dengan Rp2,500,000.- dalam bentuk surat kepemilikan gedung berjangka. Lebih dari itu, karyawan saya juga akan lapar. Dan saya yakin anda mengerti itu," ucapnya dengan nada penuh empati.

Mendengar cerita itu, amarah orang tua mulai meredup. Hatunya terpengaruh cerita rekan kuliahku. "Baiklah. Akan saya terima."

Seketika, raut profesional Lerri meledak kembali kepada sifat hebohnya. "Akhirnya! Hahaha!" sahut dia berbahagia. Dia meraih tangan orang tua itu dengan penuh semangat. "Setelah dua tahun kita akhirnya bertemu sebuah kesepakatan."

Lerri kemudian merangkul orang tua itu dan menuntunnya keluar dari tenda. "Gua yakin hubungan kita akan menjadi hubungan yang indah. Sekarang waktunya kita berbicara kontrak."

Aku seharusnya merasa bangga aku telah melakukan sesuatu yang bermakna.

Tetapi..., mengapa aku merasa sakit? Sakit ini berbeda dari sengatan kehangatan pertemanan. Aku merasa seperti satu keping hatiku patah.

***

"The Day I Tried TO LIVE!!! I STOLE A THOUSAND BEGGARS CHANGE AND GAVE IT TO THE RICH!!!"

                                                                                                                                             Chris Cornell - Soundgarden



Terkadang, kita merasakan bahwa seharusnya kita telah membanggakan diri. Hanya saja, kita tidak pernah yakin apakah itu benar.


VOTE, KOMEN, DAN SHARE KAWAN-KAWAN. TERIMA KASIH.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top