TRACK 003 • MELANGKAH KE CAHAYA
"Dan aku tidak perlu khawatir untuk bertemu orang lain lagi. Untuk saat ini."
Saat kalimat itu terlontar dari mulutku, aku bisa merasakan pandangan perempuan itu menusuk kepada batinku.
Tetapi, tusukan itu tidak semenyakitkan sambutan hangat dia di pagi hari. Whisky dan nikotin menyelimuti hatiku bagaikan tameng di medan perang.
Aku pun merasa berani untuk menatap kepada wajahnya.
Aku mendapati wajah dia berbeda jauh dari wajah yang dia pasang di pagi hari. Dia tersenyum, tetapi senyuman itu penuh dengan kesakitan.
"Mengapa Kakak memberikan wajah itu padaku?" tanyaku seiring kesaradanku terpengaruhi oleh alkohol secara perlahan.
"Karena kamu memerlukannya Bang," ucap perempuan itu. Saat dia mengatakan hal itu, aku bisa mendengar ada isakan tangis yang akan menyusul dari balik kerongkongannya. Tetapi, dia menguatkan diri.
"Aku tahu benar apa yang sedang kau rasakan sekarang. Tetapi, aku tidak layak untuk menuntut apa-apa dari mu."
"Memang apa yang kamu tahu kak?" balasku kesal. Aku mengangkat pipaku dan menantang dia dengan menyodorkan lubang asapnya kepada perempuan itu. "Kau tidak tahu aku! Aku pun belum pernah berbincang dengan kalian sampai KAMU yang memaksa aku untuk duduk bersama!"
"Aku merasa aman sebelumnya. Aku tidak perlu merasakan takut lagi. Aku tidak ingin merasa takut lagi."
Tanpa aku sadari, air mata mengalir pada pipiku. "Mengapa aku menangis?"
"Saat ini kau berpikir, 'Mengapa aku menangis?'" sahut perempuan itu kepadaku dengan suara lembut. Seakan dia membaca pikiranku.
Akupun tertegun. "Bagaimana kau ta –."
"Akupun pernah menanyakan hal yang sama," lanjutnya seiring dirinya mendudukkan diri di sebelahku. "Kakak pernah berada di tempat yang tidak aku kenal. Kakak kehilangan siapa diriku," sambil berkata-kata menghadap langit, memandang kepada masa lalu yang telah dilepaskan ke udara.
"Saat aku mencoba hal baru, barulah aku menemukannya."
"Yaitu...?"
"Tempat ini. Pekerjaanku. Aku akan menjelaskannya kepadamu saat waktunya tiba," balasnya sambil menatap wajahku penuh kasih.
"Inti dari Kakak duduk di sebelahmu adalah untuk mengatakan ini, 'Kamu belum kehilangan semuanya. Ayahmu telah berpulang, tetapi dia meninggalkan banyak hal bagimu untuk membuat hal baru.'
"Sekarang Kakak tanya, 'Apakah kamu, Bang Artur, akan mencoba untuk menggunakannya?'
"Saran kakak, gunakanlah. Penginapan ini tidak akan kemana-mana. Kami selalu siap untuk menyambutmu kembali."
Aku tidak tahu apa yang harus ku balas.
Aku hanya bisa berdiam di tempat hingga pandanganku menghitam.
***
Kegelapan yang menyelimuti wajahku perlahan berubah menjadi merah menyala. Merah itu begitu panas sehingga aku membuka satu mataku.
Dengan perlahan aku mengangkat tubuh ini. Aku merasakan tubuhku lebih sakit daripada hari-hari lainnya.
Aku mencoba untuk menopangkan tanganku pada sisi kasur. Tetapi, saat aku berguling.
Bruk!
Dentuman tubuhku menghantam permukaan paving menyadarkanku, "Aku tidak tidur di kamar tadi malam."
Aku kembali memperhatikan lingkungan sekitarku. Kursi makan yang aku keluarkan tadi malam, sebuah selimut, dan 'Set Sesi Renungan' yang telah tertata rapih.
Namun, ada satu hal yang jangal pada Set Sesi Renunganku. Set itu miring karena ada sebuah catatan terlipat di bawahnya.
Aku pun bergegas mengambil nota itu.
Di dalamnya tertulis, "Terima kasih untuk perbincangannya tadi malam ya.
"Saat kita masuk ke topik yang menarik, kamu mulai tertidur. Jadi, Kakak berinisiatif untuk memberikan kamu selimut Kakak. Tidak perlu khawatir, Kakak punya satu lagi.
"Jaga kesehatan ya. Salam, Kak Dina." Naskah itu ditutup dengan lukisan emoji tersenyum seiring mengedipkan satu mata.
Dengan kesal aku meremukkan kertas itu dan melemparkannya kepada tong sampah.
Aku pun bergegas berdiri. Hanya saja, aku tidak bisa berdiri dengan normal. Alkohol dan tembakau yang menimangku hingga tidur membalaskan dendamnya di pagi hari. Aku merasa pening dan mual. Keseimbanganku pun tidak sempurna.
Tetapi, seiring aku merasakan sakit itu, aku teringat akan pertanyaan perempuan itu, "Apakah aku akan mencoba untuk menggunakan semua yang telah ditinggalkan ayahku?
"Apakah aku akan mencoba untuk memulai hidupku sendiri?"
.
.
"Aku akan mencoba."
Saat aku mengucapkan kali –, bukan, komitmen itu di dalam batin, aku teringat akan sebuah pesan yang pernah dikirimkan oleh teman kuliahku.
Sebuah tawaran pekerjaan.
Dengan badan yang berat dan kaku karena posisi tidur yang tidak benar, aku membereskan semua perangkat yang ada di lapangan parkir penginapan ini.
Kursi ke dalam Warung Senja.
Set Sesi Renungan kembali ke dalam lemari.
Selimut terlipat rapih dan ditempatkan di lokasi yang seharusnya, di depan kamar perempuan itu.
Debu-debu yang bertumpuk pada tapak tangan aku tepukkan hingga bersih. Aku pun berjalan ke dalam kamarku untuk bersiap-siap.
Aku mengingat tawaran pekerjaan itu ia berikan melalui pesan di whatsapp. Walaupun aku ragu, aku menguatkan diri untuk mengambil ponselku dari atas meja kerjaku untuk mencari pesan itu.
Pada layarku tertulis, "519."
Saat aku membukanya, aku hanya menemukan pesan-pesan dari rekan-rekan kuliahku. Beberapa merupakan undangan untuk berkumpul. Beberapa ada yang hanya menanyakan kabar.
Aku tidak ingin membalas mereka.
Aku pun menggulung jauh kepada pesan yang aku terima pada tanggal 15 Mei 2022. Pesan itu datang dari rekan kuliahku, Lerri Lintang.
"Woi, Artie! Gimana kabar loe. Pasti sukses lah!!! Nilai terbaik antrop ama anak proyekan dosen. Ya kaga!?
"Gini, gini, gua kaga bakal bertele-tele. Gua tahu loe orangnya gimana. Gua mau nawarin loe proyek nih, karena udah banyak orang-orang yang gua cari tapi kaga pada bisa-bisa untuk ngelakuin satu hal ini.
"Tapi, dengan skill loe, gua yakin loe bisa bantu gua. Nanti gua bantu loe balik juga.
"Kalau minat, langsung aja datang ke Lintang Square, Karawang. Kantor gua yang bernama PT. Sinar Lintang Konstruksi.
"Kabarin ye!"
Aku menguatkan batinku untuk membalas pesannya.
"Halo Lerri, maaf baru bisa balas.
"Aku lagi ada kendala pribadi yang harus diselesaikan saat itu. Baru selesai sekarang.
"Kira-kira, tawaranmu masih berlaku?"
Tubuhku terasa dingin saat aku mengetik kalimat itu. Aku merasa seperti kaki dan hatiku terjatuh ke dalam sebuah lubang yang tidak memiliki akhir.
Tetapi, aku sudah berkomitmen. Aku akan mencoba untuk hidup.
Aku tidak berharap banyak, tetapi aku tetap bersiap akan segala kemungkinan. Baik penolakan atau penerimaan, akan tetap aku terima.
Aku berupaya menenangkan diri di dalam air hangat.
Namun, sebelum lima menit dapat berlalu, aku mendengar ponselku berdering.
Ring!!! Ring!!!
Dengan gesit aku melompat dari bak air. Aku pun hampir terpeleset, tetapi kedua tangan ini menyelamatkanku dengan berpegang pada gagang handuk.
Aku berdiri menatap ponselku, tubuh masih basah, sejumlah titik air masih mengalir dari kulit hingga ke lantai.
"Lerri, memanggil," tertulis pada permukaan ponsel.
Tanganku bergetar. Perlahan sebuah pikiran merangkak dari tulang punggungku, "Apakah yakin kamu akan mengangkatnya? Kamu mungkin tersakiti."
"Mungkin," balasku. "Tetapi, aku sudah berkomitmen."
Aku pun bergegas mengangkatnya.
"Halo?" ucapku halus sembari berkeras untuk menyembunyikan rasa cemasku.
"Weh! beneran diangkat!" sahut dari orang yang berada di balik ponsel. "Ini Lerri! Bagaimana kabar loe Artur?"
"Sekarang sudah lebih baik."
"Bagus-bagus. Ngomong-ngomong, loe beneran minat ama tawaran gua?"
Aku tidak tahu harus berkata apa di sini. Apakah aku harus jujur kalau aku sebenarnya hanya ingin mencoba sesuatu yang baru? Apakah aku harus berlaga aku tertarik?
Aku tidak tahu.
Aku kemudian menarik nafas sedalam mungkin. Menutup mata, mencari jawaban di dalam kesadaran yang terpendam.
"'Fake it, till you make it.' Itulah motto mereka yang hidup di luar sana.
"Aku akan mencobanya."
Aku menyiapkan tanggapan plastik terbaikku.
Selama aku menguatkan diri, aku mendengar Lerri memanggil, "Halo? Halo? Loe masih di situ Artie?"
"Ya, ya. Aku masih di sini. Aku benar-benar tertarik untuk menerima tawaranmu. Setidaknya aku bisa memperluas wawasan usahaku."
"Nah! Gua suka gitu," balas dia dengan penuh semangat saat mendengar balasanku. "Nanti loe langsung mampir ke kantor aja. Tapi..., sori nih, gua ga maksud maksa, jadwal gitu-gitu, tahu lah loe. Kalau bisa udah di sini jam 10.30 WIB ya?"
"Bisa!" balasku tegas.
Seberat apapun, kita tetap melangkah ke depan.
VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA. TERIMA KASIH!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top