TRACK 002 • RASA AMAN

"It said, 'Seize the day..., pull the trigger, drop the blade.

"'And watch the rolling heads...!'"

                                                                                                                                            Chris Cornell - Soundgarden.

***

"Mari Bang Artur! Duduk bareng," undang perempuan itu. Dia pun memantapkan undangannya dengan menepuk permukaan kursi sebanyak dua kali.

"Aku ingin kabur," ucapku di dalam batin. Piring di kedua tanganku pun bergetar. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa takutku.

Tetapi, aku tidak bisa melarikan diri. Walaupun aku ingin mencampakkan mereka dari penginapan ini, merekalah yang memastikan aku masih memiliki dana untuk bertahan hidup. Merekalah yang memastikan aku bisa menetap di sini, di tempat aku merasa aman.

Tanpa ku sadari aku melangkah mundur. Kemudian, aku mendengar ayahku berbisik, "Jika kau telah melakukan sesuatu, selesaikanlah."

Aku telah memasak untuk mereka. Aku akan menyelesaikannya dengan mengantarkannya ke meja.

Langkahku terasa berat. Kedua tanganku dingin seiring bergetar karena menopang dua buah piring.

Secara perlahan aku meletakkan kedua piringku di atas permukaan meja.

"Terima kasih Bang!" balas perempuan itu tersenyum hangat.

Sang musisi pun menyusul, "T-terima kasih juga bang." Secara insting dia pun menggaruk kepala belakangnya.

Aku tidak membalas apa-apa.

Dengan segera aku melangkah kembali ke dalam dapurku.

Namun, langkahku terhenti. Lebih tepatnya dihentikan oleh jari lentik sang perempuan. Kedua jarinya mencubit tali apronku.

"Jangan langsung pergi lah Bang Artur," ucapnya. "Hayo, duduk bareng. Sambil makan adalah waktu yang paling tepat untuk bertukar cerita bukan?"

"Lepaskan aku! Aku mohon!" teriakku di dalam kepala. Aku ingin menangis. "Kehangatan kalian berdua menyakitkan!"

Wajah perempuan itu pun berubah menjadi memelas. "Apakah semengesalkan itu kah kami di mata mu Bang?"

"Jangan pasang wajah itu! Aku tidak tahu apakah itu plastik atau itu sungguh wajahmu?"

Kakiku terasa begitu dingin, aku tidak kuat untuk berdiri.

Dengan terpaksa aku mendudukan diri.

"Nah..., begitu dong!" lanjut perempuan itu dengan senang.

"AAAAARRRGH!" teriakku di dalam kepala. "Aku ingin keluar! AKU INGIN KELUAR!"

Tetapi aku terlalu takut.

Aku hanya bisa memberikan wajah ramah plastik terbaikku kepada mereka.

"Sudah tiga tahun ya Abang megang penginapan ini, baru sekarang kita berbincang," buka perempuan itu.

"Iya, hehe." tawaku canggung.

"Gimana kabarnya Bang? Ada yang baru?"

"Ga banyak. Semua sama saja," seperti yang aku inginkan, rasa aman.

"Ok... Mohon maaf nih Bang, kalau boleh tahu, abang ga ada rencana lebih kah ke depan? Seingatku, Abang lulusan UI loh. Harusnya banyak kan tawaran pekerjaan?"

"T..., Kak Dina tahu itu dari mana?" balasku terkejut.

"Ya..., almarhum Ayah Abang sering mengundang kami untuk duduk di sini dan saling berbincang.

"Dia senang bercerita tentang saudara-saudaranya yang di Sumatera. Terkadang, dia meluapkan kekesalannya kepada kami.

"Tetapi, satu cerita yang pasti, dia senang menceritakan tentang kamu."

"Aku mohon jangan dilanjutkan..., aku tidak ingin diingatkan.

"Aku tidak ingin diingatkan oleh hal itu.

"Aku tidak ingin diingatkan bahwa...

"Aku belum pernah memutuskan jalanku sendiri.

"Bahwa, keberadaanku telah ditentukan oleh seseorang."

"Aku bisa melihat matanya bersinar saat dia mengatakan kamu kuliah di UI. Mengambil jurusan antropologi lagi."

Seketika, sang musisi tersedak. "Cerita itu beneran Ta, Kak Dina?"

"Hm? Mau keceplosan bilang 'Tante' lagi ya?"

"Maaf," balasnya terkekeh sambil mengangkat kedua tapak seakan berdoa, memohon ampun dari sang perempuan. Dari balik tapak yang bertemu itu, dia mengintip kepada sang perempuan dan aku, "Jadi beneran Bang Artur kuliah di UI? Itu bukan perbincangan mabuk Pak Arman?"

"Heh, diperhalus sedikit lah bahasamu. Tapi..., iya, itu benar."

Sang musisi pun mengalihkan tatapannya padaku.

Aku hanya mengangguk.

"Wah..., ga nyangka. Padahal aku pingin banget sekolah di situ. Sayangnya ya..., ga ada uang, hehe. Jadi, semampunya aja.

"Kalau boleh tahu," lanjut dia dengan mata terang bagaikan seekor anjing yang berbahagia. "Bagaimana sekolah di sana? Serukah? Pasti pendidikannya mantap."

"Ada kurang ada lebihnya. Tapi..., kenyataannya tetap kami yang belajar sendiri," balasku menatap kepada permukaan meja.

Memandang wajah dia yang begitu senang, begitu bersahabat, adalah hal yang sangat berat bagiku.

Saat matanya bertemu denganku, aku merasa seakan sebuah bor sedang menggali ke dalam kepalaku.

"Benar juga sih Bang. Kalau sudah sekolah bagus, tapi orangnya malas belajar, sia-sia juga.

"Setidaknya fasilitasnya membuat lebih mudah untuk cari-cari bahan bacaan kan?"

Aku kembali membalas dengan satu anggukan.

"Sam –"

Sebelum dia bisa melanjutkan pertanyaannya, perempuan yang duduk di sebelahku menyahut kepadanya, "Mas Irul! Katanya ada sesi? Jam berapa?"

Seketika wajah dia memucat. Dia bergegas melihat layar ponselnya, "Oh iya, aku telat!"

Dia pun melompat dari kursi dan berlari ke arah tempat motornya parkir. "Nanti kita lanjut lagi bicaranya ya Bang!" teriaknya seiring melambaikan lengan 'sampai jumpa.'

Kemudian sang perempuan itu menghadap kepadaku untuk mengedipkan matanya. Dia tersenyum bangga akan apa yang telah dia lakukan, seakan dia melakukannya untuk kebaikanku.

Aku mengabaikannya. Aku pun bergegas mengambil kedua piring di atas meja dan berangkat kembali ke dalam warung untuk mencucinya.

***

Tangan jam dinding di atas bingkai pintu menunjukkan pukul 22.20 WIB.

Aku bergerak untuk menarik tirai besi Warung Senja. Walaupun roda dan relnya berkarat, aku tidak mengeluh. Karena, waktu yang aku inginkan telah tiba.

Waktu aku menyendiri di bawah langit malam Karawang.

Aku menggembok tirai besi pertama, yang menghadap kepada jalan raya.

Lalu, aku melanjutkan untuk menutup tirai besi kedua, tirai yang menghadap ke dalam lapangan parkir penginapan. Namun, aku belum menutupnya penuh.

Aku mengambil salah satu kursi panjang dan meletakkannya di luar. Aku menata kursi itu sejajar dengan atap warung, memberikan aku perlindungan dari rintik hujan, namun membiarkan aku untuk memandang langit malam penuh bintang.

Kemudian aku bergegas kembali ke dalam warung untuk mengambil set 'sesi renungan' milikku. Set itu aku ambil dari sebuah laci yang berada tepat di sebelah tempat aku menyimpan alat-alat makan. Satu botol whisky single malt yang akan ku tuang ke dalam gelas 200ml. Satu set pipa tembakau yang aku buat dari bonggol jagung dan sebatang bambu.

Aku mengisi pipa itu dengan segulung tembakau sepanjang ruas jempolku.

Aku memadatkannya dengan kelingking, lalu menyulutnya menyala dengan sebuah korek kayu.

Asap tembakau mengalir di dalam pipa bambu seiring membawa kikisan-kikisan bonggol jagung. Begitu nikmat dan hangat di dalam mulut.

Sembari aku menikmati rasa dan aroma tembakau yang membakar di hadapan mulut, aku membuka botol whisky single malt yang terduduk manis di sebelahku.

Aku hanya menuangkan seperempat dari volume gelas 200ml.

Sepi.

Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih.

Aku tahu rasa ini hanya sementara, maka aku akan menikmatinya sepenuh mungkin.

Tidak ada suara manusia. Hanya jangkrik yang bernyanyi di bawah bintang.

Aku aman.

.

.

"Bang Artur, kenapa masih di luar? Nanti pilek loh."

"Mengapa perempuan itu masih bangun?

"Aku harus memikirkan cara agar dia pergi!"

"Aku suka angin malam Kak Dina," balasku bersahabat.

"MENGAPA AKU MENGUCAPKAN ITU!!!" bentakku kepada diri sendiri di dalam kepala. "WHISKY INI MENGHAMBATKU UNTUK BERPIKIR!"

"Memang pada pukul ini langit Karawang cukup indah. Pabrik telah berhenti produksi dan kegiatan lalu lintas sudah berhenti. Tidak ada polusi yang menyelimuti langit."

"Ya.

".

".

"Dan aku tidak harus khawatir untuk bertemu orang lain lagi," gumamku. Aku tahu aku tidak seharusnya mengatakan itu, tetapi aku tidak bisa menahan diriku.


Kau tahu, sangatlah mudah untuk menyendiri. Nyatanya, kita membutuhkan kekuatan untuk bercerita kepada yang dapat membantu kita.

VOTE, KOMEN, SHARE YA!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top