TRACK 001 • KETENANGAN BAYANGAN
Dari dalam bak air, aku mendengar alarm jam di kamarku kembali berdering.
Jam 09.00 WIB telah tiba.
Aku masih ingin berendam di dalam kehangatan air ini. Tetapi, rasa tanggung jawabku memaksa untuk segera keluar. Warung makan harus segera dibuka.
Aku beranjak keluar dari bak air itu dengan berat.
Di bawah bak, terdapat sebuah sumbat yang dapat aku buka untuk menumpahkan air mandi. Air itu mengalir pada permukaan keramik.
Selama aku memandang air itu, aku merasakan, walau untuk sementara, sebuah kehangatan yang bisa aku terima.
Namun seiring aku menatap kepada permukaan air yang semakin dekat kepada dasar bak, aku pun merasakan kedinginan yang menghantuiku kembali meluap.
Aku mengeringkan seluruh tubuhku seiring aku berjalan kembali ke dalam kamarku. Aku membiarkan tubuh ini basah karena aku berpegang kepada satu titik kehangatan yang ditawarkan air itu.
Setibaku di lemari, aku mengambil seragamku hari ini. Sebuah kaos berwarna merah maroon, satu apron, dan celana khaki.
Saat titik air hangat yang ada padaku menguap, aku bisa merasakan kembali beban yang ada di bahuku.
Kesedihan.
Rasa takut.
Keinginanku untuk berlari dan bersembunyi di balik batu.
Tetapi, aku harus melawannya. Aku harus melakukan sesuatu agar perubahan dapat terjadi. Aku harus menghadapi mereka dengan caraku.
"'Hanya orang bodoh yang mengharapkan perubahan dengan cara yang sama!' Benar kan Yah?" tanyaku di dalam benak.
Tirai besi dari 'Warung Senja' aku buka.
Seiring tirai itu bergeser, aku mendengar, "Bang Artur! Bang Artur! Aku boleh bantu jaga toko lagi kan?"
Aku membalas dia dengan senyuman plastik terindahku, "Boleh Rio. Ingat ya, beneran jaga. Jangan lari-lari kalau ada yang lebih seru."
Dia berpaut untuk sementara, kemudian senyumannya kembali lagi. "Tapi, tapi, pas jam sholat aku boleh main bentar kan?"
"Iya.., iya..." balasku sambil mengunci tirai besi itu ditempat. "Segera ambil apron mu Rio!"
"Ya bang!" ucapnya dengan penuh kebahagiaan.
Dia bergegas ke dalam warungku dan berlari kepada gantungan alat masak.
Seiring dia mengangkat kursi untuk mengambil apron, aku bertanya kepada diriku, "Mengapa aku mengiyakan untuk mempekerjakan bocah ini?"
Aku mengingat kembali saat dia pertama kali muncul di hadapan tokoku. Hanya sebuah botol yang telah dipotong setengah di tangannya berisikan satu lembar dua ribu rupiah. Wajahnya lebih menyedihkan daripada aku dan berhias lumpur dan tanah.
Dia berjalan kepada orang-orang yang mampir untuk makan, meminta sepeser uang.
Aku tidak ingat apa yang menggerakkan aku, tetapi seketika aku berkata, "Aku tidak menerima pengemis ditempatku! Ambil sapu ini atau aku yang akan menyapumu pergi!"
Saat aku berteriak, pelangganku semua terdiam. Aku bisa merasakan mereka menghakimiku karena membentak anak yang kurang mampu.
Aku membatukan diri. Aku hanya memandang kepada sang anak.
Rasa takutnya terlihat saat dia mendengar bentakan ku. Tetapi, dia tidak berlari. Dia menjulurkan tangannya untuk mengambil batang sapu itu.
Seiring aku memasak dan memberikannya kepada pembeli, dia menetap di depan tokoku hingga malam tiba. Dia menetap hingga pelangganku sudah mulai sepi.
Tiba-tiba, hatiku terasa berat. Jam 10.00 WIB malam sudah tiba dan aku harusnya sudah melepaskan apronku. Tetapi, aku tetap memakainya.
Aku membuka kulkas, mengais-ngais sisa makanan yang ada di dalam. Aku hanya menemukan semangkuk nasi, dua buah telur, bawang daun, dan sejumlah saos.
"Aku hanya bisa memberikan anak ini nasi goreng," gumamku. "Tidak apalah, yang penting dia aku kompensasi."
Kompor kembali aku nyalakan seiring sejumlah minyak aku tumpahkan di atas wok.
Telur, garam, merica, dan bawang-bawangan masuk. Aku mentumisnya selama tiga menit.
Angkat bahan sebelumnya, sisihkan. Nasi, garam, merica, dan sejumlah saos menyusul. Masak selama sepuluh menit.
Saat semua sudah sesuai, aku menggabungkan keduanya.
Selama aku memasak, aku bisa melihat anak itu dari periferi mata. Dia mencuri pandang akan makanan yang aku masak.
Saat dia menyadari aku mengetahui apa yang dia lakukan. Dia kembali berlaga sedang menyapu.
"Sudah, tidak perlu menyapu lagi!" sahutku dari ujung kompor.
Aku berjalan sambil mengangkat dua buah piring untukku dan untuknya. "Duduk!" perintahku.
Dia tidak membalas apa-apa dan bergegas duduk di meja. Selama dia duduk, dia berusaha mengeraskan wajahnya. Hanya saja, matanya tidak berkata demikian. Aku bisa melihat dengan jelas ada cahaya bahagia di balik mata itu.
Kedua piring itu aku letakkan di atas meja. "Makan!" ucapku kepadanya.
Dia pun bergegas makan. Tetapi, dia tidak tahu etikanya. Karena terburu-buru, dia membakar tangannya.
Aku harus menunjukkan cara menggunakan sendok kepadanya.
Aku tidak mau berkata lebih, kata-kata yang keluar dariku terbatas. Karena, ku tahu jika aku berkata, aku membuka hati untuk...
Aku tidak ingin memikirkannya.
"Ada nama?" tanyaku padanya. Aku setidaknya harus mengetahui hal itu, aku tidak ingin penghakiman terhadapku semakin berat.
Dengan mulut yang berisi penuh dengan nasi dan bibir berhias saos, dia menggelengkan kepala.
"Rumah?"
Dia kembali menggelengkan kepala.
"Orang tua?"
Ditanggapi dengan hal yang sama.
"Baiklah..., jika kamu tidak mau bicara, ya sudah. Tapi, aku harus memanggilmu dengan sesuatu."
Dia kemudian melihat ke lingkungan sekitarnya, mencari sesuatu.
Saat dia melihat kepada bajunya yang telah compang-camping, dia menarik bagian yang memiliki tulisan yang telah memudar. Tulisan itu terpampang di atas gambar kepala burung yang telah memudar.
"Rio...
"Kamu ingin dipanggil itu?"
Dia pun mengangguk.
Dari malam itu semua berlanjut hingga rutinitas ini. Dia datang ke tokoku, membersihkan lantai, membawakan makan kepada pelanggan, dan pulang.
Dia tidak pernah meminta banyak, hanya sejumlah uang jajan dan makan tiga kali sehari.
Terkadang aku berpikir, "Bukankah lebih mudah jika aku melakukan ini sendiri? Aku tidak perlu takut untuk terikat dengan bocah itu?"
Tetapi setelah aku timbang kembali, lebih baik bocah itu ada di warung ini. Setidaknya aku tidak perlu berinteraksi dengan pelangganku. Cukup dia saja dengan wajah cerianya.
Biarkan aku bersembunyi di balik bayangan. Di tempat aku merasa aman.
***
Terlihat dari celah pintu warung bahwa terik matahari telah berubah perlahan menjadi gemerlap rembulan. Kedua tangan jam dinding telah menunjukkan pukul 18.00 WIB.
Salah satu penghuni penginapanku keluar dari kamarnya. Dia selalu keluar pada pukul ini sambil membawa gitar di punggungnya.
Aku tidak tahu mengapa dia keluar pada pukul ini dan aku tidak ingin tahu. Aku cukup tahu bahwa dia selalu membayar uang sewanya tepat waktu.
Dia kemudian memasuki warungku.
"Malam Bang Artur, Dek Rio. Nasi Telor Cabe Garam satu ya Bang!" sahutnya bersahabat.
"Ya!" balasku ketus, mengamankan diriku dari kehangatan seorang yang ingin berteman.
Seketika, akupun mendengar suara yang familiar, "Aku juga ya Bang."
Perempuan yang menyambutku tadi pagi pun tiba di meja warung. Dia duduk menyeberangi sang musisi.
Di bawah langit malam yang sunyi ini, aku bisa mendengar perbincangan mereka. Sudah tidak ada lagi pelanggan lain yang mengaburkan suara di udara.
"Tante Dina baru pulang kerja?" tanya sang musisi.
"Aku sudah bilang kan Mas Irul, Kak ato Mba Dina aja. Terlalu tua kalau tante," ucap perempuan itu dengan nada lembut keibuan.
"Ah..," latah sang musisi seiring menggaruk kepalanya. "Aura Ta..., maaf, Kak Dina begitu keibuan. Jadi, saya sering reflek manggil kakak 'Tante'."
"Tidak apa-apa..., lebih baik salah sangka daripada tidak pernah dipandang sama sekali.
"Benar tidak Bang Artur!" sahut dia menggoda aku dari kejauhan.
Aku hanya bisa membuang muka dari dia yang melambai untuk mengambil perhatianku. "Aku tidak ingin berbicara dengan kalian. Kalian cukup makan, pulang, dan tidur. Seperti..., aku."
"Mas Irul berangkat ke mana lagi malam ini?" buka perempuan itu.
"Biasa, paling ke open mic di kafe-kafe. Kalau ada panggung mall yang buka, saya juga sempatkan untuk mampir.
"Kalau Mba?"
"Tidak banyak. Setidaknya anggota kami tidak ada yang celaka."
Saat makanan mereka jadi, aku menyahut, "Rio! Pesanan jadi!"
.
Tidak ada jawaban.
"RIO!!!"
"Sabar Bang..., Rio tadi saya minta pulang duluan," balas perempuan itu. "Kan sudah malam, tidak baik jika dia berkegiatan malam-malam.
"Benar tidak?"
"Mengapa kamu melakukan itu? Tanpa dia aku..."
"Ayo sini Bang Artur, sekalian kita berbincang bersama."
"Aku mohon jangan undang aku untuk duduk bersama kalian. Aku tidak..., aku tidak merasa aman.
"Aku takut."
Terkadang, tidak semua orang berani untuk berbicara kepada orang lain. Kita hanya menginginkan rasa aman.
VOTE, KOMEN, DAN SHARE!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top