5
Tak terasa sudah sepuluh tahun aku menggeluti pekerjaan ini. Sebuah pekerjaan berbahaya sebenarnya. Kami harus melakukan pembelian senjata dari berbagai negara lalu mengirimnya ke negara lain. Kebanyakan ke negara yang memiliki konflik. Meski begitu pernah juga mengirim ke Indonesia. Kini aku tahu dari mana uang Pak Ibra yang tidak pernah habis itu berasal. Namun, sama sekali tidak menumbuhkan rasa bersalah dalam diriku. Karena memang pekerjaan kami terputus. Pada awalnya aku sangat takut ketika harus membawa uang tunai dan senjata begitu banyak. Tak jarang kami menggunakan pesawat pribadi untuk mengantar uang ke tempat tertentu. Semua dilakukan secara tunai. Aku tidak pernah menyangka akan bisa melihat dan menyentuh uang dengan jumlah ratusan ribu dollar. Namun, sekali lagi aku hanya kurir. Jangan coba-coba berbuat curang, kalau tidak ingin besok tinggal nama.
Aku juga tidak bekerja full time. Kami selalu berganti partner dan harus menunggu perintah. Disela pekerjaan, aku masih mencari seseorang yang datang ke rumah pagi itu. Suatu hari aku bertemu dengan seorang pelukis yang mampu menuangkan imajinasiku ke atas selembar kertas. Saat kuceritakan bagaimana kira-kira wajah orang itu. Sampai sekarang aku masih mengantonginya. Aku juga sudah tahu tempat tinggal terakhir Ayahku. Sempat melihat dia tengah bersama anaknya yang cacat juga putri bungsunya. Aku senang tak ada lagi tawa di wajah tampannya. Demikian juga istrinya, semua tertunduk. Meski begitu dendamku belum selesai. Hanya saja, aku semakin mahir mengendalikan emosi.
Pada tahun ke-lima, Pak Ibra keluar. Hanya saja ia tetap berada dalam pengawasan kepolisian. Kami sempat bertemu dua kali. Saat itu ia dengan hangat menyambutku. Seperti biasa tidak berbicara banyak. Selebihnya cuma tinggal di rumah sambil mengawasi pekerjaan kami. Setelah tiga tahun barulah bisa ke laur negeri. Aku paham kenapa banyak orang takut padanya. Posisinya di dalam kelompok kami sangat tinggi. Kemampuannya juga luar biasa. Di depan mataku ia pernah membunuh seorang pengkhianat. Setelah itu tanpa wajah bersalah kami minum di sebuah bar. Perasaannya seolah sudah mati. Jauh dari apa yang pernah kusaksikan saat di dalam penjara.
Apa saja yang sudah kuperoleh dari pekerjaan ini? Uang! Sekarang aku memilikinya. Sebagian tersimpan di bank, tapi lebih banyak berada di dalam brankas di rumah dalam bentuk tunai. Orang seperti kami malas jika harus ditanya-tanya tentang uang. Apakah aku bahagia? Ya! Aku bisa bebas mengunjungi makam Ibu dan Leah. Memperbaiki makam mereka sehingga terlihat lebih layak. Kulakukan saat mendapatkan uang pertama kali, mereka tetap menjadi prioritas. Aku juga sudah mengambil barang-barang yang masih tersisa pada tetangga dulu. Meski sebagian sudah digigit tikus. Aku meletakkannya secara khusus di kamar. Sebagai kenangan akan mereka yang tidak akan pernah hilang.
Aku juga membeli rumah di sebuah kompleks elit. Yang untuk masuk saja harus melewati beberapa buah gerbang. Di tempat ini kami tidak saling mengenal. Selebihnya sesuai perintah, aku menyibukkan diri dengan aktifitas sehari-hari. Awalnya dulu kuliah, kemudian bergabung dengan sebuah kelompok aktivis perlindungan gajah. Bahkan kerap aku mengunjungi Thailand dan India selama beberapa minggu. Semua untuk menyamarkan identitas sebenarnya. Kami tidak diperkenankan untuk bersosialisasi terlalu banyak. Dengan begitu aku pergi ke manapun sebagai turis. Datang lalu pergi.
Dalam bekerja kami tidak pernah sendiri. Selalu pergi bersama rekan yang identitas aslinya tidak pernah kami ketahui. Sandi dikirim beberapa menit setelah masuk bandara. Misal, kami sama-sama memakai sepatu sport keluaran brand dari seri tertentu. Kami juga harus duduk berjauhan. Diharuskan bertemu dititik tertentu dan pada jam yang sudah ditentukan Di dalam pesawat pun kami akan duduk berjauhan. Berkumpul kembali setelah tiba di negara tujuan. Begitu transaksi dan pemuatan selesai kami kembali berpisah. Karena ada yang lebih bertanggung jawab atas pengiriman barang. Pulang ke rumah atau negara masing-masing. Kami benar-benar tidak saling mengenal. Pada pekerjaan selanjutnya kembali seperti itu.
Berbeda dengan kehidupan di film-film terkenal. Dunia kami justru harus bersih. Tidak diperkenankan mabuk di tempat umum apalagi over dosis dalam menggunakan narkoba. Sehingga tidak menarik perhatian orang apalagi pihak keamanan. Saat mabuk orang bisa mengatakan apa saja. Kalau memiliki keluarga, dipastikan mereka tidak tahu apa pekerjaan kami. Kami diwajibkan untuk pergi setiap hari layaknya orang kantoran. Hidup kami di mata banyak orang sangat normal dan memiliki banyak uang. Namun, jangan salah, kami tetap diawasi oleh orang yang juga tidak kami kenal.
Siang ini, aku diminta untuk datang ke sebuah pertemuan yang dilakukan di sebuah hotel berbintang lima. Di sana sudah ada Pak Ibra. Wajahnya tidak bertambah tua. Sama seperti pertama kali kami berjumpa. Pak Ibra menggerakkan tangan mempersilakanku duduk.
"Wajah lama sudah mulai tercium. Saya ingin menggantikan mereka dengan orang baru, salah satunya adalah kamu." Tanpa basa basi ia membuka pertemuan.
Aku terkejut, artinya aku termasuk orang yang bisa dipercaya dan kemampuanku sudah diperhitungkan. Di atas sebuah kertas, ia menggambar sebuah struktur organisasi. Dan namaku kini ada pada tangga kedua tepat di bawahnya.
"Tugas barumu mendistribusikan uang kepada seluruh anggota. Menerima pembayaran, dan memastikan bahwa semua dilaporkan secara transparan. Saya menunggu laporanmu."
Surprise! Aku memegang kendali atas keuangan kelompok.
"Baik Pak." Aku tidak punya alasan untuk menolak.
"Jaga nama baikmu. Sebaiknya kamu pindah ke sebuah rumah yang ada di tengah kota. Dan ingat, jangan terlalu dekat dengan perempuan, bisa saja mereka adalah umpan untukmu."
Aku kembali mengangguk karena tahu bahwa ia bisa mendekam di penjara karena perempuan. Akhirnya ia menunjukkan wajah orang-orang yang ada di levelku dan akan sering berhubungan denganku. Ternyata kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Dia juga menunjukkan foto-foto orang yang posisinya ada dibawahku.
"Kamu adalah salah satu yang terbaik. Hasil pekerjaanmu tidak pernah mengecewakan. Hanya satu hal kekuranganmu, sering terkesan tidak peduli dengan bahaya. Kamu terlalu terbuka. Setelah ini, cobalah untuk lebih tertutup. Jangan meletakkan ponsel sembarang. Atau meninggalkan identitas resmi di hotel. Apa susahnya membawa semua ke dalam tas ranselmu?"
"Baik Pak."
"Minggu depan kamu akan berangkat ke Singapura. Menemui seseorang. Lakukan pembayaran lalu pergilah setelahnya ke Washington DC. Tunggu arahan di sana. Tugasmu selanjutnya ada di timur tengah. Jangan bergerak sebelum saya perintahkan."
"Siap Pak."
"Pergilah."
Aku mengangguk.
***
Aku duduk di sebuah area pemakaman Oak Hill Cemetery. Pak Ibra memintaku menunggu seseorang. Sudah hampir satu jam menunggu di sini. Kugunakan waktu untuk melatih pernafasan. Ternyata seseorang yang kutunggu adalah dia sendiri. Aku segera berdiri lalu menunduk hormat. Beliau menggandeng tanganku menyusuri area pemakaman, mungkin karena sulit berjalan. Kami kemudian berdiri di samping sebuah nisan yang sudah tertutup oleh daun-daun. Segera kubersihkan. Di sana tertera nama, Elizabeth Malcolm.
Pak Ibra berjongkok, kemudian mengelus nama itu dengan jemari rentanya penuh rasa sayang. Beberapa kali bibirnya menggumamkan kata I love you.
"Ini makam istri saya. Dia meninggal dua puluh tujuh tahun yang lalu."
Aku hanya diam menunggu kalimat berikutnya.
"Saya mencintainya, dia sangat cantik. Saya masih mengingat bagaimana bahagia wajahnya ketika kami menikah."
Kembali suasana terasa hening hanya terdengar embusan angin. Pak Ibra menangis. Pundaknya bergetar keras.
"Kami memiliki seorang putra yang juga sudah meninggal sebelas tahun lalu dalam sebuah kecelakaan. Ia seorang jurnalis. Makamnya ada di blok berbeda. Nanti kita ke sana."
Sedikit aneh, kenapa ia menceritakan ini padaku? Pria tua yang baik hati itu kemudian membungkuk lantas mencium nisan. Aku kemudian mengulurkan tangan membantunya bangkit berdiri. Selesai dari sana kami kembali melangkah. Jalannya tidak stabil kugenggam erat tangannya. Namun, langkah kami terhenti. Ada seseorang yang berjongkok di sebuah makam. Perempuan cantik berambut panjang yang juga sedang menangis. Di tangannya ada sebuah buket bunga.
"Berjalanlah terus, kita akan melewatinya."
Aku mencoba tidak peduli, hingga kami melewati makam. Terdengar isak dan sebuah ucapan pelan.
"Pa, aku kangen."
Dia orang Indonesia?
"Dia cucu saya. Namanya Kana Elizabeth Malcolm. Kami tidak pernah bertemu. Saya tidak ingin membahayakan hidupnya. Dia tinggal di Jakarta bersama ibunya dan memiliki sebuah toko bunga. Saat putra saya meninggal dia masih berusia empat belas tahun. Dan menjadi ahli waris satu-satunya. Sudah lama dia tidak kemari. Ibunya menderita cancer dan baru meninggal tiga bulan lalu."
Kuembuskan nafas perlahan. Sebuah kisah sedih kembali terdengar.
"Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih kecil. Dulu dia sangat dekat dengan Andy. Mereka kerap bepergian berdua. Saya tahu dia sangat kehilangan. Namun, sekaligus tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang dia sendirian."
Pak Ibra berhenti sejenak kemudian menatapku. "Bolehkan saya meminta bantuanmu?"
"Siap Pak."
"Dia berada di bawah pengawasanmu mulai sekarang. Lindungi dia sebagai satu-satunya keturunan saya. Dia sangat rapuh dan membutuhkan seseorang dengan kepribadian kuat sepertimu. Jangan sia-siakan dia."
"Siap pak."
"Kalau kamu tidak bisa mendampingi dia, cukup tataplah dari jauh. Pastikan dia baik-baik saja. Jangan pernah membuat dia berada dalam bahaya"
"Siap Pak."
Pak Ibra kemudain menepuk punggungku. Kami kembali berputar.
"Mari berhenti di satu tempat."
Kami berhenti. Sekilas kutatap di kejauhan gadis itu masih di sana. Tidak jadi ke makam Andy melainkan langsung pulang. Pak Ibra tidak ingin cucunya mengetahui keberadaan kami.
***
Diantara semua yang bekerja, Aku yakin Pak Ibra hanya terbuka padaku. Mungkin ia percaya karena kami pernah tinggal bersama selama di dalam penjara. Bahkan mungkin aku satu-satunya orang yang dekat dengannya. Ia mengajakku menuju kediamannya. Sebuah rumah tua yang sebenarnya hampir tidak terawat. Di bagian luar, rumput tampak sudah lumayan tinggi. Kami masuk dan menyalakan lampu. Tidak ada apa-apa di sana selain barang-barang tua. Pada sebuah lemari, aku melihat foto mereka bertiga. Benar saja, putra Pak Ibra sangat tampan. Istrinya juga terlihat cantik.
Selebihnya hanya ada buku-buku tentang pendidikan jurnalis. Aku menatap foto-foto yang ada di dinding. Semua sudah kusam. Pak Ibra terlihat sangat letih.
"Bapak mau saya pijat?"
Ia tertawa kecil sambil menatapku. "Tubuh saya pegal semua."
"Berbaringlah."
Ia mulai membuka pakaian dan berbaring di atas kasur. Kumulai dengan memijat kakinya yang terasa dingin. Tak lama ia tidur, tapi tetap kulanjutkan sampai selesai. Kututupi tubuhnya dengan selimut tebal. Sementara aku memilih untuk tetap berada di sini. Aku beranjak ke dapur, tidak ada apa-apa. Kuputuskan memesan Pizza untuk makan malam.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
Kuta 24723
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top