3

Namaku Kana, usiaku 25 tahun. Pemilik sebuah toko bunga bernama Canaa. Sudah hampir empat tahun aku menggeluti bidang ini. tepatnya setelah lulus kuliah. Tokoku banyak bekerja sama dengan kantor-kantor baik swasta maupun pemerintah untuk menyediakan rangkaian bunga segar, artifisial dan juga papan bunga. Sebenarnya sudah menggeluti dunia florist sejak kecil, karena memang menjadi usaha Mama sehari-hari. Sebenarnya dulu ingin berkarir di dunia keuangan. Sayang, takdir berkata lain. Aku tidak pernah mencicipi indahnya dunia kantoran.

Kumasuki mal yang sudah bagai rumah kedua. Suasana masih sepi karena memang baru pukul 10.00 pagi. Mal mulai ramai menjelang makan siang. Kalau pada jam seperti ini biasanya cuma dikunjungi oleh orang-orang yang mungkin mampir untuk menunggu. Misal para ibu yang menghabiskan waktu menunggu anaknya pulang sekolah. Beberapa toko malah masih tertutup. Dari jauh kulihat Siti dan Rahmi, kedua karyawanku sudah menunggu di depan toko. Pagi ini kami memang harus datang lebih cepat karena ada pekerjaan mendadak. Pesanan baru masuk tadi malam.

"Pagi, Mbak Kana." Sapa kedua karyawanku.

"Pagi Siti, pagi Rahmi." balasku sambil membuka pintu kaca.

"Mbak, pagi ini kita merangkai berapa?"

"Empat untuk Bank Pratama dan enam untuk Kementrian Pendidikan."

Segera kuraih beberapa bunga import berbahan kain dan juga bunga kering. Sementara Siti sibuk membersihkan etalase. Rahmi membantuku menyiapkan segala keperluan merangkai. Dia sudah lama bekerja di sini jadi lebih paham.

"Rahmi, tolong ambilkan pot kayu diameter 15 dan 20."

"Kotak atau bulat Mbak?"

Kutatap bunga-bunga yang sudah kuambil sejenak. "Empat bulat dan enam kotak."

Dengan cepat aku meraih apron kemudian duduk di lantai. Siti segera meletakkan sebuah meja lipat kecil. Tak lama aku sudah tenggelam dalam pekerjaan. Aku bisa bekerja dengan santai karena sebenarnya pengunjung mal jarang sekali mampir ke toko. Hanya mereka yang memiliki hobi dekorasi atau paham akan kualitas yang akan berkunjung. Harga bunga impor cukup mahal. Dan biasanya hanya membeli satu atau dua saja. Sebagai tambahan karena mereka ingin sesuatu yang baru saat mengubah rangkaian di rumah.

Aku masih membuka gerai di tempat ini, karena memiliki banyak klien yang berasal dari kalangan atas. Terutama ibu-ibu yang memiliki uang lebih. Kebanyakan dari mereka paham akan kualitas. Terutama jika mengirim untuk klien kantor. Lagi pula sebagian besar dari mereka sudah menjadi langganan Mama sejak dulu. Akhirnya satu persatu bunga selesai. Kini giliranku untuk mengantar. Kalau hanya satu buah, biasanya Rahmi yang mengantar. Namun, kalau lebih, harus menggunakan mobil. Pengantaran sudah termasuk dalam servis yang kuberikan.

Selesai mengantar aku kembali ke rumah sebentar. Bukan hunian mewah, tapi cukup nyaman untuk kutinggali bersama Mama. Rumah model tahun delapan puluhan yang terkesan luas. Kudapati perempuan yang sangat kusayangi itu tengah merawat tanaman anggreknya sambil duduk di kursi roda.

"Sore, Ma."

"Sore, sudah pulang?"

"Barusan antar bunga, jadi langsung pulang. Macet di luar." balasku sambil mencium pipinya yang tirus.

"Nggak kembali ke mal?"

"Enggak, ada pesanan papan bunga untuk pelantikan gubernur. Lumayan banyak. Tadi sudah ada yang antar bunga segar?"

"Ada, sudah mama suruh diletakkan di samping. Kamu sudah makan siang?"

Aku mengangguk. Di workshop samping rumah, dua orang karyawan laki-laki sedang memasang nama. Nanti aku tinggal mengerjakan bunga. Kembali kuraih apron dan mulai bekerja. Letih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus bertahan demi kelanjutan biaya pengobatan Mama. Sebagai penderita kanker, beliau masih membutuhkan banyak uang untuk pengobatan rutin. Sebagai anak tunggal, aku tidak punya teman berbagi. Mama masih ada saja sudah membuatku sangat bersyukur.

Kami hanya hidup berdua. Papa meninggal ketika aku berusia empat belas tahun. Dulu, kedua orang tuaku bercerai. Sampai saat ini aku tidak pernah tahu alasan perpisahan mereka. Yang kutahu, sejak kecil tidak pernah tinggal bersama. Papa selalu bepergian karena pekerjaannya. Beliau bekerja di sebuah TV swasta asing yang berpusat di luar negeri. Papa memang warga negara asing. Bertemu Mama di Bali saat meliput sebuah kegiatan. Cinta mereka bersemi, kemudian memutuskan menikah.

Kenanganku tentangnya tidaklah banyak. Selain selama liburan sekolah kami akan tinggal bersama. Di tempat yang sudah kami sepakati. Selebihnya Papa selalu sibuk. Meski singkat kebersamaan kami terasa indah. Karena selalu dilakukan saat Papa juga mengambil cuti. Pada waktu itu hanya ada aku dan Papa. Kami pergi ke tempat-tempat indah yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya. Papa mengajariku berenang di laut, berpetualang ke dalam hutan. Menikmati sunrise di puncak bukit. Mengunjungi musium di berbagai kota besar di negara lain. Papa akan menjelaskan tentang sejarah atau keistimewaan daerah yang kami kunjungi. Dia kerap membiarkanku berkeliling di sebuah tempat sendirian. Mencari sesuatu yang sesuai dengan minatku.

Papa adalah pria terbaik yang pernah kumiliki. Tidak pernah melarang ini dan itu. Bersamanya aku tidak pernah mengkhawatirkan apa pun meski kami tersesat. Kami hanya akan tertawa ketika menyadari bahwa sudah beberapa kali kembali ke tempat yang sama. Papa juga hanya tertawa saat melihatku begitu excited bisa melihat lumba-lumba di tengah laut, mengiringi speedboat yang kami naiki. Sayang, aku tidak bisa lama menikmati hidup bersamanya, cuma empat belas tahun. Papa meninggal dalam sebuah kecelakaan menuju tempatnya bekerja.

Sebagai ahli waris, aku menerima sejumlah uang asuransi dan penjualan apartemennya di Washington. Sejak itu tidak pernah ada lagi jalan-jalan ke tempat yang istimewa. Saat berusia tujuh belas tahun, aku pergi mengunjungi makamnya. Di sana aku menangis sekerasnya. Baru menyadari kalau Papa sudah benar-benar pergi. Selama ini aku berpikir ia hanya sedang bekerja. Nanti, saat liburan akan pulang dan berkunjung. Ternyata aku salah, Papa tidak pernah pulang lagi. Kami tidak akan pernah bertemu lagi!

Ketika berusia dua puluh tahun, aku kembali harus menghadapi kenyataan. Mama divonis menderita kanker payudara. Rasanya dunia gelap seketika. Aku benar-benar takut kehilangan. Bagaimana kalau kelak jika harus hidup sendiri? Jadilah hari-hariku hanya berada di seputaran kampus, rumah dan rumah sakit. Aku kembali ke titik nol yang sebenarnya. Rasa takut kehilangan Mama membuatku begitu posesif. Saat pulang dan tidak mendapatinya tidur di kamar membuatku takut. Buru-buru mencari ke sekeliling rumah. Rasa panik berakhir ketika aku berhasil menemukan Mama dalam keadaan hidup! Aku seperti orang gila.

Masa-masa kelam itu, akhirnya berakhir ketika Mama menyelesaikan kemoterapi. Meski begitu kami harus tetap memeriksakan kesehatannya setiap tahun. Seiring dengan aku lulus kuliah dan akhirnya meneruskan usaha yang terbengkalai. Kembali merangkak dari nol. Bisnis tetaplah sebuah bisnis yang membutuhkan perhatian serta pikiran agar bisa maju atau sekurang-kurangnya bertahan. Aku mulai menghadapi realita baru. Yakni menjadi tulang punggung di rumah.

Saat malam aku sering merenung. Rasanya rindu disayang oleh orang. Sambil berharap kelak bertemu dengan seorang pria seperti Papa. Laki-laki baik yang mencintai anaknya. Namun, pemikiran itu kadang kutepis. Karena pertanyaan lain segera muncul. Kalau Papa baik, kenapa Mama minta cerai? Sampai sekarang Mama tidak pernah memberitahu apa penyebabnya. Bahkan ketika kutanya, bagaimana Mama bisa jatuh cinta pun, tidak pernah dijawab.

"Sudah selesai, Na?"

Aku menoleh, Mama ternyata sudah berada di belakangku.

"Sebentar lagi."

"Dapat berapa pesanan untuk pelantikan?"

"Delapan Ma."

"Lumayan laris, ya, akhir-akhir ini."

"Ya, hampir setiap hari ada acara, entah itu di kantor, orang meninggal dan juga pernikahan."

"Mau mama bantu?"

"Boleh."

Aku segera menyerahkan busa basah yang menjadi alas bunga nantinya. Jemari Mama, dengan lincah mulai merangkai di atas meja. Ini adalah kegiatan yang dia sukai. Hobi yang menjadi pekerjaan. Tak lama semua selesai. Tinggal meletakkan pada bagian papan. Itu adalah tugas Anto dan Rahmad. Aku dan Mama kembali masuk ke dalam rumah. Sudah ada bubur kacang hijau di meja makan. Kuminta Mbak Retno, pembantu rumah tangga kami mengantar dua porsi ke sebelah.

"Bagaimana pendapatan minggu ini?" tanya Mama.

"Lumayan, selalu ada aja."

"Kamu tidak mau liburan?"

"Untuk apa?"

"Mengunjungi makam Papamu, misal?"

Kuletakkan sendok. "Terus nanti Mama sama siapa?"

"Kan, ada Retno. Mama juga bisa, kok bantu-bantu di work shop. Sebentar lagi sudah parade bunga tahunan Pasadena. Nggak mau bergabung dengan tim tahun ini? Waktu itu kamu ditawari, kan?"

Aku menggeleng. Sebenarnya bukan tidak mau. Namun, takut kalau nanti saat di sana tiba-tiba Mama drop.

"Kamu nggak kangen Papamu?"

"Yang kangen aku atau Mama, sih, sebenarnya?" godaku.

Mama hanya tersenyum sambil meletakkan sendok. Buburnya sudah habis.

"Nanti dia sedih kalau kamu tidak mengunjunginya."

"Sesedih apa Papa nanti?"

"Waktu kamu lahir, dia selalu menjaga 24 jam. Mama hanya kebagian menyusui. Kehadiranmu sangat penting untuknya. Bahkan ketika kami memutuskan berpisah, kamu tetap menjadi prioritasnya."

"Papa memang sangat menyayangiku."

"Pergilah, dua minggu mungkin cukup untuk kalian."

"Aku takut nangis seperti waktu itu."

"Menangis sangat wajar."

"Kenapa tiba-tiba ingat Papa?"

Mama memgangkat bahu. Ia selalu menghindar jika kutanya. Pembicaraan kami selesai. Aku segera masuk kamar dan mandi. Selesai berpakaian kubuka sebuah lemari yang berisi barang-barang milik Papa. Di sana ada ranselnya, beberapa kaos dan kemeja. Juga kamera yang selalu dibawanya ke mana pun. Yang sudah menghasilkan begitu banyak foto-fotoku. Kusentuh celana jin yang biasa dipakainya sehari-hari. Di dalam sebuah kantong, tergantung tuksedo yang dikenakan Papa saat pernikahan. Berdampingan dengan gaun pengantin Mama. Aku berjanji dalam hati, akan mengenakan gaun ini pada hari pernikahan nanti.

Kuraih sebuah kemeja, kemudian mendekap dan menciumnya. Tidak ada lagi aroma yang tertinggal. Namun, aku masih bisa membayangkan bagaimana aroma tubuhnya dulu. Ketika kami berada dalam pesawat atau di bawah terik matahari. Aku benar-benar kangen Papa. Rindu berada dalam pelukannya. Rindu ketika dia menciumku dengan kuat sampai aku meronta karena kehabisan nafas. Kenapa waktu kami begitu singkat? Kembali terbayang saat Papa memasakkan sarapan untukku. Tidak seenak masakan Mama, tapi aku rindu. Rindu itu tersimpan sejak lama. Rindu menjadi anak perempuan kecil yang selalu digendong saat letih berjalan.

Sekarang saat letih aku tidak bisa berhenti. Ada tanggung jawab akan Mama dipundakku. Tidak ada teman berbagi membuatku menangis sendirian. Meski masih ada deposito peninggalan Papa. Namun, tetap rasanya berbeda. Disaat teman-temanku bisa santai sepulang bekerja, aku sudah harus sampai di rumah. Memastikan bahwa keadaan Mama baik-baik saja. Bukan aku mengeluh... bukan! Aku hanya tidak pernah punya waktu untuk diri sendiri lagi. Kini aku kembali menangis dalam diam. Aku rindu dipeluk Papa.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

14723

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top